Hukum Periksa ke Dokter
yang Berbeda Jenis Kelamin
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum,
Ustadz, izin bertanya. Dalam Islam kan
seorang wanita dan lelaki tidak boleh bersentuhan dan melihat aurat selain bukan
mahramnya. Nah, yang saya tanyakan, jika seorang perawat harus bersentuhan dan
melihat aurat kliennya bagaimana hukumnya ya ustadz? Terima kasih sebelumnya.
Alfiatul Lathifah
Jawaban:
Wa’alaikumus salam warahmatullahi
wabarakatuh,
Saudara penanya yang budiman. Semoga rahmat
dan maunah Allah subhanahu wata’ala senantiasa tercurah kepada kita semua,
sehingga kita tetap berada di bawah petunjuk-Nya! Aamiin.
Penanya yang budiman. Orang hidup itu selalu
membutuhkan pertolongan orang lain. Bagaimanapun kuat dan gagahnya ia, tetaplah
ia merupakan makhluk yang lemah. Sakit akan selalu menimpa siapa saja, tidak
peduli ia berkelamin laki-laki atau perempuan, kaya atau miskin, semua sama
saja dan pasti akan pernah merasakan sakit. Ini secara tidak langsung merupakan
hikmah, mengapa seorang muslimah itu tidak boleh hanya berhenti di rumah
sehingga ia harus tetap belajar dan belajar. Termasuk di antaranya mempelajari
ilmu kedokteran. Kasihan kaumnya yang sakit bila tidak menemukan dokter yang sesama
jenis kelamin dengannya.
Adapun bagi orang yang sudah terlanjur sakit
kemudian tidak menemukan dokter lain selain dokter lawan jenis, maka ada
tuntunan syariat yang harus diupayakan untuk diikuti antara lain sebagai
berikut:
1. Kondisinya terpaksa, sementara tidak ada
dokter lain yang tunggal jenis kelamin di wilayahnya atau wilayah terdekat
dengannya
2. Ketika pasien lawan jenis diperiksa, maka
ia harus ditemani perempuan lain atau orang yang menjadi mahramnya,
suami/istrinya, atau sayyid-nya (tuannya bila pasien adalah hamba sahaya, red).
3. Aurat yang boleh dibuka dan dipegang
adalah sekadar yang diperlukan untuk keperluan pemeriksaan
4. Bila terpaksa harus ke dokter lain jenis,
maka harus diupayakan terlebih dulu dokternya adalah seorang yang muslim yang
bisa dipercaya untuk pasien perempuan, dan dokter muslimah yang bisa dipercaya
untuk pasien kaum laki-laki. Dan bila tetap ia tidak menjumpai, maka boleh ke
kafir dzimmy dengan syarat bisa dipercaya juga aman dari fitnah.
Ketentuan ini berangkat dari keterangan dari
kitab Hâsyiyah al-Bâjury, antara lain sebagai berikut:
فيجوز
نظر الطبيب من الاجنبية الى المواضع التي يحتاج اليها في المداوة حتى مداوة الفرج
ويكون ذلك بحضور محرم اوزوج اوسيد وأن لاتكون هناك امرأة تعاجلها
Artinya: “Hukumnya boleh, melihatnya dokter
ke perempuan bukan mahram pada anggota badan yang dibutuhkan untuk pengobatan,
bahkan di area farji. Namun demikian itu (harus) disertai kehadiran mahram,
suami, atau sayid, [dengan catatan] jika tidak dijumpai adanya perempuan yang
bisa mengobatinya.” (Burhanuddin Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad
Al-Bajuri, Hâsyiyah al Bâjury ‘alâ Sharhi al-Allaâmah Ibni Qâsiīm al-Ghâzi ‘alâ
Matni Abī Shujjâ’, Beirut, Dâru al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999, Juz 2, halaman 99)
Adapun tentang kebolehan menyentuh, memeriksa
pasien, berobat ke dokter lawan jenis yang muslim dan bila dalam kondisi sangat
terpaksa ke dokter golongan dzimmi, kita bisa ambil keterangan berikut:
ذهب
جمهور الفقهاء إلى أنه يجوز عند الحاجة الملجئة كشف العورة من الرجل أو المرأة لأي
من جنسهما أو من الجنس الآخر. وقالوا: .......ويجوز للطبيب المسلم إن لم توجد
طبيبة أن يداوي المريضة الأجنبية المسلمة, وينظر منها ويلمس ما تلجئ الحاجة إلى
نظره أو لمسه فإن لم توجد طبيبة ولاطبيب مسلم جاز للطبيب الذمي ذلك.
Artinya: “Jumhur fuqaha’ berpendapat
bahwasannya boleh bagi dokter ketika adanya hajat yang mendesak untuk membuka
aurat pasien baik laki-laki maupun perempuan, baik yang berjenis kelamin sama
dengannya atau berjenis kelamin berbeda. Para fuqaha’ selanjutnya berpendapat:
.....boleh bagi seorang dokter muslim jika tidak ditemukan dokter perempuan
untuk mengobati pasien wanita ajnabiyah yang muslim, serta melihatnya dan
menyentuhnya sekedar hajar kebutuhan yang mendesak, dengan catatan jika tidak
ditemukan adanya dokter perempuan. Dan dalam kondisi ketiadaan dokter muslim,
boleh periksa ke dokter dzimmy.” (Wazâratu al-auqâf wa al-Syu-ûn al-Islamiyyah,
al-Mausûatu al-Fiqhiyah, Kuwait, ‘Umûm-Ghīlah, 1994, Juz 31, halaman
56)
Demikian jawaban singkat dari kami, semoga
bisa menjawab permasalahan dari saudara penanya! Wallahu a’lam. []
Muhammad Syamsudin
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar