Presiden
Pemimpin
Oleh:
Yudi Latief
Demam
pemilihan presiden mulai menjangkiti kehidupan publik di segala penjuru. Wabah
”penyakit” ini melahirkan kesadaran palsu. Segala kebaikan dan capaian negeri
dinisbatkan pada sosok presiden. Segala persoalan dan tantangan bangsa ini juga
disandarkan solusinya pada figur presiden.
Padahal,
sehebat apa pun kualitas presiden tak akan melahirkan perubahan berarti tanpa
disertai komitmen bersama untuk melakukan tata ulang sistem ketatanegaraan
kita. Dalam kaitan ini, birokrasi memainkan peran sentral dalam konteks negara
modern, karena kekuasaan secara de
facto tidak dijalankan oleh presiden atau perdebatan parlemen,
tetapi oleh rutinitas administrasi pemerintahan. Seriuh apa pun kampanye
kepresidenan dan perdebatan di parlemen, perubahan yang diinginkan tidak akan
terwujud selama rutinitas birokrasi, sebagai eksekutor terakhir, tidak
responsif.
Dalam
konteks perbaikan tata kelola birokrasi ini, ada keriuhan fantasi yang
membayangkan presiden seperti manager-in-chief dari
birokrasi pemerintahan yang mengatur ribuan lembaga pemerintahan, jutaan
pegawai negeri sipil, militer, dan kepolisian. Bayangan seperti ini perlu
dilempengkan. Birokrasi pemerintahan yang begitu gigantis dengan jumlah pekerja
yang melebihi jumlah penduduk di sejumlah provinsi membuatnya tak bisa diurus
dari satu titik pusat.
Lagi pula
status konstitusional dari klaim manajerial kepresidenan tidak serinci itu.
Bagian terluas pegawai negeri sipil tidak mendapat arahan (langsung) dari
presiden, tetapi dari perundang-undangan yang mengesahkan kehadiran badan-badan
dan mengarahkan tugasnya. Karena itu, masuk akal untuk menyebut birokrasi
sebagai cabang keempat pemerintahan.
Atas
dasar alasan ini, seorang ilmuwan politik, Richard Rose, menyebutkan, ”Presiden
tidak bisa mengelola seluruh dimensi pemerintahan, yang nyata-nyata lebih sulit
daripada mengurus kawanan kuda liar.” Ahli kepresidenan Stephen Hess
meluruskan, ”Ketimbang sebagai chief
manager, presiden adalah chief
political officer dari sebuah republik.” Dalam posisi
terakhirnya ini tanggung jawab utama seorang presiden adalah membuat sejumlah
kecil keputusan politik yang amat signifikan, seperti menentukan prioritas
nasional, yang diterjemahkan ke dalam anggaran dan proposal legislasi, serta
memperlengkapi kebijakan untuk menjamin keselamatan negara.
Sebagai chief political officer,
tugas utama presiden adalah ”memimpin” (to
lead), bukan mengurus (to
manage) pemerintahan. Sebagai pemimpin pemerintahan, presiden
dituntut bertindak secara sistematis untuk mendefinisikan mandat dan watak kepemimpinannya.
Dalam mendefinisikan mandat kepemimpinannya, pertama-tama seorang presiden
harus memiliki landasan ideologi kerja (working
ideology) berupa seperangkat prinsip dasar sebagai haluan
kebijakan.
Ideologi
kerja ini sudah harus dinyatakan dalam kampanye yang bisa memberi semacam
jangkar nilai dan suar arah kepada publik pemilih. Dalam hal ini ideologi
presiden terkait ideologi partai politik yang mendukungnya, yang dalam situasi
Indonesia hari ini justru kesulitan menemukan partai politik dengan ideologi
kerja yang jelas. Tak heran jika presiden yang muncul bisa jadi tak punya
prinsip dasar dan watak yang jelas pula.
Atas
dasar ideologi kerja ini, sebuah platform bisa diturunkan dengan prioritas yang
jelas. Presiden harus menunjukkan fokus dalam mendefinisikan, dan keefektifan
dalam mengejar, agenda substantifnya, demi memudahkan mobilisasi sumber daya
serta menawarkan sense
of direction bagi aparat pemerintahan, publik, dan media.
Ambisi menyelesaikan segala masalah sekaligus berisiko menangguk kegagalan di
semua lini.
Dalam
”memimpin” pemerintahan, tantangan presiden mendatang harus memahami bahwa
problem utama birokrasi pemerintahan Indonesia adalah ketidakseimbangan antara
luasnya cakupan kendali negara dan lemahnya kapasitas negara untuk melakukan
penegakan otoritas. Pada masa Orde Baru, luas-nya cakupan kendali negara itu
masih bisa diimbangi oleh kewibawaan otoritas negara untuk bertindak
efektif—kendati dalam beberapa segi tidak selalu taat asas dengan
prinsip-prinsip demokrasi. Pada era Reformasi, cakupan negara kian meluas
karena terjadinya pelipatgan-
daan institusi dan aparatur negara serta perluasan kewenangan daerah. Namun, terjadi penurunan dalam kapasitas negara untuk melakukan delivery dan penegakan aturan akibat penetrasi kepentingan politik kepartaian.
daan institusi dan aparatur negara serta perluasan kewenangan daerah. Namun, terjadi penurunan dalam kapasitas negara untuk melakukan delivery dan penegakan aturan akibat penetrasi kepentingan politik kepartaian.
Oleh
karena itu, prioritas utama kepresidenan adalah merampingkan cakupan kendali
negara dengan menyederhanakan institusi dan aparatur negara; bukan menggemukkan
postur pemerintahan dengan menambah jumlah kementerian, komisi, badan, satgas,
staf ahli, dan sejenisnya. Namun, tugas ini berat dijalankan presiden manakala
jumlah partai politik dan ”sukarelawan” (padat kepentingan) tak bisa dibatasi.
Koalisi kepartaian dan kepentingan yang banyak berarti menuntut akomodasi yang
luas, yang pada gilirannya akan menjadi batu sandungan bagi presiden dalam
memenuhi janji terkait penyehatan birokrasi.
Presiden
idaman di masa depan adalah presiden yang mampu memimpin pemerintahan secara
kuat dan efektif. Kuat dalam arti berani menempuh perubahan sekalipun itu
berarti harus membatasi kompromi yang kontraproduktif dengan partai koalisi dan
kelompok kepentingan. Efektif dalam arti punya kemampuan penetratif untuk
menggerakkan segala pemangku kepentingan guna melakukan penataan ulang sistem
ketatanegaraan. Keberanian melakukan perubahan fundamental itu mengandung
risiko. Namun, ada risiko bagi presiden yang mencari jalan aman: peluang lewat,
momentum lenyap, sinisme menguat. []
KOMPAS,
20 September 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar