Jumat, 14 September 2018

Majalah Berita Nahdlatoel Oelama Tahun 1936


Majalah Berita Nahdlatoel Oelama Tahun 1936


Jam’iyah Nahdlatul Ulama sejak dideklarasikan pada 1926 sudah memiliki kesadaran untuk mendakwahkan Islam Ahlussunnah wal Jamaah dan sikap-sikap kebangsaan melalui media yang dimilikinya seperti Majalah Berita Nahdlatoel Oelama yang terbit setiap setengah bulan sekali.

Namun, jauh sebelum NU resmi dideklarasikan, para kiai pesantren memahami betul peran media untuk mengabarkan dan mendakwahkan Islam. Lebih dari itu, Indonesia yang kala itu masih terkungkung penjajahan mendorong para kiai untuk memiliki media sebagai penghubung pergerakan nasional kepada masyarakat secara luas.

Di tubuh NU sendiri, munculnya media berawal dari Swara Nahdlatoel Oelama. Kelahiran Swara Nahdlatoel Oelama satu setengah tahun setelah NU lahir yaitu pada bulan Juni 1927. Majalah bulanan terbitan pertama ini berbahasa Jawa dan beraksara pegon.

Aksara arab pegon berbahasa Jawa ini punya cerita tersendiri di kalangan para kiai NU untuk persoalan strategis menghadapi penjajah. Penjajah yang senantiasa mengendus gerak-gerik para kiai dan santri kala itu juga terus berupaya dengan memahami apa yang mereka sebar melalui media. Dengan menulis informasi dan kabar menggunakan aksara pegon, penjajah tidak akan mengerti isi dari berita-berita yang NU sebarkan. 

Terbitnya Swara Nahdlatoel Oelama disusul munculnya majalah Oetoesan Nahdlatoel Oelama pada Januari 1928. Kemudian majalah Berita Nahdlatoel Oelama pada tahun 1931. Tiga majalah itu hidup berdampingan. Majalah yang disebut terakhir masih terbit hingga pada tahun 1953. Ada juga Swara Ansor NO dan Soeloeh Perdjoeangan.

Tumbuhnya media-media NU pada zaman penjajahan tersebut menunjukkan bahwa peran dan fungsi media sangat dibutuhkan oleh para kiai NU dalam berdakwah maupun mendorong propaganda kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan. Namun demikian, munculnya gerakan-gerakan NU dibidang pers dan jurnalisme, utamanya adalah edukasi keagamaan, sosial, budaya, dan politik kebangsaan.

Tulisan singkat ini hanya berusaha mengungkap Majalah Berita Nahdlatoel Oelama yang terbit sekitaran tahun 1936. Meskipun di awal media-media NU tersebut hidup berdampingan, namun sumber lain mengatakan bahwa Majalah Berita Nahdlatoel Oelama merupakan transformasi dari Swara Nahdlatoel Oelama yang dilakukan oleh KH Mahfoedz Siddiq pada Muktamar ke-9 NU di Banyuwangi tahun 1934.

Kemudian, Majalah Berita Nahdlatoel Oelama ini digawangi oleh KH Mahfoedz Siddiq sebagai Pemimpin Umum sekaligus Pemimpin Redaksi. Terbit setiap setengah bulan sekali. Selain mengabarkan tentang dinamika organisasi di tubuh NU, menurut KH Saifuddin Zuhri dalam buku Berangkat dari Pesantren (LKiS, 2013), majalah ini juga bersifat ilmiah Islamiyah.

Kupasan Majalah Berita Nahdlatoel Oelama tentang masalah-masalah aktual kemasyarakatan menggunakan wawasan dan cakrawala yang luas. Selain itu, majalah ini juga tidak lepas dari persoalan-persoalan politik yang sedang menghangat seperti perdebatan Dewan Rakyat (Volksraad) buatan Hindia Belanda saat itu.

Selain itu juga menyajikan pidato-pidato Mohammad Husni Thamrin, Wiwoho, Mr. Muhammad Yamin, Sukarjo Wiryopranoto, dan tokoh nasional lainnya yang mengobarkan aspirasi nasional. Semua disajikan dan dikupas Berita Nahdlatoel Oelama secara kritis.

Di dalam buku yang sama, KH Saifuddin Zuhri mengungkapkan bahwa majalah NU tersebut juga pernah berpolemik dengan Bung Karno tentang “Islam Sontoloyo” yang oleh KH Mahfoedz Siddiq dinilai sebagai kedangkalan pengetahuan Bung Karno mengenai Islam. 

Salah satu tulisan Bung Karno di sebuah media pers yang berjudul “Memudahkan Syariat Islam” juga ditanggapi oleh Berita Nahdlatoel Oelama dengan sanggahan bersifat pembelaan terhadap Syariat Islam. Sebuah pertanyaan dilontarkan oleh Berita NU: “Apa tujuan Ir. Soekarno yang sesungguhnya? Hendak memudahkan? ataukah memudahkan? Ataukah barangkali hendak mempermudah Syariat Islam?”

Namun, belakangan diketahui bahwa yang dimaksud Bung Karno adalah kelompok-kelompok Islam yang memiliki paham eksklusif, kaku, konservatif dalam memahami praktik keberagamaan di Indonesia. Hal ini juga tentu sudah dipahami oleh para kiai NU. Namun, sudah menjadi tradisi pesantren untuk melakukan proses tabayun. Sehingga KH Mahfoedz Siddiq melontarkan sejumlah pertanyaan klarifikasi kepada Bung Karno.

Majalah Berita Nahdlatoel Oelama terdiri dari sejumlah personel redaksi. Bertindak sebagai Penasihat yaitu KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah, dan KH Bisri Syansuri. Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi adalah KH Mahfudz Siddiq. Redaktur antara lain KH Ilyas dan KH Wahid Hasyim. Sedangkan Direktur yaitu KH Abdullah Ubaid.

Para kiai pengelola majalah ini mendorong pembaca agar menjaga kemuliaan majalah Berita Nahdlatoel Oelama karena banyak berisi ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits. Perhatian tersebut disematkan di bagian cover depan bagian bawah berbunyi:

Oleh karena ini madjallah memoeat banjak kalimat moe’adzzomah dari ajat-ajat Al-Qoer’an dan Chadits2 Nabi, maka wajib atas toean-toean pembatja oentoek memoeliakan ini madjallah. []

(Fathoni Ahmad)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar