Majalah Berita
Nahdlatoel Oelama Tahun 1936
Jam’iyah Nahdlatul
Ulama sejak dideklarasikan pada 1926 sudah memiliki kesadaran untuk
mendakwahkan Islam Ahlussunnah wal Jamaah dan sikap-sikap kebangsaan melalui
media yang dimilikinya seperti Majalah Berita Nahdlatoel Oelama yang terbit
setiap setengah bulan sekali.
Namun, jauh sebelum
NU resmi dideklarasikan, para kiai pesantren memahami betul peran media untuk
mengabarkan dan mendakwahkan Islam. Lebih dari itu, Indonesia yang kala itu
masih terkungkung penjajahan mendorong para kiai untuk memiliki media sebagai
penghubung pergerakan nasional kepada masyarakat secara luas.
Di tubuh NU sendiri,
munculnya media berawal dari Swara Nahdlatoel Oelama. Kelahiran Swara
Nahdlatoel Oelama satu setengah tahun setelah NU lahir yaitu pada bulan Juni
1927. Majalah bulanan terbitan pertama ini berbahasa Jawa dan beraksara pegon.
Aksara arab pegon
berbahasa Jawa ini punya cerita tersendiri di kalangan para kiai NU untuk
persoalan strategis menghadapi penjajah. Penjajah yang senantiasa mengendus
gerak-gerik para kiai dan santri kala itu juga terus berupaya dengan memahami
apa yang mereka sebar melalui media. Dengan menulis informasi dan kabar
menggunakan aksara pegon, penjajah tidak akan mengerti isi dari berita-berita
yang NU sebarkan.
Terbitnya Swara
Nahdlatoel Oelama disusul munculnya majalah Oetoesan Nahdlatoel Oelama pada
Januari 1928. Kemudian majalah Berita Nahdlatoel Oelama pada tahun 1931. Tiga
majalah itu hidup berdampingan. Majalah yang disebut terakhir masih terbit
hingga pada tahun 1953. Ada juga Swara Ansor NO dan Soeloeh Perdjoeangan.
Tumbuhnya media-media
NU pada zaman penjajahan tersebut menunjukkan bahwa peran dan fungsi media
sangat dibutuhkan oleh para kiai NU dalam berdakwah maupun mendorong propaganda
kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan. Namun demikian, munculnya
gerakan-gerakan NU dibidang pers dan jurnalisme, utamanya adalah edukasi
keagamaan, sosial, budaya, dan politik kebangsaan.
Tulisan singkat ini
hanya berusaha mengungkap Majalah Berita Nahdlatoel Oelama yang terbit
sekitaran tahun 1936. Meskipun di awal media-media NU tersebut hidup
berdampingan, namun sumber lain mengatakan bahwa Majalah Berita Nahdlatoel
Oelama merupakan transformasi dari Swara Nahdlatoel Oelama yang dilakukan oleh
KH Mahfoedz Siddiq pada Muktamar ke-9 NU di Banyuwangi tahun 1934.
Kemudian, Majalah
Berita Nahdlatoel Oelama ini digawangi oleh KH Mahfoedz Siddiq sebagai Pemimpin
Umum sekaligus Pemimpin Redaksi. Terbit setiap setengah bulan sekali. Selain
mengabarkan tentang dinamika organisasi di tubuh NU, menurut KH Saifuddin Zuhri
dalam buku Berangkat dari Pesantren (LKiS, 2013), majalah ini juga bersifat
ilmiah Islamiyah.
Kupasan Majalah
Berita Nahdlatoel Oelama tentang masalah-masalah aktual kemasyarakatan
menggunakan wawasan dan cakrawala yang luas. Selain itu, majalah ini juga tidak
lepas dari persoalan-persoalan politik yang sedang menghangat seperti
perdebatan Dewan Rakyat (Volksraad) buatan Hindia Belanda saat itu.
Selain itu juga
menyajikan pidato-pidato Mohammad Husni Thamrin, Wiwoho, Mr. Muhammad Yamin,
Sukarjo Wiryopranoto, dan tokoh nasional lainnya yang mengobarkan aspirasi
nasional. Semua disajikan dan dikupas Berita Nahdlatoel Oelama secara kritis.
Di dalam buku yang
sama, KH Saifuddin Zuhri mengungkapkan bahwa majalah NU tersebut juga pernah berpolemik
dengan Bung Karno tentang “Islam Sontoloyo” yang oleh KH Mahfoedz Siddiq
dinilai sebagai kedangkalan pengetahuan Bung Karno mengenai Islam.
Salah satu tulisan
Bung Karno di sebuah media pers yang berjudul “Memudahkan Syariat Islam” juga
ditanggapi oleh Berita Nahdlatoel Oelama dengan sanggahan bersifat pembelaan
terhadap Syariat Islam. Sebuah pertanyaan dilontarkan oleh Berita NU: “Apa
tujuan Ir. Soekarno yang sesungguhnya? Hendak memudahkan? ataukah memudahkan?
Ataukah barangkali hendak mempermudah Syariat Islam?”
Namun, belakangan
diketahui bahwa yang dimaksud Bung Karno adalah kelompok-kelompok Islam yang
memiliki paham eksklusif, kaku, konservatif dalam memahami praktik keberagamaan
di Indonesia. Hal ini juga tentu sudah dipahami oleh para kiai NU. Namun, sudah
menjadi tradisi pesantren untuk melakukan proses tabayun. Sehingga KH Mahfoedz
Siddiq melontarkan sejumlah pertanyaan klarifikasi kepada Bung Karno.
Majalah Berita
Nahdlatoel Oelama terdiri dari sejumlah personel redaksi. Bertindak sebagai
Penasihat yaitu KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah, dan KH Bisri Syansuri.
Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi adalah KH Mahfudz Siddiq. Redaktur antara lain
KH Ilyas dan KH Wahid Hasyim. Sedangkan Direktur yaitu KH Abdullah Ubaid.
Para kiai pengelola
majalah ini mendorong pembaca agar menjaga kemuliaan majalah Berita Nahdlatoel
Oelama karena banyak berisi ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits. Perhatian tersebut
disematkan di bagian cover depan bagian bawah berbunyi:
Oleh karena ini
madjallah memoeat banjak kalimat moe’adzzomah dari ajat-ajat Al-Qoer’an dan
Chadits2 Nabi, maka wajib atas toean-toean pembatja oentoek memoeliakan ini
madjallah. []
(Fathoni Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar