Senin, 10 September 2018

Nasaruddin Umar: Bagaimana Merawat Kemabruran Haji? (1)


Bagaimana Merawat Kemabruran Haji? (1)
Oleh: Nasaruddin Umar

MERAWAT kemabruran haji jauh lebih berat jika dibandingkan dengan melaksanakan ibadah haji. Sebaiknya para calon jamaah haji lebih memperhatikan hal ini sebab jangan sampai kesempatan langka berhajinya berakhir dengan hampa berkah.

Mereka perlu diingatkan bahwa di dalam melaksanakan ibadah haji jangan hanya fokus memperhatikan rukun dan syarat sah haji, sebagaimana di dalam buku-buku manasik haji. Tetapi, yang tak kalah pentingnya bagaimana menancapkan sebuah pendirian untuk memermanenkan kemambruran haji sepanjang masa hidupnya.

Harapan kita semua kepada umat Islam yang telah menunaikan ibadah haji agar merawat dengan baik kemabruran haji mereka. Semoga mereka membawa berkah haji maqbul dan haji mabrur. Kemakbulan haji banyak ditentukan di Tanah Suci, tetapi kemabruran haji banyak ditentukan di Tanah Air menuju Mekah. Kita sudah berniat dan bertekad untuk menjadi haji mabrur. Kita sudah berniat untuk berubah. Dari jalan hidup yang abu-abu ke jalan hidup yang putih, seputih kain ihram.

Dari suasana batin yang keruh ke suasana batin yang bening sebening air zamzam. Dari jalan pikiran yang bengkok ke pikiran yang lurus, selurus jalan lurus Safa dan Marwah. Dari perilaku yang keras ke perilaku yang lembut, selembut tangan yang menyapa Hajar Aswad. Dari tutur kata yang kasar ke tutur kata yang halus, sehalus bisikan doa kita kepada Tuhan.

Tentu masih ingat, ketika kita sedang mengganti pakaian biasa dengan pakaian seragam ihram. Ini pertanda bahwa kita berikrar menanggalkan atribut egoisme dan memarkir rasa keakuan kita lalu melarutkan diri ke dalam atribut kebersamaan. Kita melebur kelas dan status sosial-budaya kita ke dalam ruang dan waktu egaliter.

Tidak ada lagi pembantu di samping tuan dan nyonya. Tidak ada lagi jenderal di samping prajurit. Tidak ada lagi militer di samping sipil. Tidak ada lagi pemimpin, raja, dan presiden di samping rakyat. Tidak ada lagi konglomerat di samping rakyat miskin. Tidak ada lagi pemilik modal di samping buruh. Tidak ada lagi ustaz di samping jemaah. Tidak ada lagi guru dan dosen di samping murid dan mahasiswa.

Tidak ada lagi kulit putih di samping kulit hitam. Tidak ada lagi orangtua atau senior di samping anak atau junior. Tidak ada lagi laki-laki di samping perempuan. Tidak ada lagi malaikat di samping manusia.

Seolah-olah yang ada hanya Tuhan dan hamba. Sang hamba pun seolah-olah ingin melebur dengan Tuhannya sehingga seolah-olah terwujud sang hamba dan Tuhan sedang menyatu (al-'abid wal ma'bud wahid).

Detik-detik menentukan terjadi saat kita merasakan suasana batin khusus yang tak pernah dirasakan di tempat lain. Kesulitan berubah menjadi kenikmatan. Perjalanan jauh tidak lagi terasa, bau tidak lagi tercium di sela-sela jepitan berbagai suku bangsa.

Terik matahari tidak lagi terasa panas di Mekah. Dingin tidak lagi terasa menggigit di Madinah. Sujud di punggung orang tidak lagi terasa masalah. Makanan sedikit dan sederhana terasa cukup dan nikmat. Kehilangan sandal dan dompet pun juga tidak menjadi persoalan. Ini semua disebabkan tulusnya sebuah penyerahan diri kepada Allah SWT.

Ini sebuah pelajaran penting manakala kita ikhlas, tidak akan terjadi kekecewaan, apalagi sekadar kelelahan. Dengan kata lain, jika kita masih sering merasa kecewa dan kelelahan, itu pertanda keikhlasan kita belum sejati. Pengalaman demi pengalaman di Tanah Haram seolah menjadi kenangan yang terlalu sulit untuk dilupakan.

Pasti kita masih ingat, ketika kita sampai di Masjidil Haram atau Masjid Madinah, semuanya memperebutkan saf pertama. Sama-sama salat Tahiyat Masjid. Semua harus tunduk di bawah satu komando: imam. Meskipun kedudukannya sangat sentral, imam tidak boleh semena-mena. Jika ia salah, serentak makmumnya, laki-laki atau perempuan, sama-sama berhak dan berkewajiban membetulkannya. Jika imam tidak melakukan pelanggaran, makmum wajib mengikut setia kepadanya.

Makmum tidak boleh mendahului gerakan imam. Sistem yang mengatur antara imam dan makmum disebut imamah. Itu juga menjadi pelajaran penting, manakala imam dan makmun menjalani kaedah imamah, yang terwujud ialah jemaah yang solid atau masyarakat ideal. Tidak ada masyarakat, negara, atau bangsa yang ideal tanpa aturan yang dipatuhi. Pengalaman batin ini perlu diendapkan di alam bawah sadar kita agar kita terproteksi dari dosa-dosa baru. Allahu a'lam. []

MEDIA INDONESIA, 28 Agustus 2018
Nasaruddin Umar Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar