Bagaimana
Merawat Kemabruran Haji? (1)
Oleh:
Nasaruddin Umar
MERAWAT
kemabruran haji jauh lebih berat jika dibandingkan dengan melaksanakan ibadah
haji. Sebaiknya para calon jamaah haji lebih memperhatikan hal ini sebab jangan
sampai kesempatan langka berhajinya berakhir dengan hampa berkah.
Mereka
perlu diingatkan bahwa di dalam melaksanakan ibadah haji jangan hanya fokus
memperhatikan rukun dan syarat sah haji, sebagaimana di dalam buku-buku manasik
haji. Tetapi, yang tak kalah pentingnya bagaimana menancapkan sebuah pendirian
untuk memermanenkan kemambruran haji sepanjang masa hidupnya.
Harapan
kita semua kepada umat Islam yang telah menunaikan ibadah haji agar merawat
dengan baik kemabruran haji mereka. Semoga mereka membawa berkah haji maqbul
dan haji mabrur. Kemakbulan haji banyak ditentukan di Tanah Suci, tetapi
kemabruran haji banyak ditentukan di Tanah Air menuju Mekah. Kita sudah berniat
dan bertekad untuk menjadi haji mabrur. Kita sudah berniat untuk berubah. Dari
jalan hidup yang abu-abu ke jalan hidup yang putih, seputih kain ihram.
Dari
suasana batin yang keruh ke suasana batin yang bening sebening air zamzam. Dari
jalan pikiran yang bengkok ke pikiran yang lurus, selurus jalan lurus Safa dan
Marwah. Dari perilaku yang keras ke perilaku yang lembut, selembut tangan yang
menyapa Hajar Aswad. Dari tutur kata yang kasar ke tutur kata yang halus,
sehalus bisikan doa kita kepada Tuhan.
Tentu
masih ingat, ketika kita sedang mengganti pakaian biasa dengan pakaian seragam
ihram. Ini pertanda bahwa kita berikrar menanggalkan atribut egoisme dan
memarkir rasa keakuan kita lalu melarutkan diri ke dalam atribut kebersamaan.
Kita melebur kelas dan status sosial-budaya kita ke dalam ruang dan waktu
egaliter.
Tidak ada
lagi pembantu di samping tuan dan nyonya. Tidak ada lagi jenderal di samping
prajurit. Tidak ada lagi militer di samping sipil. Tidak ada lagi pemimpin,
raja, dan presiden di samping rakyat. Tidak ada lagi konglomerat di samping
rakyat miskin. Tidak ada lagi pemilik modal di samping buruh. Tidak ada lagi
ustaz di samping jemaah. Tidak ada lagi guru dan dosen di samping murid dan
mahasiswa.
Tidak ada
lagi kulit putih di samping kulit hitam. Tidak ada lagi orangtua atau senior di
samping anak atau junior. Tidak ada lagi laki-laki di samping perempuan. Tidak
ada lagi malaikat di samping manusia.
Seolah-olah
yang ada hanya Tuhan dan hamba. Sang hamba pun seolah-olah ingin melebur dengan
Tuhannya sehingga seolah-olah terwujud sang hamba dan Tuhan sedang menyatu
(al-'abid wal ma'bud wahid).
Detik-detik
menentukan terjadi saat kita merasakan suasana batin khusus yang tak pernah
dirasakan di tempat lain. Kesulitan berubah menjadi kenikmatan. Perjalanan jauh
tidak lagi terasa, bau tidak lagi tercium di sela-sela jepitan berbagai suku
bangsa.
Terik
matahari tidak lagi terasa panas di Mekah. Dingin tidak lagi terasa menggigit
di Madinah. Sujud di punggung orang tidak lagi terasa masalah. Makanan sedikit
dan sederhana terasa cukup dan nikmat. Kehilangan sandal dan dompet pun juga
tidak menjadi persoalan. Ini semua disebabkan tulusnya sebuah penyerahan diri
kepada Allah SWT.
Ini
sebuah pelajaran penting manakala kita ikhlas, tidak akan terjadi kekecewaan,
apalagi sekadar kelelahan. Dengan kata lain, jika kita masih sering merasa
kecewa dan kelelahan, itu pertanda keikhlasan kita belum sejati. Pengalaman
demi pengalaman di Tanah Haram seolah menjadi kenangan yang terlalu sulit untuk
dilupakan.
Pasti
kita masih ingat, ketika kita sampai di Masjidil Haram atau Masjid Madinah,
semuanya memperebutkan saf pertama. Sama-sama salat Tahiyat Masjid. Semua harus
tunduk di bawah satu komando: imam. Meskipun kedudukannya sangat sentral, imam
tidak boleh semena-mena. Jika ia salah, serentak makmumnya, laki-laki atau
perempuan, sama-sama berhak dan berkewajiban membetulkannya. Jika imam tidak
melakukan pelanggaran, makmum wajib mengikut setia kepadanya.
Makmum
tidak boleh mendahului gerakan imam. Sistem yang mengatur antara imam dan
makmum disebut imamah. Itu juga menjadi pelajaran penting, manakala imam dan makmun
menjalani kaedah imamah, yang terwujud ialah jemaah yang solid atau masyarakat
ideal. Tidak ada masyarakat, negara, atau bangsa yang ideal tanpa aturan yang
dipatuhi. Pengalaman batin ini perlu diendapkan di alam bawah sadar kita agar
kita terproteksi dari dosa-dosa baru. Allahu a'lam. []
MEDIA
INDONESIA, 28 Agustus 2018
Nasaruddin
Umar Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar