Orang Betawi dan Indonesia
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Beberapa orang Betawi dan temannya mendatangi penulis di rumah
pada akhir bulan Oktober 2003. Ada yang dari Klender dan dari daerah lain di
kawasan ibukota negara ini. Keluhannya sama: “penulis tidak ‘open’ terhadap
orang Betawi”. Penulis akui bahwa selama ini memang kurang
bersilahturahmi kepada para ulama Betawi. Bukan apa-apa, melainkan karena
penulis takut datang ke rumah mereka akan mengganggu rutinitas beliau-beliau
itu, yang memberikan pengajian/ceramah di masjid dan surau-surau di seluruh
daerah Betawi. Di samping itu, penulis sendiri sejak 1999 memang harus banyak
berkeliling Indonesia, karena memang tidak lagi bersandar kepada pers nasional,
yang memuat/memberitakan apa yang penulis ucapkan hanya 30% saja.
Konsep-konsep penulis diberitakan secara tidak utuh, sehingga
terpenggal menjadi potongan demi potongan yang tidak memberikan gambaran utuh
tentang apa yang penulis kehendaki. Mungkin yang dikemukakan penulis itu banyak
yang kalah bersaing dengan berita-berita sensasional yang dihidangkan pers kepada
publik. Juga kalau sebuah media massa terlalu banyak menghidangkan pendapat
penulis, maka ia akan dianggap milik penulis. Maka dapat dimengerti mengapa
sangat sedikit pemikiran penulis itu dimuat oleh pers nasional kita. Tanpa
menyesali siapapun, penulis melakukan komunikasi langsung dan publik melalui
caranya sendiri.
Ini dilakukan penulis, melalui rangkaian pidato dan penampilan di
muka umum di seluruh Indonesia. Akibatnya, penulis tidak dapat “mengkhususkan
diri” pada sebuah daerah saja, yang bahkan harus tampil di Pulau Sangir dan
pulau Talaud, titik terjauh di sebelah utara negara kita. Dalam rencana,
penulis akan ke tanah Papua untuk beberapa hari setelah lebaran nanti. Inilah
yang membuat mengapa penulis jarang berada di kawasan Betawi walaupun jarang
ada pimpinan partai politik -di luar urusan partai yang dipimpinnya-, dapat
menyaingi/menyamai jangkauan penulis: Siapakah yang pernah ke Gembong di Bekasi
atau Tempuran di Cilamaya (Cikampek)? Belum lagi perjalanan ke luar negeri,
untuk menjelaskan Islam menentang terorisme.
*****
Penulis mengemukakan bahwa kesan tersebut sebenarnya berasal dari
kedekatan para ulama Betawi dengan Ayahanda penulis. Beliau memang dekat dengan
KH. Ali Ujung Harapan (Marunda), KH. Hasbialah dan KH. Mursidi serta KH. Jayadi
di Klender, bergaul erat dengan guru Marjuki di Cipinang Muara, guru Amin di
Kalibata, guru Musa di Tegalparang, guru Mughdi di Kuningan, KH. Rahmatulah
Sidik di Kebon Jeruk, KH. Razak Me’mun di Warung Buncit, KH. Tharir Rahali di
Kampung Melayu dan KH. K. Abdullah Syafe’i di Bali Matraman serta sejumlah
ulama lain. Karena beliau pada umumnya tinggal di Jakarta, ia dapat menemui
mereka itu secara terus menerus, lain halnya dengan penulis.
Namun dalam kenyataan penulis tidak pernah jauh dari kawan-kawan
Betawi itu. Bahkan orang-orang terdekat penulispun adalah orang-orang Betawi.
Hanya saja penulis memang menerapkan ukuran yang agak keras terhadap
siapapun, karena akan menghadapi tuduhan-tuduhan sangat keras terhadap penulis,
walaupun penulis dituduh “agak lembek” terhadap teman-teman dekat di
sekelilingnya sewaktu menjadi Presiden. Ternyata banyak kawan Betawi yang
terpaksa harus menjadi korban dalam hal ini. Karena itulah, sekarang seperti
tak tampak orang Betawi di sekitar penulis. Tetapi dapat penulis katakan, bahwa
orang-orang Betawi yang survive di sekitar penulis adalah mereka yang tahan uji
dan dapat dipertanggung jawabkan baik secara teknis maupun tentang kejujuran
mereka, seperti Kyai Aminullah Mochtar dari kota Bekasi.
Demikian ketika berlangsung pembentukan pengurus partai yang
penulis ikuti untuk daerah Jakarta, penulis mendukung seorang ulama muda Betawi
Kyai Ubaidillah Isa, yang kemudian terpilih menjadi ketua dewan agama
partai itu. Ini menunjukkan betapa dalam pandangan penulis, penting sekali arti
kawan-kawan Betawi sebagai pemimpin umat di garis terdepan perjuangan
politik di tanah air kita. Bahwa mereka pun terkena kualifikasi cukup berat,
-berupa kapasitas teknis kejujuran-keterbukaan- ini adalah bukti dari keadaan
berat yang akan ditempuh kawan-kawan dekat penulis di kalangan orang-orang
Betawi itu. Hanya saja memang mereka “belum muncul” dipermukaan, karena belum
lama berkecimpung di tingkat wilayah Jabotabek itu sendiri atau menurut istilah
Betawi “hanya beredar di wilayah sendiri”.
*****
Betawi pernah menyumbangkan putra seperti MH. Thamrin dalam
pagelaran politik Indonesia menunjukkan betapa potensial peranan kaum Betawi.
Hanya saja kalau teman-teman mereka -seperti orang Minang, Batak, Jawa, Sunda,
Manado- lebih tampak berjuang untuk Indonesia, maka kaum Betawi akhirnya
menjadi ‘orang daerah’ dan kurang sebagai ‘orang Indonesia.’ Padahal peranan
Cibarusa di Bekasi dalam membentuk Tentara Nasional Indonesia dan bukanlah
barang kecil peranan para pemuda yang menculik pemimpin bangsa ke
Rengasdengklok di Karawang untuk kemudian “memaksa” mereka itu untuk
mengumumkan dan mengamankan Proklamasi 17 Agustus 1945, justru menjadi penentu
bagi kemerdekaan bangsa. Demikian juga, pertempuran yang terjadi antara tentara
penjajah sekutu melawan pejuang bangsa di antara Karawang-Bekasi, adalah
sesuatu yang sangat heroik yang direkam dengan tepat oleh sajak Chairul Anwar
yang terkenal itu. Bahkan, cerita guru Isa yang digambarkan oleh Mochtar Lubis
dalam novelnya “Jalan Tak Ada Ujung” memperlihatkan betapa besarnya
kemelut yang harus dihadapi orang Betawi di masa perjuangan kemerdekaan. Hal
ini sekarang diteruskan oleh kaum Betawi yang digusur di pinggiran kota secara
pasti namun atas nama pembangunan. Karena itu, patutlah rasanya penulis
bertanya dalam tulisan ini: Dalam arus mempertahankan diri terhadap akibat
negatif dari “pembangunan” ini, di manakah engkau wahai orang Betawi?
Arus pembangunan yang terlalu di dominasi oleh kaum birokrasi dan
disemangati oleh orientasi materialistik sekarang ini, sudah merubah wajah
kawasan Jakarta. Tragisnya ruang hidup di DKI Jaya, sudah terbagi antara
ruangan orang kaya dan ruangan yang miskin. Begitu juga pemerintah yang ada,
sudah mengalami kebuntuan dan kegagalan untuk memberikan perlakuan manusiawi
terhadap para penduduknya yang miskin. Kalau pemerintah daerah dan pemerintah
pusat hanya sibuk mengenakan hidup orang kaya dan memberikan pelayanan seadanya
kepada orang miskin, maka bahaya revolusi sosial jelas tidak terhindarkan lagi.
Ini juga terjadi atas orang Betawi, akibatnya bukanlah orang-orang Betawi
melawan para pendatang, melainkan antara orang miskin dan orang kaya.
Sebenarnya sukar untuk menyatakan bahwa korban tidak akan berjatuhan, bukan? []
Jakarta, 5 November 2003
Sinar Harapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar