Dapatkah Keberagaman Dipertahankan?
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Melihat kepada kenyataan, orang sangat khawatir akan terjadinya
penyeragaman di mana-mana, paling tidak dalam hal selera. Berbagai macam
waralaba makanan cepat saji (fast food) internasional yang banyak terdapat di
negeri ini merupakan contoh paling gampang. Kalau fast food adalah lambang
penyeragaman selera di bidang pangan, maka Jeans merupakan penyeragaman selera
di bidang pakaian. Belum lagi kalau melihat proses penyeragaman dengan
memunculkan “tokoh-tokoh” seperti Rambo dan Terminator dalam film-film yang
disajikan kepada kita. Ini lebih menakutkan karena menunjukkan adanya
penyeragaman selera di bidang hiburan, yaitu kekerasan dipuja sebagai
“penyelesain masalah.” Dikombinasikan dengan “penjajaan” buku komik dan
sebagainya dari luar negeri, maka terjadi proses pendangkalan yang sangat
dahsyat: orang tidak tahu lagi akan masa lampau dirinya, dan hanya melihat pada
masa kini dan masa yang akan datang.
Kalau gejala ini dilihat dari pengetahuan positifistik yang
berasal dari matrialisme itu, maka dengan sendirinya orang hanya melihat
keuntungan-keuntungan kebendaan yang dapat diperoleh dari sebuah tindakan.
Bahwa ada hal-hal mulia yang perlu dipertahankan mati-matian, seperti cinta
tanah air dan sebagainya tentu tidak masuk akal. Kalau toch ada rasa kecintaan
kepada tanah air itu, maka hanyalah pemujaan yang vulgar akan kebesaran masa
lampau dan penuh kebencian terhadap orang-orang yang tidak sepaham. Kita sudah
menderita sangat hebat oleh pandangan sepihak seperti itu, dari Jenderal Tojo
di Jepang dan Adolf Hitler di Jerman, yang mengakibatkan Perang Dunia II
yang menelan korban puluhan juta jiwa manusia.
Walaupun PD II sudah lewat, namun sekarangpun kita masih hidup
dalam suasana “balance of power” (keseimbangan kekuasaan). Jika dulu
pesawat-pesawat dari S.A.C (Strategic Air Command- Komando Strategi Udara)
membawa bom atom, kini digantikan oleh sejumlah peluru kendali yang berhulu
ledak nuklir. Sejumlah negara yang memiliki hulu ledak nuklir tidak mau
memenuhi perjanjian non-proliferasi nuklir (Nuclear non-Proliferation Treaty
–NPT), seolah-olah NPT itu hanya berada di atas saja kertas saja. Akibatnya
sekarang, umat manusia terancam oleh adanya ratusan, bahkan ribuan hulu ledak
nuklir yang dapat mengakibatkan kematian manusia dan dunia dalam jumlah sangat
besar. Keadaan ini tentu adalah “keseimbangan kekuasaan” yang tidak kita
inginkan, tapi ini kenyataan yang tidak dapat dibantah dan sekaligus membentuk
pola hubungan internasional baru.
*****
Penyeragaman melalui teror itu “telah menjadi bagian yang
membentuk hidup kita saat ini, yang pada akhirnya memaksa umat manusia untuk
tidak menghargai hal-hal lain di luar teknologi persenjataan. Dikombinasikan
dengan penyeragaman di berbagai bidang kehidupan, seperti diuraikan di atas
“mengiring” umat manusia kepada sebuah keadaan yang seolah-olah tidak
menghargai karsa pribadi (individual initiative) kecuali jika datang dari seorang
“pemimpin.” Dengan demikian, kita jatuh ke dalam sebuah kontradiksi/
pertentangan antara upaya penyeragaman berbagai bidang kehidupan di satu pihak
dan prakarsa sang pemimpin di pihak lain. Jika kita memiliki pemimpin yang
mengerti pentingnya keberagaman, maka kita dengan sendirinya menjadi beruntung.
Tetapi jika kita mengutamakan keseragaman, seperti pemerintah Orde Baru, maka
mau tidak mau kita lalu menyimpang dari semboyan: Bhinneka Tunggal Ika,
berbeda-beda tetapi tetap satu.
Dalam hal ini terjadi apa yang dinamakan pemerintahan otoriter,
yaitu sebuah keadaan dimana selera dan kebiasaan seorang pemimpin akhirnya
menjadi penentu bagi selera masyarakat. Seorang Nasser dengan kecurigaannya
terhadap apa yang berbau Amerika, akhirnya menentukan orientasi kehidupan
bangsa Mesir yang autarki dengan pandangan mengutamakan produk dalam negeri.
Orientasi ini memungkinkan tumbuhnya orientasi serba Mesir di hampir semua
bidang kehidupan. Tetapi “kesalahan” Nasser terletak pada pemberian peran
terlalu besar kepada birokrasi pemerintah. Maka yang muncul adalah “sosialisme”
Arab yang membuat pemerintah mengatur segala-galanya dan menentukan semua hal.
Tidak ada prakarsa pribadi/inisiatif perorangan yang ditolelir negara.
Di negeri kita pun Soekarno dan obsesinya melawan campur tangan
kapitalisme internasional, membuat bangsa kita lalu mencurigai apapun yang
berasal dari luar negeri. Rasa benci terhadap apa yang lain dari negeri kita,
berujung pada sikap anti demokrasi. Hujatan terhadap Manifestasi Kebudayaan (Manikebu),
berakhir pada sikap menghakimi dan menghukum para pencetus Manikebu itu.
Akhirnya demokrasi terpimpin menjadi hanya sebuah slogan belaka, yang digunakan
tokoh-tokoh PKI, PNI-kiri- dan PARKINDO untuk memberangus lawan-lawan politik
mereka, akibatnya sesuatu yang tampak mulia dipermukaan, lalu menjadi alat
represi yang sangat mencekam, yang membuat pemerintah demokrasi terpimpin itu
dibenci oleh rakyat kebanyakan di mana-mana.
*****
Pemerintahan Orde Baru mementingkan perubahan kuantitatif dalam
kehidupan bangsa ini. Orientasinya menjadi teknokratik, artinya segala sesuatu
harus direncanakan dengan baik dan didasarkan pada acuan-acuan ilmiah, dan
dengan demikian lalu menjadi materialistik. Ini terlepas dari klaim bahwa kita
menjaga keseimbangan antara aspek spiritualistik dan materialistik dari
kehidupan kita itu. Ketika ini dikombinasikan dengan proses penyeragaman yang
terjadi dalam hampir semua bidang kehidupan, maka hasilnya adalah kombinasi
antara pendekatan sumber kekuasaan yang didukung oleh kekuatan manajerial dan
teknologi, menjadikan munculnya orientasi pragmatis (paham sesuai dengan
kebutuhan). Jadilah kita bangsa yang mengatakan dapat menghargai hal-hal
yang bersifat moral dan spiritual, tapi dalam kenyataan mencampurkan keduanya,
yang dalam pandangan kemanusiaan sebenarnya sering disebut sebagai “sikap hidup
munafik”.
Bagaimanakah merubah pandangan itu menjadi nilai-nilai kehidupan
yang benar-benar bersandar pada keseimbangan antara aspek pragmatik dan aspek
keluhuran masa lampau. Jawabnya adalah keharusan mengembangkan sikap hidup
serba pluralistik dengan menegakkan demokrasi yang sebenar-benarnya. Pandangan
keberagaman budaya (multikulturalisme) adalah inti dari demokrasi seperti itu.
Dalam acuan demokrasi itu, peranan kualitas individu menjadi sangat penting
sedangkan pemerintah hanya berperan membantu kreatifitas seperti itu.
Inilah sebabnya mengapa proses demokratisasi memerlukan masyarakat
sipil (civil society) yang kuat. Tanpa hal itu, tidak akan ada pengembangan
demokrasi dalam arti sebenarnya. Karenanya, demokrasi dalam segala embel-embel
di belakangnya -seperti demokrasi rakyat di negeri-negeri komunis-, sebenarnya
bukanlah demokrasi. Karena keberagaman pandangan hidup digantikan oleh
penyeragaman melalui fungsi negara. Ini termasuk apa yang dinamakan “demokrasi
Islam” jelas melakukan proses demokratisasi terdengar mudah dilakukan,
melainkan sulit dalam pelaksanaan, bukan? []
Jakarta, 5 November 2003
Kedaaulatan Rakyat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar