Hijrah
dan Transformasi Sosial
Oleh:
Musdah Mulia
ADALAH
Khalifah Umar bin Khattab yang pertama menetapkan perhitungan tahun Hijriah
atau penanggalan Tahun Hijrah. Penanggalan tersebut tidak dibuat berdasarkan
hari lahir Nabi Muhammad SAW, bukan pula hari wafat beliau, melainkan peristiwa
hijrah dari Mekah ke Madinah (waktu itu bernama: Yasrib) yang terjadi pada 2
Juli 622 M atau tanggal 12 Rabiul Awal.
Ada apa
dengan hijrah? Dan mengapa peristiwa itu dianggap sangat penting dalam sejarah
Islam? Hijrah ke Madinah bukanlah pertama bagi umat Islam, sebelumnya
sekelompok Muslim melakukan hijrah ke Habasyah (Ethiopia) dan diterima dengan
ramah oleh rajanya yang beragama Nasrani. Hijrah ke Madinah merupakan momentum
perubahan dan pembebasan umat Islam dari semua belenggu diskriminasi dan
kezaliman. Orang-orang Muslim yang berhijrah dari Mekah disebut Muhajirin,
sedangkan penduduk Muslim Madinah yang menolong mereka dinamakan Anshar (kaum
penolong).
Hijrah
Rasul ke Madinah bersama sahabatnya (laki dan perempuan) membawa perubahan
signifikan dalam sejarah Islam. Ketika di Mekah umat Islam teraniaya,
tertindas, diboikot, berada di bawah kuasa politik kaum musyrik Quraisy.
Sebaliknya, di Madinah umat Islam menjadi pemegang kendali politik kekuasaan.
Nabi diangkat menjadi kepala negara dengan masyarakat yang heterogen: umat
Islam yang terdiri atas Muhajirin dan Anshar, kelompok Yahudi dan penganut
paganisme.
Kota
Yatsrib diganti menjadi Madinah ar-Rasul (Kota Rasul), lalu disingkat dengan
Madinah. Kata Madinah mengandung dalam dirinya makna peradaban. Perubahan nama
tersebut mencerminkan suatu komitmen kuat dari umat Islam untuk mengubah diri
menjadi umat yang beradab dengan mengedepankan nilai-nilai keadaban dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Nilai-nilai keadaban tidak lain adalah
nilai-nilai universal kemanusiaan. Seperti nilai keadilan, kesetaraan,
kedamaian, kejujuran, dan kebersihan.
Istilah
hijrah umumnya dipakai untuk pengertian meninggalkan suatu negeri yang tidak
aman menuju negeri lain yang lebih aman, demi keselamatan dan kenyamanan dalam
menjalankan agama. Meskipun secara fisik peristiwa hijrah dikaitkan dengan Nabi
dan sahabat, bagi umat Islam tetap terbuka kesempatan melakukan hijrah.
Raghib
al-Isfahani (w 502 H/1108 M, pakar leksikografi Alquran) berpendapat, istilah
hijrah mengacu pada tiga pengertian. Pertama, meninggalkan negeri yang
penduduknya sangat tidak bersahabat, bahkan cenderung memusuhi menuju negeri
yang aman dan damai. Kedua, meninggalkan syahwat, akhlak buruk dan dosa-dosa
menuju kebaikan dan kemaslahatan (QS al-Ankabut, 29:26).
Ketiga,
meninggalkan semua bentuk narsisme dan hedonisme menuju kesadaran kemanusiaan
dengan cara mujahadah an-nafs (menundukkan hawa nafsu). Sungguh tepat hadis
Nabi: "Orang yang berhijrah ialah orang yang meninggalkan segala yang
dibenci Allah" (Hadis Bukhari). Intinya, hijrah adalah meninggalkan semua
kebiasaan buruk yang mencederai kenyamanan sesama manusia dan kelestarian
lingkungan sekitar.
Terkait
dengan hijrah, sejumlah ayat Alquran secara tegas memotivasi orang-orang
beriman agar berjuang dan berusaha memperbaiki nasib. Kalau perlu berpindah
lokasi mencari tempat kehidupan yang lebih baik, lebih kondusif, jangan terpaku
hanya pada satu tempat saja.
Dari
perspektif ini Islam terkesan sangat mengapresiasi perkembangan global yang
ditandai tingginya dinamika dan mobilitas penduduk. Islam menghendaki umat yang
dinamis dan progres. Bukan umat yang terbelakang dan terkungkung, apalagi
statis, apatis, pasif, dan pasrah menerima nasib.
Pesan
hijrah adalah umat Islam harus mau dan mampu mengubah nasib ke arah yang lebih
baik. Harus mampu melakukan transformasi diri ke arah yang lebih positif dan
konstruktif sehingga menjadi umat yang rahmatan lil alamin. Umat yang membawa
manfaat dan rahmat bagi semua manusia, semua makhluk dan juga alam semesta,
bukan membawa bencana dan berbagai kondisi destruktif.
Umat
Islam harus menjadi pionir dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi,
nepotisme, dan semua praktik oligarki politik yang menjijikkan, serta terdepan
dalam upaya eliminasi semua bentuk perilaku diskriminasi, eksploitasi, dan
kekerasan berbasis apa pun.
Tahun
baru hijrah kali ini hendaknya menjadi refleksi diri bagi kita umat Islam
Indonesia untuk berkomitmen melakukan upaya-upaya konkret mentransformasikan
diri dan masyarakat. Antara lain berwujud perbaikan dan peningkatan mutu
pengelola birokrasi pemerintahan agar dapat melakukan tugasnya melayani
kepentingan seluruh masyarakat, terutama kelompok rentan dan marjinal.
Perbaikan atau revisi sejumlah kebijakan publik dan peraturan
perundang-undangan yang masih mengandung unsur diskriminatif terhadap kelompok
minoritas gender, agama, dan etnis.
Dan juga,
perbaikan kualitas pengelolaan pendidikan di semua tingkatan sehingga
mewujudkan masyarakat terdidik yang lebih mengedepankan nilai-nilai
kemanusiaan, serta perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat di akar rumput,
khususnya kaum buruh, petani dan nelayan. Terutama berkaitan dengan fasilitas
pelayanan publik, seperti rumah sakit, sekolah, tempat rekreasi, dan
aksesibilitas publik bagi para lansia dan penyandang cacat.
Akhirnya,
selamat Tahun Baru 1440 Hijriah semoga semua manusia damai sepanjang tahun. []
MEDIA
INDONESIA, 07 September 2018
Musdah
Mulia | Dosen UIN Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar