Rabu, 12 September 2018

Nasaruddin Umar: Bagaimana Merawat Kemabruran Haji? (2)


Bagaimana Merawat Kemabruran Haji? (2)
Oleh: Nasaruddin Umar

KIAT-KIAT untuk merawat kemabruran haji menurut kalangan ulama tasawuf, antara lain teruslah membayangkan saat-saat indah ketika kita sedang di tempat-tempat suci di arena haji. Bayangkan ketika kita sedang berada di samping Kabah, larut bersama semua jemaah melaksanakan salat dan bertawaf, memutari poros Kabah. Tidak boleh ada yang melawan arus.

Lautan manusia bagaikan mengalir mengikuti anak-anak sungainya masing-masing. Mereka sama-sama melantunkan lafaz talbiyah, yaitu labbaikallahumma labbaik, labbaika lasyarikalaka labbaik, innan ni'mata wal mulk la syarika laka labbaik. Mereka berangkat dari satu titik, lalu berputar, dan pada akhirnya mereka sampai juga pada titik terakhir, yang tidak lain ialah titik awal mereka. Ini melambangkan pemandangan hidup, sejauh melangkah akhirnya akan kembali juga ke tempat semula, inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.

Setelah melakukan tawaf, perjalanan dilanjutkan dengan sa'yi, yaitu perjalanan bolak-balik dari bukit Shafa ke bukit Marwah. Tempat ini juga menyimpan rumus kehidupan penting. Ketika si kecil Ismail sedang kelaparan, naluri keibuan tidak bisa tinggal diam. Sang ibu, Siti Hajar berupaya mencari alternatif dengan berjalan dan berlari-lari kecil guna membantu anaknya. Ia tidak hanya bertafakur sambil memohon rezeki kepada Allah SWT. Ia berjalan ke sana kemari. Perjalanan kadang datar, kadang mendaki, dan terkadang juga harus berbalik arah. Ini lambang kehidupan, yaitu rezeki dan kenikmatan diperoleh melalui keringat usaha, bukannya melalui keheningan doa. Sebuah pepatah Bugis mengatakan 'resopa temmangingngi naletei pammasena Dewata Sewwae' (hanya usaha yang gigih menjadi perantara turunnya rahmat Tuhan YME). Mungkin ada juga pepatah dari daerah lain yang seirama dengan doktrin tersebut.

Puncaknya ketika kita di Padang Arafah, kembali lautan putih manusia menghiasi permukaan wilayah tersebut. Di sinilah Tuhan seolah-olah menampakkan kebesarannya dengan menghimpun manusia di sebuah padang luas. Padang Arafah betul-betul menjadi miniatur Padang Mahsyar di hari kiamat. Lautan manusia tidak berdaya. Mereka hanya bisa bersimpuh di hadapan kebesaran Allah Rabbul Jalil. Semua orang merasa hina di hadapan Allah di hari itu. Tidak sedikit di antara mereka yang menumpahkan air mata penyesalan karena banyaknya waktu yang hilang percuma tanpa diisi dengan ibadah. Sebagian lagi meratapi kegelapan masa lampau yang telah dilewatinya. Hari itu tidak ada lagi secercah harapan tanpa kasih Tuhan. Ibadah yang banyak terasa amat sedikit bila dibandingkan dengan kemahakuasaan Allah SWT. Di padang ini berlaku aturan orang-perorangan (nafsi-nafsi). Tanpa energi dan bekal sendiri, tidak akan ada penyelamatan. Di padang ini tidak lagi berlaku kewarganegaraan. Tidak ada lagi paspor dan KTP. Hanya satu warga, yaitu warga makhluk mikrokosmos di hadapan kebesaran Allah SWT. Seolah kita menyaksikan minatur Padang Mahsyar di dunia.

Tentu kita juga sulit melupakan kota Nabi, Madinah. Suasana batin kita terasa menjadi sangat spesifik. Seolah-olah Nabi kita, Muhammad SAW, masih hidup. Sosok yang sekian lama kita rindukan terobati dengan memandang kuburannya, masjid, dan bekas-bekas peninggalan sejarahnya.
Sisa-sisa benteng Khandaq, kuburan Baqi, serta tempat peristirahatan keluarga dan sahabat Nabi, seolah-olah semuanya masih memancarkan energi-energi positif mengalir ke relung-relung jiwa dan pikiran kita.

Perasaan ingin berlama-lama, tetapi waktu juga yang amat membatasi kita. Seperti semua roh lainnya, roh Nabi tidak pernah mati dan ia masih hidup. Entah di mana pun ia berada, tetap terasa dekat dengan jiwa dan pikiran kita. Betapa tidak, karena ia pernah bersabda dalam hadis sahihnya, "Barangsiapa yang berselawat terhadapku, maka aku tahu dan aku akan memberikan syafaat nanti di hari kiamat."

Rasulullah selalu hidup dalam hati para pencinta yang selalu merindukannya. Bahkan, Nabi pun sering muncul secara visual meski dalam bentuk mimpi. Ia pernah bersabda, "Barang siapa yang memimpikan aku, maka aku betul yang dilihatnya, karena satu-satunya wajah yang tidak bisa dipalsukan iblis adalah wajahku. Siapa yang berhasil memimpikan aku maka aku akan bersama-sama nanti di surga." Allahu a'lam. []

MEDIA INDONESIA, 28 Agustus 2018
Nasaruddin Umar Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar