Bagaimana
Merawat Kemabruran Haji? (2)
Oleh:
Nasaruddin Umar
KIAT-KIAT
untuk merawat kemabruran haji menurut kalangan ulama tasawuf, antara lain
teruslah membayangkan saat-saat indah ketika kita sedang di tempat-tempat suci
di arena haji. Bayangkan ketika kita sedang berada di samping Kabah, larut
bersama semua jemaah melaksanakan salat dan bertawaf, memutari poros Kabah.
Tidak boleh ada yang melawan arus.
Lautan
manusia bagaikan mengalir mengikuti anak-anak sungainya masing-masing. Mereka
sama-sama melantunkan lafaz talbiyah, yaitu labbaikallahumma labbaik, labbaika
lasyarikalaka labbaik, innan ni'mata wal mulk la syarika laka labbaik. Mereka
berangkat dari satu titik, lalu berputar, dan pada akhirnya mereka sampai juga
pada titik terakhir, yang tidak lain ialah titik awal mereka. Ini melambangkan
pemandangan hidup, sejauh melangkah akhirnya akan kembali juga ke tempat
semula, inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.
Setelah
melakukan tawaf, perjalanan dilanjutkan dengan sa'yi, yaitu perjalanan
bolak-balik dari bukit Shafa ke bukit Marwah. Tempat ini juga menyimpan rumus
kehidupan penting. Ketika si kecil Ismail sedang kelaparan, naluri keibuan
tidak bisa tinggal diam. Sang ibu, Siti Hajar berupaya mencari alternatif
dengan berjalan dan berlari-lari kecil guna membantu anaknya. Ia tidak hanya
bertafakur sambil memohon rezeki kepada Allah SWT. Ia berjalan ke sana kemari.
Perjalanan kadang datar, kadang mendaki, dan terkadang juga harus berbalik
arah. Ini lambang kehidupan, yaitu rezeki dan kenikmatan diperoleh melalui
keringat usaha, bukannya melalui keheningan doa. Sebuah pepatah Bugis
mengatakan 'resopa temmangingngi naletei pammasena Dewata Sewwae' (hanya usaha
yang gigih menjadi perantara turunnya rahmat Tuhan YME). Mungkin ada juga
pepatah dari daerah lain yang seirama dengan doktrin tersebut.
Puncaknya
ketika kita di Padang Arafah, kembali lautan putih manusia menghiasi permukaan
wilayah tersebut. Di sinilah Tuhan seolah-olah menampakkan kebesarannya dengan
menghimpun manusia di sebuah padang luas. Padang Arafah betul-betul menjadi
miniatur Padang Mahsyar di hari kiamat. Lautan manusia tidak berdaya. Mereka
hanya bisa bersimpuh di hadapan kebesaran Allah Rabbul Jalil. Semua orang
merasa hina di hadapan Allah di hari itu. Tidak sedikit di antara mereka yang
menumpahkan air mata penyesalan karena banyaknya waktu yang hilang percuma
tanpa diisi dengan ibadah. Sebagian lagi meratapi kegelapan masa lampau yang telah
dilewatinya. Hari itu tidak ada lagi secercah harapan tanpa kasih Tuhan. Ibadah
yang banyak terasa amat sedikit bila dibandingkan dengan kemahakuasaan Allah
SWT. Di padang ini berlaku aturan orang-perorangan (nafsi-nafsi). Tanpa energi
dan bekal sendiri, tidak akan ada penyelamatan. Di padang ini tidak lagi
berlaku kewarganegaraan. Tidak ada lagi paspor dan KTP. Hanya satu warga, yaitu
warga makhluk mikrokosmos di hadapan kebesaran Allah SWT. Seolah kita
menyaksikan minatur Padang Mahsyar di dunia.
Tentu
kita juga sulit melupakan kota Nabi, Madinah. Suasana batin kita terasa menjadi
sangat spesifik. Seolah-olah Nabi kita, Muhammad SAW, masih hidup. Sosok yang
sekian lama kita rindukan terobati dengan memandang kuburannya, masjid, dan
bekas-bekas peninggalan sejarahnya.
Sisa-sisa
benteng Khandaq, kuburan Baqi, serta tempat peristirahatan keluarga dan sahabat
Nabi, seolah-olah semuanya masih memancarkan energi-energi positif mengalir ke
relung-relung jiwa dan pikiran kita.
Perasaan
ingin berlama-lama, tetapi waktu juga yang amat membatasi kita. Seperti semua
roh lainnya, roh Nabi tidak pernah mati dan ia masih hidup. Entah di mana pun
ia berada, tetap terasa dekat dengan jiwa dan pikiran kita. Betapa tidak,
karena ia pernah bersabda dalam hadis sahihnya, "Barangsiapa yang
berselawat terhadapku, maka aku tahu dan aku akan memberikan syafaat nanti di
hari kiamat."
Rasulullah
selalu hidup dalam hati para pencinta yang selalu merindukannya. Bahkan, Nabi
pun sering muncul secara visual meski dalam bentuk mimpi. Ia pernah bersabda,
"Barang siapa yang memimpikan aku, maka aku betul yang dilihatnya, karena
satu-satunya wajah yang tidak bisa dipalsukan iblis adalah wajahku. Siapa yang
berhasil memimpikan aku maka aku akan bersama-sama nanti di surga." Allahu
a'lam. []
MEDIA
INDONESIA, 28 Agustus 2018
Nasaruddin
Umar Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar