Bagaimana
Merawat Kemabruran Haji? (Habis)
Oleh:
Nasaruddin Umar
PARA
jemaah haji Indonesia yang baru kembali ke Tanah Air dihadapkan hamparan dan
lahan subur untuk membuktikan kemabruran hajinya. Betapa banyak sudut bangsa
kita membutuhkan uluran tangan para hujaj. Negara kita masih merupakan lahan
subur untuk menanam kebajikan.
Betapa
banyak penduduk kita yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Betapa banyak
anak yatim dan fakir miskin mendambakan masa depan yang baik, tetapi tidak
punya kemampuan untuk meraih kesempatan itu karena faktor dana. Betapa banyak
dosa dan maksiat di tengah-tengah masyarakat kita yang perlu dicarikan jalan
keluar. Kita yakin para hujaj memiliki kapasitas untuk itu. Mungkin sedikit
artinya bagi kita, tapi besar artinya buat mereka.
Mumpung
suasana hajinya masih hangat, sebaiknya tidak perlu menunggu waktu lama untuk
mengambil keputusan. Sebelum diganggu iblis, para jemaah haji yang memiliki
kelebihan harta dan kekayaan diminta kesadarannya dan sekaligus untuk berbagi
terhadap mereka yang butuh.
Manajemen
sedekah dan zakat sudah saatnya dikelola dengan baik. Jika selama ini
pengeluaran untuk akhirat kita tidak jelas, sebaiknya sekarang kita memiliki
pembukuan Khusus. Semakin besar rezeki yang Allah anugerahkan kepada kita
semakin besar jumlah sedekah, infak, dan amal jariah yang dikeluarkan.
Pastikan
sebelum kita dipanggil Allah SWT melalui malaikat maut, ada bagian wakaf dari
harta kita yang sudah disisihkan. Diusahakan jangan meninggal sebelum memiliki
rumah masa depan di akhirat melalui wakaf. Berwakaflah walau hanya sebiji batu
merah, selembar genting, atau tegel untuk pembangunan masjid, pesantren, dll.
Kita
semua, khususnya para hujaj diminta proaktif untuk memberikan kepedulian
terhadap kaum lemah yang ada di sekitar kita sebagaimana disinggung di dalam
ayat, “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela)
orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita, maupun anak-anak yang
semuanya berdoa: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah)
yang zalim penduduknya dan berilah kami perlindung dari sisi Engkau, dan
berilah kami penolong dari sisi Engkau!" (QS An-Nisa’/4:75).
Ayat ini
mengingatkan kita bahwa kaum duafa ialah tanggung jawab kita semua, khususnya
para ulama dan umara. Kehadiran ulama diperlukan sebagai perintah Alquran dan
kehadiran pemerintah diperlukan sebagai perintah UUD 1945.
Yang
dimaksud kaum duafa dalam ayat tersebut ialah orang-orang yang memiliki
keterbatasan, baik dari segi ekonomi, politik, pendidikan, dan sosial budaya,
termasuk juga kaum mustadh’afin ialah orang-orang yang merupakan korban dari
struktur yang hidup di dalam masyarakat, seperti kaum buruh yang memeras
keringat, tetapi tetap upahnya di bawah UMR. Lalu, para honorer yang dihadapkan
dengan tugas berat dengan gaji di bawah standar, para anak yatim piatu yang
belum tertampung lembaga-lembaga yang dibentuk pemerintah sebagai perintah UUD
1945.
Salah
satu yang amat diharapkan dari agama ialah keprihatinannya terhadap kaum duafa.
Ketika agama absen atau abai di dalam kehidupan kaum duafa, agama terancam
legitimasinya di dalam masyarakat. Bukan hanya itu, kaum duafa juga akan
merepotkan bangsa ini jika tidak mendapatkan solusi permanen. Banyak contoh
dalam sejarah jika kaum duafa dilakukan pembiaran tanpa ada kreasi kebijakan
yang berusaha memihak kepadanya.
Lahirnya
ideologi besar, seperti komunis, Marxis, dan aliran radikal lainnya, salah satu
pemicunya ialah gagalnya pemimpin bangsa itu menyelesaikan persoalan kaum
duafa. Di sinilah kita berharap, para hujaj bisa mengambil peran aktif untuk
mempertahankan keutuhan bangsa tercinta dengan cara mempertahankan idealisme
haji mabrur.
Bayangkan
jika seluruh umat Islam yang pernah melaksanakan haji ditambah para mantan
jemaah umrah, sama-sama membangun negerinya, tentu ini amat dahsyat. []
MEDIA
INDONESIA, 30 Agustus 2018
Nasaruddin
Umar Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar