Jumat, 14 September 2018

Nasaruddin Umar: Bagaimana Merawat Kemabruran Haji? (Habis)


Bagaimana Merawat Kemabruran Haji? (Habis)
Oleh: Nasaruddin Umar

PARA jemaah haji Indonesia yang baru kembali ke Tanah Air dihadapkan hamparan dan lahan subur untuk membuktikan kemabruran hajinya. Betapa banyak sudut bangsa kita membutuhkan uluran tangan para hujaj. Negara kita masih merupakan lahan subur untuk menanam kebajikan.

Betapa banyak penduduk kita yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Betapa banyak anak yatim dan fakir miskin mendambakan masa depan yang baik, tetapi tidak punya kemampuan untuk meraih kesempatan itu karena faktor dana. Betapa banyak dosa dan maksiat di tengah-tengah masyarakat kita yang perlu dicarikan jalan keluar. Kita yakin para hujaj memiliki kapasitas untuk itu. Mungkin sedikit artinya bagi kita, tapi besar artinya buat mereka.

Mumpung suasana hajinya masih hangat, sebaiknya tidak perlu menunggu waktu lama untuk mengambil keputusan. Sebelum diganggu iblis, para jemaah haji yang memiliki kelebihan harta dan kekayaan diminta kesadarannya dan sekaligus untuk berbagi terhadap mereka yang butuh.     

Manajemen sedekah dan zakat sudah saatnya dikelola dengan baik. Jika selama ini pengeluaran untuk akhirat kita tidak jelas, sebaiknya sekarang kita memiliki pembukuan Khusus. Semakin besar rezeki yang Allah anugerahkan kepada kita semakin besar jumlah sedekah, infak, dan amal jariah yang dikeluarkan.

Pastikan sebelum kita dipanggil Allah SWT melalui malaikat maut, ada bagian wakaf dari harta kita yang sudah disisihkan. Diusahakan jangan meninggal sebelum memiliki rumah masa depan di akhirat melalui wakaf. Berwakaflah walau hanya sebiji batu merah, selembar genting, atau tegel untuk pembangunan masjid, pesantren, dll.

Kita semua, khususnya para hujaj diminta proaktif untuk memberikan kepedulian terhadap kaum lemah yang ada di sekitar kita sebagaimana disinggung di dalam ayat, “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita, maupun anak-anak yang semuanya berdoa: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami perlindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!" (QS An-Nisa’/4:75).

Ayat ini mengingatkan kita bahwa kaum duafa ialah tanggung jawab kita semua, khususnya para ulama dan umara. Kehadiran ulama diperlukan sebagai perintah Alquran dan kehadiran pemerintah diperlukan sebagai perintah UUD 1945.

Yang dimaksud kaum duafa dalam ayat tersebut ialah orang-orang yang memiliki keterbatasan, baik dari segi ekonomi, politik, pendidikan, dan sosial budaya, termasuk juga kaum mustadh’afin ialah orang-orang yang merupakan korban dari struktur yang hidup di dalam masyarakat, seperti kaum buruh yang memeras keringat, tetapi tetap upahnya di bawah UMR. Lalu, para honorer yang dihadapkan dengan tugas berat dengan gaji di bawah standar, para anak yatim piatu yang belum tertampung lembaga-lembaga yang dibentuk pemerintah sebagai perintah UUD 1945.

Salah satu yang amat diharapkan dari agama ialah keprihatinannya terhadap kaum duafa. Ketika agama absen atau abai di dalam kehidupan kaum duafa, agama terancam legitimasinya di dalam masyarakat. Bukan hanya itu, kaum duafa juga akan merepotkan bangsa ini jika tidak mendapatkan solusi permanen. Banyak contoh dalam sejarah jika kaum duafa dilakukan pembiaran tanpa ada kreasi kebijakan yang berusaha memihak kepadanya.

Lahirnya ideologi besar, seperti komunis, Marxis, dan aliran radikal lainnya, salah satu pemicunya ialah gagalnya pemimpin bangsa itu menyelesaikan persoalan kaum duafa. Di sinilah kita berharap, para hujaj bisa mengambil peran aktif untuk mempertahankan keutuhan bangsa tercinta dengan cara mempertahankan idealisme haji mabrur.       

Bayangkan jika seluruh umat Islam yang pernah melaksanakan haji ditambah para mantan jemaah umrah, sama-sama membangun negerinya, tentu ini amat dahsyat. []

MEDIA INDONESIA, 30 Agustus 2018
Nasaruddin Umar Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar