Guru
Agama dan Negara
Oleh:
Azyumardi Azra
Dalam
kecenderungan peningkatan intoleransi di sekolah, guru-guru mata pelajaran IPA
di SMP dan SMA dan mapel fikih dan akidah di MTs dan MA sering disebut
terkontaminasi pandangan politik yang tidak kompatibel dengan Pancasila, NKRI,
UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Penelitian PPIM UIN Syarif Hidayatullah
tentang potret guru agama (2018) mencoba melacak pandangan para guru agama
tentang agama dengan politik dan negara Indonesia.
Pertama-tama,
para guru agama umumnya (82 persen) yang diteliti di 11 kota/kabupaten di lima
provinsi setuju Pancasila dan UUD 1945 sesuai dengan syariah Islam. Ini mungkin
kabar agak menggembirakan karena para guru juga sekaligus menyatakan, tidak ada
lagi hal yang perlu dipermasalahkan di antara Islam dan negara; Pancasila dan
UUD 1945 [implisit NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika] sudah final, dan karena itu
tidak perlu diubah lagi.
Namun, di
antara para guru ini, ada kalangan yang menerima NKRI berdasarkan Pancasila,
tetapi ingin mengislamkan hukum Indonesia. Kelompok ini bahkan menginginkan
agar NKRI menerapkan hukum jinayah (kriminal) syariah seperti potong tangan dan
rajam.
Mereka
adalah pendukung ‘Piagam Jakarta’ dalam Pembukaan UUD 1945 sebelum dicoret pada
18 Agustus 1945, yaitu ‘Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya’. Mereka berpendapat, keinginan itu bisa terwujud jika
para pemimpin Muslim mau sepakat untuk pelaksanaan syariah Islam dalam wadah
NKRI.
Penting
dicatat, hasil penelitian sekaligus mengindikasikan, sekitar 18 persen guru
agama secara implisit menolak Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal
Ika. Bahkan, sekitar 23 persen guru menyatakan dukungan kepada ormas yang
memperjuangkan penegakan syariah Islam secara menyeluruh oleh negara.
Kelompok
guru ini berpendapat wajib bagi umat Islam mengubah Indonesia menjadi negara
Islam dalam bentuk kekhilafahan (khilafah). Bagi mereka, tanpa khilafah seperti
pada masa pasca-Rasulullah, mustahil cita-cita penerapan syariah dapat
diwujudkan.
Karena
itu, bisa dipahami jika guru kelompok itu memiliki semacam afinitas dengan HTI
yang telah dibubarkan pemerintah. Umumnya mereka tidak menjadi anggota resmi
HTI, tetapi mendukung cita, tujuan, dan retorik HTI, misalnya, tentang negara
yang harus diganti dengan khilafah dan sekaligus pemimpin thagut yang telah
menjadi antek kapitalisme, sosialisme dan neolib.
Meski
memiliki pandangan positif tentang khilafah, para guru umumnya, khususnya
kelompok kedua, tidak menyetujui pemahaman jihad sebagai perang dan aksi
kekerasan lain seperti terorisme. Oleh karena itu, mereka menolak ISIS yang
mengklaim melakukan jihad untuk mendirikan khilafah atau negara Islam (dawlah
Islamiyah, disingkat Da’is).
Pembelahan
pandangan dan sikap guru agama seperti itu, bisa diduga, juga mengimbas dalam
persepsi mereka tentang demokrasi. Sebagian besar menerima demokrasi karena
sesuai dengan Islam. Bagi kelompok ini, demokrasi sesuai dengan Islam yang
menekankan kebebasan, keadilan, kesetaraan, dan penghargaan pada setiap
manusia.
Lebih
jauh, kelompok ini memandang demokrasi sebagai aktualisasi ayat Alquran wa syawirhum fil amri (QS
Ali Imran 159). Juga sesuai dengan praktik Nabi Muhammad SAW di negara Madinah
yang sering bermusyawarah, berkonsultasi, dan berkompromi baik dengan sesama
Muslim maupun umat Yahudi [secara implisit juga penganut Kristianitas] dalam
mengambil keputusan. Singkatnya, demokrasi adalah musyawarah seperti diajarkan
Islam.
Sebaliknya,
ada kelompok guru dalam jumlah yang sepadan dengan menolak NKRI dan Pancasila
(sekitar 18 persen) yang berpendapat, demokrasi tidak sesuai dengan Islam.
Argumen-argumen penolakan itu mengingatkan orang pada hujah-hujah HTI.
Simak
alasan penolakan ini; Islam tidak mengenal kedaulatan rakyat yang ada dalam
demokrasi. Sebaliknya, yang ada ialah kedaulatan Tuhan (hakimiyah Allah).
Senapas dengan itu, kedaulatan Tuhan itu ada pada syariah. Karena itu, kaum
Muslim harus tunduk kepada syariah, bukan syariah yang tunduk kepada kaum
Muslimin atau rakyat secara keseluruhan.
Selaras
dengan itu, para guru agama juga berbeda dalam hal apakah non-Muslim boleh atau
tidak boleh menjadi presiden. Sebagian besar guru membolehkan dengan alasan
kesetaraan sesama manusia. Kelompok kedua menolak non-Muslim menjadi pemimpin
secara mutlak berdasarkan ayat QS al-Maidah 51; dan menjadi pemimpin di bidang
lain atau lebih rendah dari poisisi presiden, Kelompok ketiga menolak
non-Muslim menjadi presiden, tapi menerima untuk posisi lebih rendah.
Dengan
perbedaan pandangan cukup signifikan yang tidak kondusif bagi sistem politik
Indonesia, seyogianya pemegang otoritas dalam rekrutmen dan pembinaan guru
agama mencermati gejala tersebut. Jika tidak direspons dengan langkah tepat dan
segera, pandangan tidak suportif itu dapat terus berkembang mengancam
Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika. []
REPUBLIKA,
20 September 2018
Azyumardi Azra | Profesor UIN
Jakarta; Anggota Komisi Kebudayaan AIPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar