Hukum Bai’ul ‘Uhdah,
Transaksi Jual Beli dengan Tempo
Syariat agama kita senantiasa menganjurkan
kepada kita agar senantiasa tolong-menolong dan membantu orang yang kesusahan
di sekitar kita. Sebagaimana hal ini disampaikan dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim:
من
نفس عن مؤمن كربة من كرب الدنيا نفس الله له كربة من كرب يوم القيامة. ومن يسر على
معسر يسر الله عليه في الدنيا والآخرة ومن ستر مسلما ستره الله في الدنيا والآخرة
والله في عون العبد ما كان العبد في عون أخيه. رواه مسلم
“Barangsiapa membantu menghilangkan suatu
kesusahan seorang mukmin di dunia, Allah akan hilangkan baginya kesusahan kelak
di hari kiamat. Dan barangsiapa memberi kemudahan bagi orang yang kesulitan,
Allah akan angkat kesulitannya di dunia dan akhirat. Barangsiapa mau menutup
aib saudaranya muslim, Allah akan tutup baginya aib di dunia dan akhirat. Allah
akan senantiasa menolong hamba-Nya, selagi ia mau menolong saudaranya.”
Kita acapkali membayangkan bahwa yang namanya
bantuan adalah berupa bantuan materi berupa sedekah atau infaq. Padahal, tidak
selamanya yang namanya bantuan adalah berupa sedekah dan infaq. Terkadang
bantuan seseorang kepada orang lain bisa berupa solusi/bantuan jalan keluar
dari permasalahannya, misalnya berupa utang. Namun, dalam muamalah, kita sering
menemui orang dengan berbagai macam watak, khususnya terhadap utang. Ada yang
mudah dalam mengembalikan, dan ada kalanya ada yang sulit mengembalikan. Hal
ini yang terkadang membuat pihak yang mengutangi merasa dirinya harus
mengantisipasi.
Sebuah contoh kasus yang lazim terjadi di
masyarakat, suatu misal ada seseorang terhimpit persoalan keuangan. Sementara
dalam waktu bersamaan ia tidak menemukan orang yang mau memberinya utang
kecuali satu orang di daerah tersebut. Sebut saja nama orang yang berutang
adalah Pak Hasan, sementara yang mengutangi bernama Pak Lutfi.
Pak Lutfi tidak bilang bahwa ia akan
mengutangi. Ia bilang bahwa ia mau membeli mobilnya Pak Hasan. Niat Pak Lutfi
ini sejatinya hanya antisipasi saja, meskipun memang benar dilaksanakan, karena
memandang kepribadian Pak Hasan yang cukup dikenalnya, terkait dengan
pengembalian utang. Akhirnya Pak Lutfi ini bersiasat, bahwa bila dalam jangka
waktu 2 tahun misalnya, Pak Hasan memiliki uang sejumlah uang yang diutangkan
Pak Lutfi kepadanya, maka ia bisa kembali menebus mobilnya. Permasalahannya
kemudian, disebut apakah hal semacam ini dalam syariat? Apakah tasharruf
seperti ini termasuk yang dibenarkan oleh syari’at? Bagaimana bila suatu ketika
Pak Lutfi menjual mobil tersebut ke orang lain sebelum ditebus oleh Pak Hasan?
Di beberapa daerah, akad semacam ini dikenal
sebagai akad sende. Namun, di tempat lain ada juga yang mengatakan bahwa bukan
akad sende. Dalam fiqih al-madzahibu al-arba’ah pun, para ulama menyebutnya
dengan istilah yang berbeda. Kalangan Syafi’iyah, menyebutnya sebagai akad
bai’ul ‘uhdah. Menurut Ulama Malikiyah, ia disebut bai’uts tsunya. Sementara di
kalangan Hanabilah, ia disebut bai’ul amanah. Kalangan Hanafiyah menyebutnya
sebagai bai’ul wafa’. Perbedaan istilah fiqih di kalangan ulama madzhab ini
tidak menyebabkan perbedaan makna akad.
Kalangan ulama Syafi’iyah, sebagaimana
disampaikan oleh Syeikh Ba’alawy dalam kitabnya Bughyatul Mustarsyidin: 133,
berpendapat:
وَصُوْرَتُهُ
اَنْ يَتَّفَقَ الْمُتَبَايِعَانِ عَلَى اَنَّ اْلبَائِعَ مَتَى اَرَادَ رُجُوْعَ
الْمَبِيْعَ اِلَيْهِ اَتَى بِمِثْلِ الثَّمَنِ الْمَعْقُوْدِ عَلَيْهِ وَلَهُ
اَنْ يُقَيَّدَ الرُّجُوْعَ بِمُدَّةٍ فَلَيْسَ لَهُ اْلفَكُّ اِلاَّبَعْدَ
مُضِيِّهَا ثُمَّ بَعْدَ الْمُوَاطَأَةِ يُعْقِدَانِ عَقْدًا صَحِيْحًا
بَلاَشَرْطٍ
“Gambaran dari [akad bai’ul ‘uhdah] ini
adalah kedua pihak penjual dan pembeli telah bersepakat apabila penjual
sewaktu-waktu ingin menarik kembali barang yang telah dijual maka ia harus
menyerahkan harga umumnya (tsaman mitsil-nya) ia boleh membatasi untuk
penarikan kembali barang yang sudah dijual itu dengan suatu masa tertentu
sehingga ia tidak boleh lepas kecuali telah melewati masa itu, kemudian setelah
terjadi serah terima kedua penjual dan pembeli itu melakukan transaksi dengan transaksi
yang sah tanpa ada satu syarat.”
Lantas, apakah akad ini termasuk yang
diperbolehkan dan dibenarkan oleh syariat kita? Jawabnya adalah, terjadi
perbedaan pandangan di kalangan ulama madzhab. Kalangan Hanafiyah, Malikiyah
dan Hanabilah, menyebut bahwa sejatinya bai’ul ‘uhdah ini bukan termasuk akad
jual beli (bai’) atau bahkan utang (qardlu). Ia sejatinya adalah akad gadai
(rahn). Akan tetapi, karena pihak yang menerima gadai (Pak Lutfi) bisa
memanfaatkan barang yang digadaikan, maka akad rahn-nya menjadi rusak, sehingga
disebut rahn fasid, hukumnya dilarang.
Menurut madzhab Syafi’i, hukum transaksi
model seperti ini adalah boleh dan sah. Sebagaimana hal ini secara tegas
disampaikan oleh Syeikh Ba’alawy dalam kitab yang sama:
بَيْعُ
اْلعُهْدَةِ اْلمَعْرُوْفُ صَحِيْحٌ جَائِزٌ وَتَثَبَتْ بِهِ الْحُجَّةُ شَرْعًا
وَعُرْفًا عَلَى قَوْلِ اْلقَائِلِيْنَ بِهِ وَقَدْ جَرَى عَلَيْهِ اْلعَمَلُ فِى
غَالِبِ جِهَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ زَمَنٍ قَدِيْمٍ وَحَكَمَتْ بِمُقْتَضَاهُ
الْحُكَّامُ وَاَقَرَّهُ مَنْ يَقُوْلُ بِهِ مِنْ عُلَمَاءِ اْلإِسْلاَمِ مَعَ
أَنَّهُ لَيْسَ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِىِّ وَاِنَّمَا اِخْتَارَهُ مَنْ
اِخْتَارَهُ وَلِفِقْهٍ مِنْ مَذَاهِب لِلضَّرُوْرَةِ الْمَاسَّةِ اِلَيْهِ وَمَعَ
ذَلِكَ فَاْلإِخْتِلاَفُ فِى صِحَّتِهِ مِنْ أَصْلِهِ وَفِى التَّفْرِيْعِ
عَلَيْهِ لاَيَخْفَى عَلَى مَنْ لَهُ إِلْمَامٌ بِاْلفِقْهِ
“Jual beli bertempo yang sudah terkenal itu
hukumnya adalah sah dan boleh. Ini sudah bisa dijadikan ketetapan hujjah secara
syara’ maupun secara urfi. Pendapat yang mengatakan kebolehan transaksi ini
sudah berlangsung di banyak daerah kaum muslimin sejak zaman dulu dan sudah
dinyatakan sebagai keputusan para ahli hukum dan diakui oleh mayoritas
ulama. Pada dasarnya, persoalan ini bersumber dari bukan kalangan madzhab
Syafi’i. Namun, pilihan hukum kebolehan transaksi oleh pengkaji fiqih dari
beberapa madzhab, adalah bertemu berdasar cara pandang sifat dlarurat akad dan
mendesak. Oleh karena itu, perbedaan dalam sah atau tidaknya akad berdasar
dalil ashalnya, dan berdasar pemerinciannya, adalah bukan sesuatu yang
mengkhawatirkan di kalangan orang yang sudah menguasai ilmu fiqih.”
Bagaimana bila sebelum jatuh tempo
berakhirnya akad, Pak Lutfi menjual mobil tersebut ke pihak lain? Sahkah apa
yang dilakukan oleh Pak Lutfi tersebut secara syariat?
Terkait dengan masalah ini, sebagaimana
‘ibarat yang tertera di Bughyatul Mustarsyidin pertama, maka tidak boleh bagi
Pak Lutfi untuk menjual mobil tersebut kepada pihak lain sebelum jatuh tempo
sehingga Pak Hasan menebus mobilnya. Bilamana sudah di luar tempo yang
disepakati, maka boleh bagi Pak Hasan dan Pak Lutfi untuk bermusyawarah
mengambil jalan keluar atas permasalahan mereka, dan bila Pak Lutfi menghendaki
penjualannya, maka diperbolehkan tanpa syarat.
Wallahu a’lam.
[]
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh PP Putri Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar