Jumat, 14 September 2018

(Ngaji of the Day) Sikap Anti-Vaksin dan Hukum Kandungan Najis dalam Obat


Sikap Anti-Vaksin dan Hukum Kandungan Najis dalam Obat

Saat ini pemerintah menyatakan terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri. Sebagai tindak lanjut pencegahan, vaksin menjadi salah satu program pemerintah yang digiatkan. Vaksin diberikan sebagai pencegahan penyakit-penyakit tertentu yang memerlukan imunitas lebih lanjut untuk tubuh. Vaksinasi dipandang perlu, terlebih adanya KLB Difteri sekarang, begitupun perlunya vaksin-vaksin wajib pada usia dini, seperti vaksin polio, campak dan hepatitis.

Sebagian kalangan masyarakat kerap terlibat dalam debat tentang program vaksinasi. Beberapa di antaranya mengambil sikap menolak penggunaan vaksin. Dari sekian kalangan yang menolak ini, salah satu alasannya adalah mereka enggan mengikuti program vaksin karena alasan agama: kekhawatiran akan zat haram dalam vaksin tersebut. 

Dalam hal ini beberapa organisasi keagamaan seperti PBNU dan juga dalam fatwa MUI No. 4 Tahun 2016 telah memberikan pernyataan kebolehan menggunakan vaksin. Meski begitu, ternyata masih banyak beberapa pihak yang menolak vaksin itu diberikan untuk anak atau dirinya atas dalih agama. 

Meskipun kepercayaan itu berasal dari kabar-kabar yang belum tentu valid, tapi melihat cukup masifnya respon penolakan ini tentu mengkhawatirkan. Kemudian jika benar, benarkah agama Islam tidak memberikan ruang solusi untuk hal tersebut?

Mengenai pengobatan dengan barang yang najis, khususnya yang sering disebut dalam vaksin – jika benar demikian – agaknya komentar dari Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab bisa dirujuk:

وَأَمَّا التَّدَاوِي بِالنَّجَاسَاتِ غَيْرِ الْخَمْرِ فَهُوَ جَائِزٌ سَوَاءٌ فِيهِ جَمِيعُ النَّجَاسَاتِ غَيْرُ الْمُسْكِرِ

Artinya: “Adapun berobat dengan benda najis selain khamr itu dibolehkan, untuk seluruh jenis najis, yang tidak memabukkan.”

Lebih lanjut, Imam an-Nawawi menyebutkan tentang pentingnya memercayai pendapat tenaga kesehatan:

قَالَ أَصْحَابُنَا وَإِنَّمَا يَجُوزُ ذَلِكَ إذَا كَانَ الْمُتَدَاوِي عَارِفًا بِالطِّبِّ يَعْرِفُ أَنَّهُ لَا يَقُومُ غَيْرُ هَذَا مَقَامَهُ أَوْ أَخْبَرَهُ بِذَلِكَ طَبِيبٌ مُسْلِمٌ عَدْلٌ

Artinya: “Para ulama menyebutkan kebolehan berobat dengan bahan najis jika sang pengobat memahami betul tentang ilmu kedokteran, dan mengetahui bahwa tidak ada pengganti dari hal najis tersebut. Atau, pengobatan tersebut disampaikan oleh dokter yang beragama Islam lagi bijaksana.”

Dari keterangan di atas, setidaknya ada beberapa hal yang dapat kita garis bawahi. Pertama, kebolehan menggunakan bahan najis dalam substansi pengobatan, jika belum didapatkan barang yang berasal dari senyawa halal.

Kedua, kebolehan berobat jika tenaga kesehatan sudah menyebutkan keamanan penggunaan obat tersebut. Informasi tentang vaksin sudah banyak disebarkan dan disosialisasikan melalui media-media terpercaya dari dinas, lembaga, atau kementerian terkait. Ilmu kedokteran dan pengobatan, sudah sangat canggih dan pesat perkembangannya. Setiap obat yang dirilis dan dilegalkan pemerintah, tentu sudah melalui pengecekan komposisi, uji klinis dan uji efek samping yang ketat. 

Kerap disebutkan bahwa terdapat efek samping ringan tertentu dari vaksin, seperti timbul demam. Hal ini tentu bisa dikonsultasikan kepada tenaga kesehatan tentang indikasi dan kontraindikasi penerima vaksin. 

Apakah benar vaksin atau obat lain itu mengandung benda najis, seperti sintesa dari babi dan lainnya, sebagaimana dikabarkan? Dalam perkembangan saat ini, klarifikasi informasi ke tenaga kesehatan menjadi penting untuk mengetahui detail problem kesehatan, bukan dari situs dan media yang tidak terklarifikasi hasil pencarian internet, apalagi pesan siaran dari “grup sebelah”. Memilih terapi adalah hak pasien, namun sudah benarkah info yang diyakini? []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar