Kisah Imam Az-Zamakhsyari Al-Mu’tazili dan
Karma Seekor Burung
Dalam dunia Tasir, ulama dan intelektual
muslim tidak asing lagi dengan nama ini, Abu al-Qosim Mahmud bin Umar
az-Zamakhsyari al-Khowarozmi al-Mu’tazili yang lahir Rabu 27 Rajab 467 H atau
18 Maret 1075 M.
Dia juga memperoleh gelar Jaarullah (tetangga
Allah) penamaan itu diberikan karena beliau lama tinggal berdekatan dengan
Makkah.
Dia merupakan ulama produktif dalam menulis
dengan berbagai tema, terutama bahasa, kalam, dan tafsir. Dia juga ulama yang
terbuka dengan berbagai corak pemikiran kala itu.
Dia juga pembesar Mu’tazilah dan terbuka dan
tanpa tedeng aling-aling dalam bermu’tazilah. Dikatakan saat dia bertamu ke
rumah sahabatnya, ia selalu berkata:
قل
له : أبوا القاسم المعتزليبالباب
Tiada orang hebat lahir tanpa bisa kita
pelajari kehidupannya. Sudah, populer bahwa Az-Zamakhsyari Al-Mu’tazili
tidaklah tumbuh dengan fisik yang lengkap. Dia termasuk ulama difable (kaki
patah, red) yang bermental baja.
Keadaan tersebut terjadi akibat kecelakaan
saat dia seumuran remaja. Peristiwa terjadi pada saat ia menempuh perjalanan
untuk keperluan studi. Latar belakang difable terungkap, karena ada
sebagian ulama menanyakan tentang kondisi difable beliau.
Az-Zamakhsyari menjawab:
“Pada masa kecil, aku pernah menangkap seekor
burung, dan aku juga mengikat kakinya dengan benang, selanjutnya aku pun
melepaskan dia dari tanganku dan kemudian burung tersebut masuk ke lubang, dan
aku menarik kakinya yang terikat dengan benang, hingga aku menyebabkan kakinya
patah.
Kemudian ibuku memarahiku dan berkata
kepadaku:
قالت
: قطع الله رجل الأبعد كما قطعت رجله
Ibu berkata: Semoga Allah memutuskan kaki
yang jauh sebagaimana engkau memutuskan kakinya (si burung).
Lanjut Az-Zamkhsyari bercerita, “maka pada
saat aku menempuh perjalanan ke Bukhoro untuk menuntut ilmu, aku terjatuh dari
kendaraanku kemudian pecahlah (patah, red) kakiku”.
Versi lain dikatakan, “musim dingin menimpa
dirinnya saat masih berada di tengah perjalanan, dan saking dinginnya membuat
dia menggigil dan tersungkur jatuh ke tanah, hingga membuat kaki beliau patah.
Dan dia memakai alat bantu kayu sebagai gantinya”.
Demikian, kenang beliau tentang kisah yang
membuat ibunya marah-marah. Sehingga menerima peringatan Allah langsung melalui
ibunya. Beliau selain terkenal dengan karangan al-Kasysyaf, juga karangan lain
seperti wa Athwaqu adz-Dzahab, wa Nawabighul Kalam, wa Rabi’ul al abror, wa
Asas al Balaghoh dan lain-lain. (والله اعلم بالصواب) *****
Diolah dari:
1.
Al-Allamah Jaarullah Abi al-Qosim
Mahmud bin Umar Az Zamakhsyari, Al Kasysyaf: Haqoiq Ghowamid at-Tanzill wa
‘Uyun al-Aqowil Fi Wujuh at-Ta’wil, tahqiq: Adil Ahmad Abdul Maujud; Ali Ahmad
Mughowwish; Fathi Abdur Rahman Ahmad Hijazi, Juz 1, (Riyadh: Maktabah al
‘Abikan, 1998 M/1418 H), hal 11-19.
2.
Muhammad Abu al-Yusr Abidin, Hikaya
Shufiyah, cet 7 (Damaskus: Dar Al Basyair, 2001 M /1421 H), hal. 178-179.
[]
Ali Makhrus, Mahasiswa Sekolah Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar