Hukum Baca Shalawat di
Tempat Hiburan Malam
Shalawat nabi termasuk salah satu ragam lafal
zikir yang dianjurkan dan memiliki keutamaan luar biasa. Anjuran zikir ini
begitu kuat sehingga orang yang dalam kondisi hadats, junub, haid dan nifas
juga dianjurkan untuk tetap berzikir, dalam konteks ini bershalawat sebagaimana
keterangan Imam An-Nawawi berikut ini.
أجمع
العلماء على جواز الذكر بالقلب واللسان للمحدث والجنب والحائض والنفساء، وذلك في
التسبيح والتهليل والتحميد والتكبير والصلاة على رسول الله صلى الله عليه وسلم
والدعاء وغير ذلك
Artinya, “Ulama bersepakat atas kebolehan
zikir dengan hati dan lisan bagi orang yang berhadats, junub, haid, dan nifas.
Zikir itu meliputi bacaan tasbih, tahlil, tahmid, takbir, shalawat untuk Nabi
Muhammad SAW, doa, dan selain itu,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar,
[Damaskus: Darul Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 8).
Ulama menyebutkan sejumlah adab zikir. Adab
bagi orang yang berzikir adalah duduk, menghadap kiblat, dan bersuci dari
hadats kecil dan hadats besar.
Adapun tempat, zikir sebaiknya dilakukan di
tempat-tempat terpuji seperti masjid, majelis taklim, dan ruang lainnya.
Terutama sekali, tempat zikir termasuk shalawat nabi adalah tempat yang sunyi
dan bersih. Kebersihan tempat ini yang menjadi prioritas sebaga tempat zikir.
فصل
وينبغي أن يكون الموضع الذي يذكر فيه خاليا نظيفا، فإنه أعظم في احترام الذكر
والمذكور، ولهذا مدح الذكر في المساجد والمواضع الشريفة
Artinya, “Pasal, seyogianya lokasi yang
menjadi tempat berzikir itu sunyi dan bersih karena itu lebih menghormati zikir
dan Allah yang dizikirkan. Karenanya, zikir di masjid dan di tempat-tempat
mulia menjadi terpuji,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Damaskus:
Darul Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 9).
Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa meskipun ada
tempat-tempat yang dianjurkan untuk berzikir atau membaca Al-Qur’an seperti
masjid, majelis taklim, dan tempat mulia lainnya, zikir atau pembacaan
Al-Qur’an dapat dilakukan di lokasi selain tempat yang dianjurkan.
Ia menyebutkan bahwa zikir atau pembacaan
Al-Qur’an dapat dilakukan di jalanan atau kamar mandi tanpa keharaman dan
kemakruhan.
ولا
يكره في الطريق ولا في الحمام ، والله أعلم
Artinya, “Zikir di jalanan dan di kamar mandi
tidak makruh,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Damaskus: Darul
Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 9).
Ibnu Alan As-Shiddiqi dalam Syarah
Al-Azkar, Al-Futuhatur Rabbaniyyah, mengutip argumenasi yang digunakan oleh
Imam An-Nawawi perihal kebolehan membaca Al-Qur’an dan zikir di kamar mandi.
Menurutnya, selagi tidak ada keterangan dari
syariat maka tidak ada jalan untuk memakruhkan atau mengharamkan suatu tindakan
sebagaimana keterangan berikut ini:
قال
في المجموع لا تكره قراءة القرآن في الحمام...دليلنا أنه لم يرد الشرع بكراهته فلم
يكره كسائر المواضع اهـ
Artinya, “Imam An-Nawawi dalam Al-Majemuk
berpendapat bahwa membaca Al-Qur’an di kamar mandi tidak makruh…Argumentasi
kami adalah bahwa syariat tidak menerangkan kemakruhannya sehingga itu (membaca
Al-Qur’an atau berzikir) tidak makruh di tempat tersebut sebagaimana tidak
makruh di tempat-tempat lainnya,” (Lihat Ibnu Alan As-Shiddiqi, Al-Futuhatur
Rabbaniyyah, [Beirut: Daru Ihyait Al-Arabi, tanpa catatan tahun], juz I,
halaman 146-147).
Dari pelbagai keterangan ini, kita dapat
menarik simpulan bahwa tempat hiburan malam tidak masalah sebagai tempat
berzikir, termasuk membaca shalawat di dalamnya karena tidak ada dalil agama
yang melarangnya.
Tempat hiburan malam sama statusnya dengan
jalanan, kamar mandi, dan tempat lain yang boleh dipakai untuk berzikir di
dalamnya, tanpa makruh dan haram. Tempat hiburan malam, dan tempat lainnya
bukan alasan untuk meninggalkan zikir mengingat kekuatan anjuran ibadah zikir.
Jangan sampai tempat seperti tempat hiburan
malam dan tempat lain seperti pasar, lapangan, kantor, dan jalanan menghalangi
seseorang untuk memenuhi perintah ibadah membaca Al-Qur’an atau berzikir
sebagaimana keterangan Ibnu Alan dalam Al-Futuhatur Rabbaniyyah,
[Beirut: Daru Ihyait Al-Arabi, tanpa catatan tahun], juz I, halaman 137).
Kecuali soal tempat, salah satu adab zikir
yang perlu diperhatikan adalah soal orang yang berzikir. Mereka yang berzikir
sebaiknya membersihkan mulut dari aroma tidak sedap dan dari unsur najis yang
mungkin ada.
وجاء
عن الإمام الجليل أبي ميسرة رضي الله عنه قال (لا يذكر الله تعالى إلا في مكان طيب
وينبغي أيضا أن يكون فمه نظيفا، فإن كان فيه تغير أزاله بالسواك، وإن كان فيه
نجاسة أزالها بالغسل بالماء، فلو ذكر ولم يغسلها فهو مكروه ولا يحرم، ولو قرأ
القرآن وفمه نجس كره، وفي تحريمه وجهان لأصحابنا أصحهما لا يحرم
Artinya, “Dari Abu Maysarah RA, ia berkata
bahwa Allah tidak [boleh] disebut kecuali di tempat yang baik. Seyogianya mulut
orang yang berzikir itu bersih. Kalau aroma mulutnya sudah berubah menjadi
tidak sedap, ia boleh menghilangkannya dengan siwak. Jika di mulutnya mengandung
najis, maka ia dapat menghilangkannya dengan membasuhnya pakai air. Kalau ia
berzikir dan tidak membasuh mulutnya, maka itu terbilang makruh, tidak haram.
Kalau seseorang membaca Al-Qur’an dan mulutnya mengandung najis, maka itu
makruh. Perihal keharamannya, sikap ulama terbelah dua. Pendapat paling shahih
mengatakan itu tidak haram,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar,
[Damaskus: Darul Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 9).
Zikir sangat dianjurkan dalam segala kondisi
kecuali beberapa situasi yang tidak disarankan, seperti saat membuang hajat,
saat berjimak, saat mendengarkan khutbah, saat shalat, dan saat kantuk.
Selebihnya, zikir sangat dianjurkan.
فصل
اعلم أن الذكر محبوب في جميع الأحوال إلا في أحوال ورد الشرع باستثنائها نذكر منها
هننا طرفا، إشارة إلى ما سواه مما سيأتي في أبوابه إن شاء الله تعالى، فمن ذلك أنه
يكره الذكر حالة الجلوس على قضاء الحاجة ، وفي حالة الجماع، وفي حالة الخطبة لمن
يسمع صوت الخطيب، وفي القيام في الصلاة، بل يشتغل بالقراءة، وفي حالة النعاس
Artinya, “Pasal, ketahuilah bahwa zikir sangat
dianjurkan dalam kondisi apapun kecuali pada beberapa situasi terntu yang
disebutkan oleh syariat sebagai pengecualian yang akan disebutkan beberapa.
Salah satunya adalah makruh berzikir saat duduk membuang hajat, saat jimak,
pada saat khutbah bagi jamaah Jumat yang mendengarkan suara khatib, saat shalat
karena seharusnya ia menyibukkan diri dengan bacaan shalatnya, dan ketika
dihinggapi rasa kantuk,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Damaskus:
Darul Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 9).
Demikian sejumlah adab zikir termasuk membaca
Al-Qur’an dan membaca shalawat nabi yang perlu diperhatikan. Semoga keterangan
para ulama ini memberikan manfaat kepada kita semua. Amin. Wallahu a‘lam.
[]
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar