Definisi dan Rukun Ijarah,
Sewa-Menyewa dalam Islam
Manusia adalah makhluk sosial yang saling
membutuhkan satu sama yang lain. Ketika salah satu membutuhkan dan tidak
memiliki apa yang ia butuhkan, maka yang lain bisa membantu untuk memenuhinya.
Inilah di antara hikmah ijarah (persewaan) yang disyariatkan di dalam
islam. Habib Hasan bin Ahmad al-Kaaf berkata:
الحكمة
منها أنها ليس لكل أحد مركوب وسكن وخادم وغير ذلك وقد يحتاج لها ولا يستطيع أن
يشتريها فجوزت الإجارة لذلك
“Di antara hikmah dari ijarah adalah,
sesungguhnya tidak setiap orang memiliki kendaraan, tempat tinggal, pelayan dan
selainnya, sedangkan ia membutuhkan semua itu namun tidak mampu membelinya,
maka ijarah (sewa menyewa) diperbolehkan karena hal itu.” (Habib Hasan bin
Ahmad al-Kaaf, Taqrirat as-Sadidah, Yaman, Dar al-Mirats an-Nabawi, cetakan pertama,
2013, halaman 138)
Akad ijarah dilegalkan di dalam syariat
berdasarkan nash Al-Qur’an, Hadits dan Ijma’ sebagaimana yang disampaikan oleh
Syekh Zakariya al-Anshari (Lihat: Asna al-Mathalib, Beirut, Dar
al-Fikr, cetakan kelima, 2003, jilid 5 halaman 73).
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
فَإِنْ
أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“Kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS Ath-Thalaaq:
6)
Ayat ini menunjukan tentang akad ijarah sebab
bentuk kalimat فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ adalah
bentuk kalimat perintah dan perintah di dalam ushul fiqh menunjukkan wajib.
Upah hanya bisa diwajibkan/ditetapkan oleh akad (transaksi). Sehingga ayat ini
secara pasti diarahkan pada menyusui yang disertai dengan akad (ijarah). (Habib
Hasan bin Ahmad al-Kaaf, Taqrirat as-Sadidah, Yaman, Dar al-Mirats an-Nabawi,
cetakan pertama, 2013, halaman 138)
Di dalam sebuah hadits disampaikan:
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالصِّدِّيقَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ اسْتَأْجَرَا رَجُلًا مِنْ بَنِي الدِّيلِ يُقَالُ لَهُ عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ الْأُرَيْقِطِ
“Sesungguhnya baginda Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam dan Abu Bakar Shiddiq ra pernah menyewa seorang lelaki
dari Bani ad-Diil yang bernama Abdullah ibn al-Uraiqith.” (HR. Bukhari)
Di dalam hadits yang lain juga disebutkan:
أَنَّهُ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُزَارَعَةِ وَأَمَرَ
بِالْمُؤَاجَرَةِ وَقَالَ لَا بَأْسَ بِهَا
“Sesungguhnya baginda Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam melarang muzara’ah dan memerintahkan muajjarah (akad
sewa). Beliau bersabda, ‘Tidak apa-apa melakukan muajjarah’.” (HR Muslim)
Definisi Ijarah
Secara bahasa ijarah memiliki arti nama untuk
sebuah upah. Sedangkan secara istilah syariat adalah
عقد
على منفعة مقصودة معلومة قابلة للبذل والإباحة بعوض معلوم
“Akad (transaksi) terhadap kemanfaatan yang
maqshudah, maklum, bisa untuk diserahkan dan mubah dengan ‘iwadl (upah) yang
maklum” (Syekh an-Nawawi Banten, Nihayatuz Zain, Songgopuro - Indonesia,
al-Haramain, cetakan pertama, halaman: 257)
Maksud ‘manfaat maqshudah’ adalah manfaat
menurut pandangan syariat maka tidak boleh menyewa uang untuk hiasan. Maksud
‘manfaat yang maklum’ adalah manfaat yang jelas dan dibatasi seperti menyewa
orang untuk menjahit baju dengan ukuran dan model tertentu. Maksud ‘bisa untuk
diserahkan’ adalah mungkin untuk diserahkan, maka tidak boleh menyewakan
Al-Qur’an kepada orang kafir, sebab Al-Qur’an tidak bisa diserahkan kepada
orang kafir. Maksud ‘manfaat yang mubah’ adalah manfaat yang tidak haram, maka
tidak boleh menyewa alat-alat musik yang diharamkan. (Habib Hasan bin Ahmad
al-Kaaf, Taqrirat as-Sadidah, Yaman, Dar al-Mirats an-Nabawi, cetakan
pertama, 2013, halaman 137)
Rukun-rukun Ijarah
Transaksi ijarah hukumnya sah jika memenuhi
rukun-rukun yang ada di dalamnya. Adapun rukun ijarah ada lima:
Pertama, shigat (kalimat
yang digunakan transaksi) seperti perkataan pihak yang menyewakan “Saya
menyewakan mobil ini padamu selama sebulan dengan biaya/upah satu juta rupiah.”
Dan pihak penyewa menjawab “Saya terima.”
Kedua, ujrah (upah/ongkos/biaya)
Ketiga, manfaat
(Kemanfaatan barang atau orang yang disewa)
Keempat, mukri/mu’jir (pihak
yang menyewakan)
Kelima, muktari/musta’jir
(pihak yang menyewa)
(Lihat: Habib Hasan bin Ahmad al-Kaaf, Taqrirat
as-Sadidah, Yaman, Dar al-Mirats an-Nabawi, cetakan pertama, 2013, halaman
138)
Masing-masing dari kelima rukun ini memiliki
syarat-syarat tertentu yang harus terpenuhi agar transaksi ijarah yang
dilakukan bisa sah dan legal menurut syariat.
Shighat: Sebagaimana transaksi-transaksi yang
lain, di dalam ijarah juga disyaratkan shigat dari pihak penyewa dan
pihak yang menyewakan dengan bentuk kata-kata yang menunjukan terhadap
transaksi ijarah yang dilakukan sebagaimana contoh di atas.
Ujrah/upah/ongkos: Ujrah di dalam akad ijarah
harus diketahui, baik dengan langsung dilihat ataupun disebutkan kriterianya
secara lengkap semisal ‘seratus ribu rupiah.’
Manfaat: harus mutaqawwamah (bernilai secara
syariat), maklum, mampu diserahkan, manfaat dirasakan oleh pihak penyewa,
manfaat yang diperoleh pihak penyewa bukan berupa barang.
Penyewa dan pihak yang menyewakan: Baligh,
berakal, tidak terpaksa.
(Lihat: Syekh an-Nawawi Banten, Nihayatuz
Zain, Songgopuro - Indonesia, al-Haramain, cetakan pertama, halaman:
257))
Demikianlah konsep dasar di dalam transaksi
ijarah. Insyaallah dalam edisi-edisi berikutnya akan dipaparkan penjelasan
lebih lanjut dan permasalahan-permasalahan yang lumrah terjadi di masyarakat
yang berkaitan dengan ijarah.
Wallahu a’lam.
[]
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar