Ketahanan
Demokrasi
Oleh:
Azyumardi Azra
Penetapan
dua pasang calon presiden-calon wakil presiden oleh Komisi Pemilihan Umum,
Kamis (20/9/2018), yang diikuti Deklarasi Kampanye Damai pada Minggu (23/9)
memperkuat harapan terselenggaranya Pemilu 17 April 2019 secara damai. Harapan
tetap perlu diperkuat meski pemilu pasca-Orde Baru (1999, 2004, 2009, dan 2014)
umumnya berlangsung damai sehingga tidak ada yang perlu amat dikhawatirkan.
Deklarasi
kampanye (dan implisit juga pemilu) damai di sejumlah kota di Nusantara
menampilkan massa yang mengenakan macam-macam kostum etnik tradisional;
warna-warni dan kaya. Semua ini memperlihatkan, pemilu tak lain adalah festival
rakyat untuk merayakan demokrasi; pemilu semestinya tidak menimbulkan
kegaduhan, konflik, dan kekerasan.
Merayakan
secara massal proses pemilu (pemilihan legislatif dan pemilihan presiden)
sebagai bagian integral demokrasi secara simbolis memiliki makna penting. Meski
simbolisme sering dikritik orang skeptis sebagai basa-basi, dia tetap
diperlukan. Simbolisme memberi harapan dan komitmen yang dapat menjadi daya
dorong untuk mewujudkannya.
Simbolisme
deklarasi kampanye damai pertama-tama mencerminkan gesture berbagai pemangku
kepentingan dalam kontestasi agar proses politik seputar Pemilu 2019 berjalan
damai. Kedua, simbolisme itu mengikat para kontestan dan pendukungnya untuk
setia pada deklarasi yang telah ditandatangani terbuka di depan publik.
Melaksanakan
proses demokrasi sebagai ”festival rakyat” dapat membuat sistem politik ini
kian tertanam kuat dalam kehidupan sosial-politik warga. Dengan begitu, warga
dapat terhindar dari godaan dan tarikan untuk mengadopsi sistem politik semacam
teokrasi atau otoritarianisme sipil atau militer.
Semua
proses ini membuat demokrasi menjadi kian melekat erat dengan kehidupan warga
sehingga mewujudkan democracy embedded. Demokrasi bukan lagi hal asing yang tak
kompatibel dengan budaya dan agama warga, melainkan jadi bagian tidak terpisah (embedded) dengan
realitas kehidupan sehari-hari.
Democracy
embedded sangat penting dalam mewujudkan ketahanan demokrasi (democracy resilience).
Hanya dengan ketahanan demokrasi, sistem politik demokratis baik secara
prosedural maupun substantif dapat terus meningkat kualitasnya. Sebaliknya,
tanpa ketahanan demokrasi, proses politik dapat mengakibatkan kemerosotan
demokrasi itu sendiri, yang bisa berujung pada konflik dan kekerasan.
Apakah
”ketahanan demokrasi” itu? International Institute for Democracy and Electoral
Assistance (IDEA), Stockholm (2017), mendefinisikannya sebagai ”kemampuan
sistem politik [demokrasi] menghadapi, bertahan dan pulih dari berbagai
tantangan rumit dan krisis yang menghadirkan banyak tekanan yang akhirnya dapat
mengakibatkan kegagalan sistemik demokrasi”.
Meminjam
kerangka International IDEA lebih lanjut, ketahanan demokrasi terkait banyak
dengan ketahanan sosial, budaya, dan agama yang fleksibel menghadapi berbagai
tantangan dan tekanan. Pada saat sama ketahanan sosial, budaya, dan agama juga
memiliki kemampuan akomodasi, inovasi, dan terobosan untuk mengatasi berbagai
tekanan dan tantangan yang terus kian rumit dan kompleks.
Indonesia
beruntung memiliki ketahanan sosial, budaya, dan agama yang relatif kuat. Dalam
perjalanan sejarah panjang, masyarakat Indonesia, yang sangat majemuk dalam
banyak hal, beruntung memiliki ketahanan sosial, budaya, dan agama yang
membuatnya mampu bertahan menghadapi gejolak perubahan yang menghadirkan banyak
tekanan dan tekanan.
Bertahannya
ketahanan sosial, budaya, dan agama itu terkait banyak dengan kuatnya paradigma
dan praksis akomodatif, inklusif, dan toleran beragam suku bangsa, berbagai
lapisan kelas sosial, dan bermacam agama. Dengan karakter seperti itu, dalam
menghadapi tantangan dan tekanan, kerangka dan praksis yang lazim berlaku
adalah win-win-solution daripada zero-sum-game yang dapat menghancurkan.
Kini
tantangan yang dapat mengganggu ketahanan sosial, budaya, dan agama meningkat
secara signifikan. Bisa dipastikan berbagai tantangan itu menimbulkan gangguan
tidak hanya dalam kehidupan sosial, budaya, dan agama, tetapi juga dalam bidang
politik, khususnya pada waktu berlangsungnya kontestasi politik besar semacam
pemilu.
Tantangan
dan tekanan terhadap ketahanan sosial, budaya, dan agama serta sekaligus
ketahanan demokrasi terjadi juga karena disrupsi nilai luhur akibat revolusi
komunikasi. Harus ada langkah tegas mengatasi dampak revolusi media sosial yang
secara instan mengakibatkan peningkatan penyebaran hoaks, ujaran kebencian,
fitnah, adu domba, dan manipulasi isu SARA untuk kepentingan politik partisan.
Ketahanan
demokrasi sangat terkait dengan keberhasilan mewujudkan pemilu berintegritas.
Oleh sebab itu, lembaga penyelenggara, para kontestan, masyarakat sipil, dan
warga pemilih perlu mengawal pemilu. Jika tidak, proses politik ini dapat
diwarnai politik uang yang jelas berdampak buruk terhadap ketahanan demokrasi.
Selanjutnya,
ketahanan demokrasi juga sangat bergantung pada sukses atau gagalnya demokrasi
dalam meningkatkan kualitas kehidupan warga. Ini merupakan tantangan berat
karena demokrasi mendorong munculnya eksplosi harapan untuk kehidupan lebih
baik, khususnya di negara-negara yang relatif baru dalam menerapkan demokrasi
seperti Indonesia.
Oleh
karena itu, demokrasi dapat memiliki ketahanan berkelanjutan jika rezim produk
pemilu mampu menjalankan pemerintahan secara efektif untuk peningkatan kualitas
kehidupan para warga. Sebaliknya, ketahanan demokrasi bisa rapuh jika rezim
hasil pemilu tidak mampu mewujudkan harapan dan janji demokrasi untuk kehidupan
lebih sejahtera dan berkeadilan.
Dengan
demikian, tantangan Indonesia menyongsong Pemilu 2019 pertama-tama adalah
penyelenggaraan pemilu prosedural secara damai dan sukses. Pada saat yang sama
juga secara substantif mengonsolidasikan ketahanan sosial, budaya, dan agama
secara berkelanjutan.
Konsolidasi
itu mesti dilakukan mulai dari tingkat individu warga, komunitas, masyarakat
sipil, institusi sosial-budaya, dan agama, sampai kelembagaan birokrasi
pemerintahan. Semua ini memiliki peran penting bagi upaya perwujudan dan
penguatan ketahanan sosial, budaya, agama, sekaligus ketahanan demokrasi. []
KOMPAS, 27
September 2018
Azyumardi Azra | Profesor UIN
Jakarta; Anggota Komisi Kebudayaan AIPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar