Senin, 17 September 2018

Zuhairi: Kejahatan Perang di Yaman


Kejahatan Perang di Yaman
Oleh: Zuhairi Misrawi

Yaman, negeri yang mempunyai sejarah peradaban sangat panjang dan adiluhung, kini terjebak dalam perang dan konflik yang runyam. Kebuntuan dan tak ada kata mufakat dalam perselisihan politik telah menyebabkan Yaman menjadi medan pertempuran dan mangsa bagi perebutan pengaruh yang lebih besar dalam peta geopolitik kawasan.

Bayangkan, sejak perang bergejolak pada 2014, tercatat 6.475 warga sipil yang tewas, 16.700 luka-luka. Lebih dari 8 juta warga Yaman terlantar, kelaparan, dan hidup dalam ketidakpastian. Sungguh, sebuah tragedi kemanusiaan yang mencabik-cabik hati nurani kita semua.

Dalam catatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), lebih dari 3 juta warga Yaman telah mengungsi di beberapa wilayah di Yaman, sekitar 280 ribu warga mencari suaka ke beberapa negara lain, termasuk ke Djibouti dan Somalia. Mereka kehilangan tempat tinggal dan membutuhkan bantuan makanan. Sedangkan, mereka yang memilih menetap di Yaman hidupnya lebih terpuruk lagi karena tertutupnya akses bantuan ke wilayah-wilayah yang menjadi medan pertempuran.

Pada 28 Agustus lalu, Tim investigator PBB telah mengeluarkan sebuah laporan investigatif yang terpercaya, bahwa koalisi militer Arab Saudi dan United Arab Emirates (UAE) yang telah menewaskan ribuan warga sipil, melakukan penyiksaan, pemerkosaan, dan menjadikan anak-anak kecil sebagai tentara, dapat dikatagorikan sebagai pelaku kejahatan perang.

Menurut laporan tersebut, serangan membabi buta yang dilakukan oleh Arab Saudi dan UAE tidak hanya merenggut ribuan nyawa, tetapi juga menghancurkan rumah-rumah warga, pasar, pemakaman, penjara, dan rumah sakit. Bahkan, menurut Kamel Jendoubi, ketua panel dalam investigasi tersebut, serangan yang dilakukan Arab Saudi dan UAE di Yaman dilakukan secara membabi-buta, dan tidak ada upaya sungguh-sungguh untuk memperkecil jatuhnya korban.

Bahkan, militer Arab Saudi dan UAE mengaku telah mendalangi serangan yang menyebabkan tewasnya 40 anak-anak sekolah di dalam bus. Artinya, Arab Saudi dan UAE sadar betul bahwa apa yang mereka lakukan dapat dikatagorikan sebagai kejahatan perang, tetapi sialnya tidak ada yang mampu meredam birahi kedua negara tersebut untuk menghentikan serangan militernya.

Salah satu alasannya, Arab Saudi dan UAE merasa telah mendapatkan dukungan penuh dari Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis. Karenanya, Arab Saudi dan UAE merasa dapat angin dan bisa melakukan apa saja, termasuk serangan yang sangat brutal, meski harus melanggar hak asasi manusia dan menewaskan warga sipil dalam jumlah yang sangat besar.

Di balik kejahatan perang ini ada bisnis senjata yang sangat mengiris-ngiris hati nurani kita. Sebab, senjata mematikan yang digunakan oleh Arab Saudi dan UAE ditengarai dibeli dari negara-negara adidaya tersebut. Pantas saja, tidak ada protes keras dari AS, Inggris, dan Prancis terhadap serangan brutal yang dilakukan oleh Arab Saudi dan UAE.

Hanya Spanyol yang belakangan melakukan protes keras dan menolak untuk menjual persenjataannya ke Arab Saudi dan UAE. Spanyol sadar betul tidak ingin menjadi bagian dari kejahatan perang di Yaman. Sebab, dunia internasional sudah menyoroti sepenuhnya apa yang terjadi di Yaman. Negara-negara yang selama ini lantang menyuarakan hak asasi manusia seperti AS, Inggris, dan Prancis telah melakukan demoralisasi dan standar ganda.

AS, Inggris, dan Prancis dikenal dalam sejarah sebagai "kolonialis" yang kerap berpihak pada rezim otoriter dan diktator di Timur-Tengah. Mereka mempunyai ketergantungan terhadap minyak, dan sebaliknya rezim-rezim otoriter membutuhkan persenjataan dari ketiga negara tersebut. Karenanya, kita patut kecewa karena AS, Inggris, dan Prancis tidak mempunyai komitmen yang serius dalam mengakhiri konflik politik yang terjadi di Yaman.

Di luar Arab Saudi dan UAE, tim ivestigator PBB juga menyebut Houthi sebagai pihak yang juga terlibat dalam kejahatan perang. Mereka juga ditengarai melakukan penyiksaan terhadap warga sipil, merekrut anak-anak untuk ikut perang, dan memblokade akses bantuan kemanusiaan.

Houthi adalah target dari serangan militer Arab Saudi dan UAE. Ribuan warga yang tewas akibat gempuran militer Arab Saudi dan UAE pada umumnya adalah Houthi. Jadi, sebenarnya menjadikan Houthi sebagai aktor dari kejahatan perang bisa dikatakan tidak masuk akal.

Apalagi Houthi bertahun-tahun tunduk pada ketidaktator rezim boneka Arab Saudi di Yaman. Mereka sebenarnya kelompok mayoritas, tetapi karena Arab Saudi mengontrol penuh rezim Yaman, maka Houthi harus tunduk pada rezim tersebut.

Kini, Houthi menggunakan segala kekuatannya untuk menentang rezim yang dianggap sebagai boneka Arab Saudi. Didukung oleh Iran, Houthi terus melakukan perlawanan terhadap militer Arab Saudi dan UAE. Tidak hanya itu saja, Houthi juga menghadapi milisi teroris al-Qaeda yang mendapatkan sokongan persenjataan dari Arab Saudi dan UAE.

Maka dari itu, kejahatan perang yang terjadi di Yaman ini tidak mudah untuk diselesaikan. Tawakkol Karman, aktivis perempuan yang meraih Nobel pada 2011 lalu menyatakan bahwa laporan tim ivestigasi PBB tidak bermakna apa-apa kecuali menyebut langsung para pemimpin Arab Saudi dan UAE, termasuk juga para pimpinan Houthi sebagai pihak yang bertanggung jawab atas tragedi kemanusiaan di Yaman.

Secara implisit, Karman sebenarnya hendak menyatakan bahwa semua pihak harus menahan diri dan kembali ke meja perundingan untuk membuat peta jalan damai dan penyelesaian secara komprehensif terhadap konflik politik di Yaman. Sayangnya, upaya tersebut gagal mencapai kemufakatan, karena pihak PBB tidak mau memenuhi permintaan Houthi perihal bantuan pemulihan korban terluka dan jaminan pihak Houthi bisa kembali ke Yaman setelah perundingan terakhir.

Maka dari itu, kejahatan perang di Yaman membutuhkan perhatian semua pihak. Setidak-tidaknya, jika Arab Saudi dan UAE mau menghentikan serangan brutalnya ke basis Houthi akan menjadi awal yang baik bagi peta jalan damai, termasuk kesiapan pihak Houthi untuk membuka akses bagi bantuan kemanusiaan sembari membuka jalan bagi perundingan damai. []

DETIK, 13 September 2018
Zuhairi Misrawi | Intelektual muda Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar