Qurban sebagai Obat
Kesenjangan Sosial
Oleh: Makmun Rasyid*
Kesenjangan sosial adalah ketidaksimetrisan,
ketimpangan dan ketidakadilan sosial yang terjadi di masyarakat. Tugas berat
yang diemban pemerintah saat ini dan kedepannya adalah ketidakadilan sosial,
pemerintah harus berusaha maksimal dalam menurunkan angka kemiskinan sebagai
salah satu faktor kesenjangan sosial.
Pada dasarnya perbedaan yang mencolok antara
si kaya dan si miskin tetap akan ada, sistem ekonomi apapun tidak mampu
menghilangkan perbedaan itu menjadi persamaan, namun usaha mengurangi dan
memperkecil jumlah kemiskinan menjadi sebuah keniscayaan.
Qurban merupakan salah satu obat kesenjangan
sosial, qurban pada dasarnya berakar dari jejak tiga manusia besar, Nabi
Ibrahim dan Hajar serta anak semata wayang Ismail. Perintah qurban merupakan
perintah teristimewa dan teramant berat yang dimana belum pernah terjadi kepada
nabi-nabi sebelumnya.
Ketersambungan ikatan garis lurus vertikal
dan horizontal dalam kehidupan masyarakat terletak pada saat berqurban. Ketua
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Lebak Baijuri menyatakan
qurban pada Hari Raya Idul Adha mampu menumbuhkan implikasi sosial dan
kebersamaan di masyarakat (Antaranews.com, 26 Okt 2012).
Perintah qurban merupakan kehendak Tuhan
untuk menguji Nabi Ibrahim yang dikenal taat terhadap perintah Tuhan, ujian ini
berawal disaat Nabi Ibrahim mendengar ucapan-ucapan kaumnya - manusia dermawan,
seketika itu Nabi Ibrahim mengatakan jangankan harta benda yang harus
didermakan demi mengabdi kepada-Nya, andaikata aku mempunyai seorang anak lalu
Tuhan memerintahkan untuk berqurban niscaya aku akan melaksanakan dengan penuh
keikhlasan.
Lahirlah anak lucu yang bernama Ismail,
selang beberapa waktu perintah Tuhan datang melalui mimpi, mimpi tersebut
mulanya diragukan Nabi Ibrahim, namun keraguan itu berubah dengan keyakinan
yang mantap dan penuh kepasrahan kepada-Nya, tatkala Ismail hendak disembelih
Tuhan mengutus malaikat Jibril untuk menggantikannya dengan seekor domba.
Peristiwa ini diabadikan dalam bentuk anjuran penyembelihan binatang ternak
yang kita kenal dengan qurban.
Tradisi dan budaya berqurban tidak hanya
dikenal dalam agama Islam, agama-agama lainnya pun mengenal tradisi demikian,
namun tradisi berqurban agama Islam dengan agama lainnya berbeda. Tradisi
qurban dalam Islam tidak dengan menyiramkan darah binatang sembelihan ke tempat
peribdatan dan dagingnya di lempar ke pintu, namun keikhlasan dalam berqurban
itulah yang diserahkan kepada-Nya sementara dagingnya diberikan kepada para
fakir miskin (Qs. Al-Hajj 28).
Dengan demikian, maka qurban tersebut
mengandung unsur ketuhanan dan kemanusiaan. Dimensi ketuhanan diaplikasikan
dengan bertakwa kepadanya sedangkan dimensi kemanusiaan diaplikasikan dengan
membagi daging kepada para fakir miskin. Hubungan kedua unsur diatas merupakan
terapi psikologis kaum fakir miskin dan mengurangi angka kemiskinan serta
kesenjangan sosial lainnya.
* Mahasiswa Sekolah Tinggi Kulliyatul Qur’an
(STKQ) Al-Hikam Depok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar