Pemuda Tak Boleh Lelah
Mengawal Bangsa
“Orde Reformasi" --begitu sejarah
menulis-- yang lahir tahun 1998 lalu,memiliki urutan panjang dalam memulai
persemaian kesadaran tentang perlu dan pentingya perubahan dus melawan rezim
otoriter. Kerja dan pengorbananya dilakukan oleh ratusan kaum muda-mahasiswa
yang berada di kota-kota seantero nusantara, tanpa kenal pamrih dan tidak
mengindahkan resiko berhadapan dengan kuatnya rezim saat itu.
Tidak hanya pengorbanna waktu (berlama-lama
di kampus) tetapi juga pikiran, air mata serta nyawa. Tidak sedikit teman-teman
yang hilang dan gila demi mengawal yang disebut “bayi perubahan” ini. Mereka
mampu memberi perbedaan yang sangat signifikan dalam mewujudkan semangat
Proklamasi ke arah yang didambakannya. Yakni cita-cita Indonesia adil dan
makmur tanpa penindasan.
Oktober ini, gelora kepemudaan masih
terlihat, namun terasa sepi dari suprime kesadran untuk berbenah yang
sesungguh-sungguhnya. Mayoritas kita digerus oleh zaman yang serba transaksi, serta
praktis dan mengkhawatirkan menuju hedonis. Pertanyaan nya adalah benarkah Orde
Reformasi terekam lebih baik dibanding dengan Orde sebelum nya? Inilah sebetul
nya esensi utama yang harus dijadikan percik permenungan kita bersama, khusus
nya kaum muda yang tumbuh di era Reformasi.
Hal ini patut dicatat, karena sekalipun
Reformasi telah berusia sekitar 15 tahun, ternyata "penyakit" Orde
Baru masih belum dapat disembuhkan keseluruhanya. Praktek korupsi, kolusi dan
nepotisme masih marak berlangsung. Gaya hidup bangsa yang
"sofistikasi", tampak masih mewarnai perilaku sebagian besar warga
bangsa. Begitu pula dengan budaya hedonisme yang terlihat semakin menjadi-jadi
dalam kehidupan nyata di lapangan. Padahal, kita telah sepakat bahwa Orde
Reformasi mestilah jauh harus lebih baik dari Orde sebelum nya.
Beban berat kita saat ini adalah menjinakkan
paham-paham seperti hedonisme, materialisme, kapitalisme, radikalisme atau
bahkan teologisme(?), Tidak semata sebagai diskursus tetapi sebagai kritik oto
kritik dalam menjangkar gendang peradaban ke depan. Paham-paham tersebut hari
ini tidak saja menjadi wacana namun telah menjadi laku dari masing-masing
individu baik yang paham maupun yang mengkritisi bahkan anti terhadapnya. Namun
samar tersirat dan tampak pelan-pelan digandrugi bahkan di jalaninya sendiri.
Kita nyaris tidak berjarak dengan pikiran dan
rasionale yang dulu kita kedepankan kan sebagai bagian dari mencerna keadaan.
Jika dulu musuh kita adalah sesuatu yang nyata, terlihat jelas secara kasat
mata, sekarang musuh kita bentuknya abstrak, tidak jelas tetapi ia ada. Sosio
drama ‘waton kritis atau waton bedho’ tumbuh secara alamiah dalam tubuh
masyarakat generasi muda. Tanpa memahi untuk apa dan kemana arah sikap kritis
diwujudkan.Musuh yang harus dilawan itulah yang agaknya membuat para pemuda
sekarang terpecah-pecah tanpa orientasi yang jelas dan manunggal.
Di satu sisi teman-teman muda ingin idealis,
namun di sisi lain ternyata menjadi apatis bahkan banyak yang pragmatis,
alih-alih merasa sudah lelah dan ingin segera menangkuk buah perjuangan. Sisi
lain, kalau bukan sisi gelap? Banyak anak muda karna tak sanggup
mendialektikakan kedaan, mereka maujud -mengubah diri mereka menjadi model
pemuda baru yang dikenal dengan istilah “alay”. Pemuda yang merasa dirinya
bukan pemuda jika tidak bergaya ala boyband/girlband. Pemuda yang merasa
dirinya bukan pemuda jika tidak memiliki iPad. Atau pemuda yang merasa dirinya
bukan pemuda jika tidak adu kekuatan dengan tawuran dan narkoba. Dan ini nyaris
terjangkit di mayoritas genarasi yang masih berada di bangku SMU/SMA.
Saat ini sepertinya, pemuda memerlukan figur-figur yang dapat menjadi teladan, bisa dari sesamanya atau dari generasi pendahulunya. Tidak semua pemuda sadar dan mampu untuk memulai perubahan dari diri sendiri. Ada pemuda yang butuh contoh dan dorongan. Disorientasi pemuda harus segera diarahkan agar masa depan bangsa ini dapat lebih terarah pula, sebab merekalah yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa, berdasar statistik kependudukan, pemuda kita menempati prosentase terbesar dalam populasi kita. Bisa dibayangkan, betapa buruk nasib bangsa ini ke depan, jika kesadaran pikir, kesadaran social dan kesadaran beragama mereka tidak benar.
Dalam mengembangkan perannya, kaum muda
Indonesia perlu mengasah kemampuan reflektif dan kebiasaan bertindak efektif.
Perubahan hanya dapat dilakukan karena adanya agenda refleksi (reflection) dan
aksi (action) secara sekaligus. Daya refleksi kita bangun berdasarkan bacaan
baik dalam arti fisik melalui buku, bacaan virtual melalui dukungan teknologi
informasi maupun bacaan kehidupan melalui pergaulan dan pengalaman di tengah
masyarakat. Makin luas dan mendalam sumber-sumber bacaan dan daya serap
informasi yang kita terima, makin luas dan mendalam pula daya refleksi yang berhasil
kita asah.
Pemuda adalah calon pemimpin bangsa, pemimpin
peradaban! pemimpin bangsa tak boleh mengeluh, tak elok berputus asa dan
menyerah, walaupun lelah, letih melanda, badan tetap harus ditegakkan. Menatap
lurus ke depan, dengan semangat baja, jangan hiraukan tipu daya kemalasan.
Pikiran harus jernih, hatipun kudu suci. Dengan petunjuk Tuhan yang Maha
Pengasih, kuyakin pemuda sampai di sana-tetap mampu mengawal bangsa!
* Penulis adalah mantan aktifis 98, kini
aktif di pengurus harian DPP PD sebagai Sekretaris Pusat Pengembangan Strategy
dan Kebijakan Partai dan Wakil Bendahara Umum PP Pagar Nusa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar