Ketika Rasialisme Menimpa Ulama
Syeikh Yasin Padang adalah salah seorang
ulama besar Indonesia yang bermukim dan menghabiskan usianya di tanah Hejaz,
Saudi Arabia sekarang. Seperti para ulama besar Indonesia sebelumnya, dia pun
sangat disegani oleh para ulama yang mengajar di Masjidil Haram dan dicintai
banyak kalangan. Belum lagi ditambah sikap Syeikh Yasin yang terhitung luwes
dan terbuka membuatnya sangat dekat dengan setiap orang yang mengenalnya.
Sedangkan bagi para pelajar Indonesia yang
menuntut ilmu di kota Mekkah, Syeikh Yasin bisa dipandang sebagai guru, sahabat
sekaligus tempat mengadu. Banyak pelajar yang berkunjung ke kediaman beliau
dengan berbagai tujuan. Ada yang ingin menimba ilmu, meminta fatwa, nasehat,
bahkan ada juga yang ingin berkonsultasi masalah perjodohan.
Seorang ulama Bali yang pernah belajar dan
bertemu dengan Syeikh Yasin di Mekah merasa gundah. Pasalnya, putri dari salah
satu gurunya yang bernama Zakiya kerapkali mengantarkan minuman atau makanan
kepadanya tanpa sebab. Setelah usut kena usut ternyata minuman dan makanan
tersebut adalah pesan rasa ketertarikan Zakiya kepada sang Ulama.
Menyadari hal tersebut, ia pun dilanda
kebimbangan. Jika ia menikahi Zakiya berarti ia akan menjadi penduduk kota
Mekkah, namun jika ia pulang ke Indonesia sama artinya ia akan kehilangan
Zakiya yang dipandangnya sebagai wanita baik-baik plus putri dari gurunya yang
alim pula.
Setelah berpikir beberapa hari tanpa
keputusan, ia pun akhirnya berniat untuk meminta nasihat kepada Syeikh Yasin
al-Padangi. Ia memilih ulama yang satu ini karena ia selalu mau mendengarkan
dan memberikan pandangan dan saran yang bijak. Dan yang lebih penting lagi,
Syeikh Yasin adalah ulama Indonesia yang beristrikan wanita Arab. Pastilah ia
orang yang paling cocok untuk dimintai keterangan mengenai adat istiadat bangsa
Arab.
Sesampai di rumah Syeikh Yasin, Ia pun
menyampaikan masalah yang sedang dihadapi. Setelah selesai mendengarkan dengan
seksama, Syeikh Yasin pun kemudian meminta dirinya untuk mengurungkan niatnya.
Syeikh Yasin memberikan penjelasan bahwa bagaimanapun juga bangsa Arab tidak
mudah melepaskan fanatisme kelompok (ta`ashshubiyah qaumiyah) mereka. Mereka
tetap memandang diri mereka lebih mulai daripada orang-orang non Arab. Syeikh
Yasin sendiri mengaku bahwa walupun sebagai ulama yang dihormati tetapi
diskriminasi tetap menimpa dirinya sendiri.
Setelah mendengar nasehat dari Syeikh Yasin,
dengan berat hati ia pun membatalkan niatnya untuk mengawini putri salah
seorang gurunya itu, semata untuk menjaga martabat sebagai bangsa Indonesia. Beberapa
bulan kemudian, ia kemudian pulang ke tanah air Indonesia karena merasa tidak
enak kepada guru dan putrinya yang terlanjur mencintai dan dicintainya. Rupanya
fanitisme dan ashobiyah (rasialisme) memang ada, dan mungkin harus ada. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar