Surat Kepada Gus Dur
Oleh: KH. A. Mustofa
Bisri
Gus Dur, apa kabar? Sudah lama sekali kita tidak berkomunikasi laiknya sesaudara. Benar seperti yang pernah Sampeyan ramalkan, masing-masing kita akan sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri dan kesempatan ngobrol ngalor-ngidul seperti dulu sudah semakin sulit didapat. Dulu kita masih surat-suratan, lalu ketika semakin sibuk, kita hanya –tapi alhamdulillah masih— telepon-teleponan. Kemudian telepon-teleponan pun menjadi kian jarang. Untunglah Sampeyan termasuk figure publik yang gerak-gerik dan ucapan-ucapannya selalu diberitakan, sehingga saya pun selalu dapat mengikuti kegiatan Sampeyan.
Seingat saya sejak
Sampeyan menjadi ketua umum jam'iyah NU, hubungan kita sudah berubah menjadi
agak "formal". Sampeyan yang biasa memanggil saya njangkar,
"Mus" saja, sudah berubah memanggil dengan "Gus Mus".
Sementara itu saya sendiri semula masih mempertahankan panggilan "Mas
Dur" terhadap Sampeyan; tapi akhirnya, entah mengapa, merasa tak enak
sendiri dan —mengikuti orang-orang— memanggil Sampeyan "Gus Dur".
Pembicaraan antara kita pun sudah berubah, tidak pernah lagi fokus dan tuntas.
Sejak itu saya sudah merasa mulai "ada jarak" antara kita. Kemudian
Sampeyan menjadi semakin penting di negeri ini. Sampeyan menjadi pusat
perhatian dan tumpuan banyak orang. Di mana-mana dielu-elukan. Saya ikut
bangga, meski diam-diam saya merasa semakin kehilangan Sampeyan. Apalagi saat
Sampeyan menjadi orang paling penting, menjadi presiden republik ini, saya
benar-benar harus menerima "kepergian" Sampeyan. Sampeyan mestinya
masih ingat, ketika para kiai –orang-orang pertama yang Sampeyan undang ke
istana—menyampaikan selamat, saya sendiri menyampaikan
"belasungkawa". Waktu itu —masih ingat?— saya membisiki Sampeyan agar
berhati-hati terhadap bithaanah, orang-orang yang pasti akan ngrubung
Sampeyan untuk dijadikan "orang-orang dekat" Sampeyan (Menjadi ketua
NU saja banyak yang ngrubung, apalagi presiden). Bukan saya tidak
percaya kepada Sampeyan, tapi saya melihat rata-rata mulai Firaun, Heraclius,
hingga Soeharto, bithaanah-lah yang menjadi biang keladi kejatuhannya.
Gus Dur, mungkin Sampeyan akan mengatakan saya terlalu romantis, tapi sungguh, saya sangat merindukan keakraban seperti dulu, di mana masing-masing kita masih hanya manusia-manusia yang tak terkalungi atribut-atribut. Sampeyan bebas menegur saya dan saya tak merasa sungkan menegur Sampeyan. Karena keikhlasan lebih kuat dari pada rasa rikuh dan sungkan. Dan ternyata keikhlasan persahabat pun dapat dikalahkan oleh keperkasaan waktu. Sejak Sampeyan dikhianati oleh orang-orang yang dulu Sampeyan percayai mendukung Sampeyan (bahkan waktu saya peringatkan, Sampeyan malah menasehati agar saya jangan su-uddzan kepada orang) dan akhirnya melalui mereka, Allah membebaskan Sampeyan dari beban berat yang Sampeyan pikul sendirian, saya sebenarnya sudah berharap masa keakraban itu akan kembali.
Namun ternyata harapan itu justru terasa semakin jauh. Kini saya bahkan seperti tak mengenali Sampeyan lagi. Mas Dur yang demokrat sejati, Mas Dur yang berpikiran jauh ke depan, Mas Dur yang tak peduli terhadap jabatan, Mas Dur yang mencintai sesama, Mas Dur yang begitu perhatian terhadap umat, Mas Dur yang terbuka, Mas Dur yang penuh pengertian, Mas Dur yang ngayomi, Mas Dur yang akrab dengan semua orang, Mas Dur yang menebarkan kasih-sayang, Mas Dur yang … Ke manakah gerangan sosok itu kini? Saya kini kok malah hanya melihat Gus Dur yang menguasai partai yang kacau. Gus Dur yang mengurusi urusan-urusan tetek-bengek yang tak ada sangkut pautnya dengan kepentingan umat secara langsung. Gus Dur yang terus membuat sensasi politik yang tak jelas maksud tujuannya. Gus Dur yang membuat kubu-kubu dalam tubuh partainya sendiri. Gus Dur yang alergi terhadap kritik. Gus Dur yang dikelilingi pakturut-pakturut yang tak takut kepada Allah dan tak mempunyai belas kasihan kepada umat, Gus Dur yang tak lagi memperlakukan para kiai sebagai kawan-kawan bermusyawarah tapi membiarkan pakturut-pakturutnya memperlakukan mereka sekedar alat meraih kepentingan sepele, Gus Dur yang …
Maaf Gus Dur, mungkin saya memang sudah terjebak dalam romantisme kampungan. Tapi sungguh saya tidak mengerti. Kecuali pemikiran dan kegiatan-kegiatan luhur berskala makro Sampeyan, saya tidak mengerti apa sebenarnya yang sedang Sampeyan lakukan sekarang dengan atau bagi partai Sampeyan, PKB, dan jam'iyah Sampeyan Nahdlatul Ulama. Apakah dalam hal ini, Sampeyan –seperti biasa—mempunyai maksud-maksud tersembunyi di balik langkah-langkah Sampeyan yang membingungkan umat? Misalnya apakah Sampeyan sedang melakukan semacam shock therapy untuk secara ekstrem menggiring warga menjauhi sikap kultus individu dan kehidupan politik. Artinya Sampeyan ingin mengatakan dengan bukti kasat mata kepada mereka bahwa kultus individu itu tidak sehat dan bahwa orang NU memang tak becus berpolitik?
Bagaimana pun, Gus Dur, kalau boleh, saya masih ingin kembali memanggil Sampeyan "Mas Dur". Semoga Allah melindungi dan melimpahkan taufiq-hidayah-Nya kepada Sampeyan. Amin.
Penulis adalah pemimpin Pondok Pesantren Roudhotut Thalibin,
Rembang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar