Oleh:
Said Aqil Siradj
Harian Kompas, Jumat, 18 Oktober
2013
HAKIM itu
identik dengan pemutus perkara. Ada kredo menyatakan judge made law, hukum
timbul karena putusan hakim. Profesi hakim merupakan pekerjaan yang mulia,
tetapi sekaligus rentan godaan.
Dengan ungkapan lain, hakim merupakan profesi yang dipuja sekaligus dicela. Eksistensi keadilan memerlukan hakim dalam penerapannya. Kalau hakimnya tidak lagi taat hukum, hukum akan rusak dan justru menimbulkan keresahan khalayak.
Sejumlah
kasus penyelewengan profesi hakim di negeri kita tampaknya makin banyak terjadi.
Ibarat fenomena gunung es, kasus-kasus yang muncul masih menyimpan banyak kasus
lain yang belum terkuak. Dari keputusan hakim yang dipandang tidak adil,
seperti kasus vonis hukum terhadap pencuri sandal dan pencuri buah cokelat,
hingga suap-menyuap kelas kakap. Yang terbaru dan mengagetkan: tertangkapnya
ketua MK oleh KPK. Ini membuktikan betapa ringkih mentalitas dan karakter
hakim.
Profesi
rawan
Dalam sejarah peradaban Islam, dikenal sematan profesi qadhi al-qudhot yang merupakan instansi tertinggi dalam peradilan. Ada juga qadhi al-madzalim, hakim yang mengurusi segala bentuk penyelewengan. Kedudukan badan ini lebih tinggi daripada hakim biasa karena menangani perkara yang tak dapat diputuskan hakim biasa, meninjau kembali beberapa keputusan yang ada, atau menyelesaikan perkara banding.
Para
ulama menetapkan persyaratan yang sangat ketat untuk menjadi hakim, qadhi. Tak
sembarang mereka yang ahli hukum mudah menduduki posisi sebagai hakim. Di
antara persyaratan itu adalah berkemampuan tinggi, berkemampuan melaksanakan
putusan, memiliki wibawa dan pengaruh besar, bersih dan lurus, tidak serakah,
dan menjaga diri atau sikap hati-hati dari perbuatan syubhat dan meninggalkan
yang haram.
Persyaratan
ketat itu sesungguhnya berdasar pada hadis yang mengingatkan, "Hakim itu
ada tiga golongan, yaitu satu golongan masuk surga dan dua golongan lagi masuk
neraka. Pertama, hakim yang masuk surga adalah hakim yang mengetahui hak
(kebenaran) dan ia menghukum dengan kebenaran itu. Kedua, hakim yang mengetahui
hak, tetapi ia menghukum dengan yang bukan hak, hakim ini akan masuk neraka.
Ketiga, hakim yang menghukum dengan tidak mengetahui kebenaran dalam perkara
itu dan ia memutus dengan ketidaktahuannya itu, maka hakim ini pun akan masuk
neraka" (HR Abu Dawud). Ada hadis lagi yang mengingatkan, "Barangsiapa
yang diangkat sebagai hakim, sesungguhnya ia telah disembelih tanpa
pisau".
Hadis itu
merupakan peringatan betapa profesi hakim penuh risiko sehingga membutuhkan
ketahanan karakter diri yang kukuh. Dalam rekam sejarah Islam, banyak ulama
yang menyadari dan kemudian enggan menduduki jabatan sebagai hakim. Ibnu Umar
menolak ketika diminta Khalifah Usman bin Affan menjadi hakim. Abu Hanifah
menolak menjadi hakim, ketika diminta Khalifah al-Mansyur. Semua ini didasari
sikap karena saking takutnya terjungkal dalam ketidakadilan dan kezaliman.
Dalam pandangan ulama fikih sendiri, profesi hakim dihukumi fardhu kifayah.
Pembenahan
mental
Ada kisah seorang sufi besar, Jalaluddin Rumi. Rumi dulunya adalah seorang hakim yang sangat ahli dan kesohor pada masanya. Rumi dilahirkan di lingkungan terpelajar. Bapaknya adalah seorang ahli hukum dalam mazhab Hanafi. Keilmuannya tentang hukum yang luas membuat Rumi dipercaya jadi hakim dan mengajar di madrasah-madrasah. Muridnya banyak dan masyarakat berduyun-duyun menimba ilmu dari Rumi. Rumi juga dikenal sebagai pembicara yang piawai dalam diskusi ilmiah yang menghadirkan banyak ilmuwan. Perjalanan profesinya ini ia lakoni hingga usia 40 tahun.
Perubahan
besar dalam hidupnya ketika Rumi bertemu dengan Syam Tabriz, seorang pengelana
spiritual yang berpenampilan nyeleneh atau eksentrik. Perjumpaan yang diwarnai
dengan dialog sekilas dengan Syam Tabriz itulah yang membelokkan orientasi
spiritual Rumi. Singkat kata, Rumi memilih meninggalkan segala kebesarannya,
kesohorannya, keprofesorannya, dan profesi hakimnya. Dia menekuni kesufian demi
mereformasi kediriannya yang dia sadari banyak tergoda gemerlap duniawi.
Cerita
"pergumulan batin" ini tak berarti menghardik profesi hakim secara
sewenang-wenang. Cerita ini menyimpan hikmah betapa materi, kemasyhuran, dan
kecakapan ilmiah tidaklah cukup membuat seseorang baik dan menggapai kearifan.
Masih dibutuhkan kendali batin yang menyimpan pelajaran berharga demi membentuk
karakter pribadi yang tahan uji.
Nah, di
sinilah yang hendak ditegaskan bahwa hakim perlu membenahi diri sebagai bagian
dari upaya memperbaiki kualitas lembaga peradilan. Hakim yang setiap hari
bergumul dalam pencarian keadilan seyogianya memiliki tiga aspek dasar yang
baik: insting, moral, dan nurani.
Pemimpin
dan pengambil keputusan yang sudah mendayagunakan aspek itu akan menjadi
penegak hukum yang bermartabat, memiliki moral, dan integritas sehingga setiap
keputusannya membawa kemaslahatan bagi masyarakat dan negara. Tiga aspek dasar
itu harus senantiasa dibenahi dan diasah agar tetap tajam dan bisa digunakan
dengan baik.
Hakim
yang memiliki insting bagus secara instingtif mampu mengetahui hal baik dan
buruk. Namun, itu belum menjamin moralnya otomatis menjadi baik. Mungkin selama
ini bashirah atau instingnya sudah baik, tapi karena tertutupi oleh hawa nafsu,
maka dlamir atau moralnya dikorbankan. Karenanya, kedua-duanya haruslah
dibenahi.
Insting
dan moral (pada diri seorang hakim) yang baik akan menghasilkan nurani yang
memiliki daya deteksi sangat tajam dan peka. Nurani itu akan memberi keputusan
yang sangat jujur dan tak pernah bohong. Sekecil apa pun kesalahan dan
kebenaran akan dilihat dan dirasakan sehingga keputusan yang diberikan menjadi
apa adanya.
Selanjutnya,
lebih lengkap lagi jika seorang hakim memiliki asrar atau kemampuan menembus
misteri dan lathifah atau kelembutan. Dengan memiliki asrar, seorang hakim
mampu melihat implikasi dari keputusan yang diambilnya. Dengan lathifah,
seorang hakim akan mampu menyadarkan dan menggerakkan masyarakat agar mengarah
pada jalan yang benar.
Kita
optimistis pembenahan akhlak, terkhusus di lingkungan penegak hukum, akan mampu
diwujudkan dengan semangat dan kerja yang didukung pendidikan lahir dan batin
serta mekanisme pengawasan lebih baik. []
Said Aqil
Siradj, Ketua Umum PBNU
Sumber:
Kompas Cetak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar