Haji dan Qurban Setiap Saat
Oleh: Muhammad Roby Ulfi ZT*
Disadari atau tidak, setiap kali kita menutup
shalat, pasti kita menyematkan Nabi Ibrahim dan keluarganya dalam tasyahud
akhir. Kenapa tidak nabi yang lain? Dan saat kita tengah menutup tahun ini,
setidaknya ada dua ibadah teristimewa; ibadah haji dan ibadah qurban
(udhiyyah).
Dua ibadah penutup tahun ini dikatakan
istimewa karena hanya dilaksanakan setahun sekali, di penghujung tahun pula.
Dan semakin istimewa sebab hanya bisa dilaksanakan bagi yang mampu (the have).
Pertanyaannya lagi, kepada siapakah Tuhan kali pertama mensyariatkan dua ibadah
ini?
Dari sini, tampak jelas kita memang butuh
cermin tahunan agar kehidupan ke depan semakin "kinclong". Semakin
yakin firmah Allah, "Sungguh, telah ada suri teladan yang baik bagi kalian
pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya."
Ayat enam surat al Mumtahanah tersebut memantapkan
kita untuk menjadikan Nabi Ibrahim dan keluarganya sebagai cermin kehidupan.
Minimal, kita bercermin sekali setiap penghujung tahun seperti inilah.
Mari kita refleksikan setiap langkah hidup
kita dengan cermin Ibrahim sekeluarga, yang pertama kali mengumandangkan haji
dan merelakan putranya, Ismail, disembelih sebagai bentuk pengorbanan cinta
kepada Allah Subhanahu Wata'ala.
Dalam berbagai tinjauan, sebenarnya ibadah
haji dan kurban mengandung tiga dimensi filosofis: spiritual-transendental, psikologis-simbolis,
dan sosiologis-humanis.
Arti spiritual-transendental, bahwa kita
melaksanakan kedua ibadah ini sebagai konsekuensi keimanan kita kepada Yang
Maha Kuasa. Tanpa landasan iman, tentu kita takkan rela mengorbankan segala
yang kita miliki, mulai dari harta, waktu, bahkan hingga nyawa, demi
tercapainya haji yang mabrur dan pahala kurban.
Sudah berapa nyawa yang syahid selama ibadah
haji berjalan? Berapa hewan kurban yang disembelih selama hari raya Idul Adha
hingga akhir hari tasyrik? Sangat disayangkan bila semua itu dikorbankan demi
popularitas, tanpa dasar spiritual-trasenden.
Bila kita renungi, ibadah haji dan kurban
hingga sekarang masih eksis, bahkan begitu memikat banyak kalangan, adalah buah
dari kekuatan spiritual-transenden Nabi Ibrahim dan keluarganya: keyakinan
total mereka pada Allah. Tanpa kekuatan ini, mana mungkin Nabi Ibrahim
menyerukan setiap orang yang ia temui untuk "singgah" ke Baitullah,
yang saat itu masih sebidang tanah kerontang. Tanpa dasar spiritual-transenden,
Bunda Hajar bersama bayi mungilnya takkan sudi hijrah dari "tanah
terpilih", Kana’an menuju perjalanan jauh padang pasir yang sangat amat
melelahkan. Tanpa spiritual-transenden ini juga, Nabi Ismail, yang baru saja
belia, takkan rela disembelih sebagai pemenuhan mimpi sang ayah, yang akhirnya
Allah ganti dengan kambing biri-biri dari surga.
Maka, bila berkeinginan banyak keberkahan dan
kesuksesan hidup melalui berbagai ibadah, atau bahkan setiap aktivitas yang
dilakukan, sudah semestinya semua itu kita landasi dengan dimensi
spiritual-transendental: Kita menjalankan semua ini semata-mata demi Allah
Subhanallah Wata'alaa.
Dan secara psikologis-simbolis, ibadah kurban
melambangkan sifat hewani yang melekat pada diri manusia, seperti tak berakal,
malas, kejam, serakah, dan egois, yang perlu dibuang dengan tebusan
penyembelihan hewan sebagai upaya pemenuhan panggilan dan perintah Allah.
Sehingga darah yang mengalir dari hewan kurban, hendaknya dapat membuat kita
insyaf, bahwa hewan tak berakal saja rela berkorban demi menuruti kemauan
manusia karena kekuasaannya. Maka, sewajarnyalah jika kita manusia yang berakal
semestinya mau berkorban di jalan Allah, yang kekuasaan-Nya jelas lebih besar
dibanding kekuasaan manusia.
Dimensi psikologis-simbolis juga sangat
kental dalam ibadah haji. Ihram, misalnya, merupakan simbol ritual yang
mendidik manusia agar meninggalkan seluruh 'pakaian' yang pantas ditanggalkan,
yang hina di mata Tuhan; kesombongan, hedonisme, dll, serta menggantinya dengan
pakaian' putih dan suci; kerendahan hati, kesederhanaan, dll.
Dengan menyadari dimensi psikologis-simbolis
dalam kurban dan haji, syukur-syukur saat beribadah apa pun, mental dan
karakter kita akan mampu meneladani Nabi Ibrahim, Bunda Hajar, dan Nabi Ismail
dalam kehidupan sehari-hari kita. Peka terhadap sekitar, rela mengorbankan apa
saja demi kesejahteraan sosial, tidak memandang rendah pada kaum tak punya,
berkehidupan sangat sederhana, dan masih banyak sifat-sifat terpuji lainnya,
yang lahir sebagai buah dari penghayatan dimensi psikologis-simbolis ini.
Terakhir, ibadah haji dan kurban sangat erat
dengan dimensi sisiologis-humanis. Maksudnya kedua ibadah ini
"menciptakan" kita lebih sosialis, peduli sekitar, dan makin humanis,
memanusiakan manusia.
Letak sosialis-humanis dalam kurban ada pada
prinsip distribusi daging hewan pada manusia-manusia sekitar kita. Wajah mereka
yang hampir bersedih di hari raya Idul Adha -karena kurang memiliki apa-apa-
langsung berubah ceria setelah mendapat daging kurban. Prinsip disribusi kurban
ini –begitu juga kaffarah haji- merupakan bukti konkrit kepedulian demi
terjalin solidaritas sosial dan kesejahtraan.
Larangan memburu, "menumpahkan"
darah, mencabut pepohonan, dan sekian peraturan saat ihram haji juga banyak
mengandung sisi-sisi sosial-humanis. Larangan ini menyadarkan kita sebagai
khalifah bumi, yang diberi amanah agar berperan memelihara makhluk-makhluk Allah
serta memeberi kesempatan seluas mungkin untuk mencapai tujuan penciptaan-Nya.
Makna tersirat atau bisa kita sebut filosofi
semacam ini perlu dihayati agar ketiga dimensi diatas mampu menghidupkan jiwa
kita, yang telah lama suram. Tanpa memaknai yang tersirat dan filosofinya,
ibadah apapun dan sebanyak berapapun akan menjebak pelakunya di jurang
formalitas belaka tanpa subtansi, bagai tubuh tanpa ruh. Jadi, ukurannya bukan
kuantitas, tapi seberapa kualitas ibadah yang kita hayati.
Dengan demikian, momentum lebaran Idul Adha
di setiap penghujung tahun ini nampaknya memang menuntut kita untuk benar-benar
merefleksikan diri dengan selalu berhaji dan berkurban. Artinya beribadah apa
pun, bukan sekedar memenuhi panggilan Syariat, melainkan karena memang kondisi
riil umat Islam kita yang kini dihadapkan pada berbagai cobaan yang cukup
memprihatinkan.
Atau, jangankan kondisi umat Islam, cobalah
sesekali tengok kondisi diri kita sendiri bersama waktu-waktu yang telah kita
sembelih. Sudah berapa tahun kita habiskan hidup ini? Sudah berapa kebaikan
sekaligus keburukan yang kita kobarkan? Dan, hai. tahun depan tinggal berapa
hari lagi, ya?
Oleh karena itu, sebelum menginjak lembaran
tahun baru yang masih putih-suci, mari kita tak bosan bercermin, meneladani
Nabi Ibrahim, Bunda Hajar, dan Nabi Ismail demi masa depan kita yang lebih
jernih, sejernih air Zamzam.
Dengan cermin plus ketiga dimensi ini, mari
kita ber-"haji" dan ber-"qurban" setiap saat. Semoga!
*) Wakil Ketua Tanfidziyah Pengurus Cabang
Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Yaman periode 2012-2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar