Ambisi
dan Keserakahan
Oleh: Mohamad Sobary
Dalam sastra pedalangan ada
peristiwa ketika Dasamuka merampas umur panjang, yang oleh Dewa sudah
ditakdirkan menjadi milik Batara Rama. Umur bukan benda seperti baju
antisenjata tajam, atau pedang sakti, tapi simbol berkah dan perkenan Dewa.
Berkah
dan perkenan ini yang dijarah Dasamuka dengan menggunakan kekerasan. Dewa
diancam dan Khayangan bakal diporak-porandakan jika Dasamuka dikecewakan. “Umur
panjang itu untukku dan Khayangan aman, atau untuk Rama dan Khayangan kubikin
hancur lebur?” teriak Dasamuka.
Dewa pun
mengalah; dan kita tahu, di sana ada tanda seolah watak angkara yang
dilindungi. Beberapa saat kemudian, sesudah urusan Dasamuka selesai, Rama
menghadap Dewa dan menagih janji tentang umur panjang, untuk mendukung
perjuangannya memelihara kehidupan dan menegakkan keadilan di bumi. Sejenak
Dewa bingung.
Tapi,
Dewa mahakuasa maka kepada Rama, Dewa berkata bahwa meskipun sudah diberikan
pada Dasamuka, Rama diberi jalan dan dilindungi, untuk merebut kembali berkah
Dewa itu.
Di tengah
jalan, Rama menyamar menjadi kakek pikun, tua renta. Tampilannya mengenaskan.
Kulitnya keriput. Ingatannya sudah rusak parah. Sudah lama dia tuli dan matanya
tak lagi mampu melihat dengan jelas. Pendeknya, ingatan, pendengaran dan
penglihatannya hampir tak berfungsi lagi.
Ketika
Dasamuka lewat di depannya, dia tak melihat, tak mendengar, dan tak merasakan
kehadirannya.
Ketika
ditanya - dengan suara keras - di mana anak-anak dan para cucu serta cicitnya,
dia hanya ingat samar-samar bahwa dulu anaknya banyak, cucunya banyak, cicitnya
tak terhitung. Tapi di mana mereka, dia tak ingat. Dasamuka ngeri membayangkan
dirinya, seorang Raja Agung, menjadi pikun, tuli, dan buta. Betapa tak enaknya.
Dasamuka pun
memberikan umur itu kepada si kakek pikun. Mulanya si kakek menolak. Dia
bilang, dalam usianya itu saja dia sudah cukup menderita. Jadi, janganlah
penderitaan itu ditambah lagi. Tapi, Dasamuka memaksa dan akhirnya kakek
menerimanya.
Ketika
Dasamuka melangkah pergi, Rama beralih rupa menjadi dirinya kembali. Dasamuka
yang menengok ke arahnya, marah besar. Dia tak rela menjadi korban tipu
muslihat licik itu. Pertempuran untuk saling membunuh hampir saja terjadi.
Tapi, Dewa turun melerai.
“Kamu
salah, Dasamuka. Kakek pikun tadi tidak meminta, bahkan menolak kau beri umur
itu. Tapi kau memaksanya. Dewa menyaksikan semua kejadian tadi. Kamu yang
salah. Ketahuilah, Dasamuka, sesakti apa pun kamu, tak mungkin kau melawan
suratan takdir. Apa yang ditakdirkan bukan milikmu, dia bukan milikmu,” kata
Dewa.
Dasamuka
bungkam. Perasaannya hampa. Dunia seperti gelap gulita. Perkara “hak” dan
“batil”, “benar”dan “salah”, dalam hidup sering tercampur aduk. Banyak orang
yang tak peduli bahwa langkah-langkah hidupnya mencampuradukkan apa yang benar
dan apa yang salah. Desakan ambisi dan keserakahan dijadikan panglima
kehidupannya.
Di dalam
birokrasi, orang ambisius dan serakah berusaha mati-matian—termasuk
memfitnah—demi meraih cita-cita. Ambisi dan keserakahan dimanjakan. Apa yang
bukan haknya direbut dengan menggunakan mekanisme birokrasi sehingga
seolah-olah tindakannya sah, seolah-olah langkahnya benar.
Orang
macam itu siap menabrak apa saja dan siapa saja. Matanya memang melek, tapi
mata hatinya sudah buta. Dia tak pernah mendengar bisikan hati nuraninya
sendiri; dan itu punya akibat mengerikan. Orang bijak tahu, tiap tindakan buruk
membakar dan menghancurkan dirinya dari dalam. Tapi, orang serakah dan ambisius
tak diberi hak untuk memiliki ilmu hikmah macam itu.
Dasamuka
merupakan contoh terbaik bagi semua jenis keburukan; dan Dewa seolah
membiarkannya? Tidak. Saat itu Dewa berbicara dalam bahasa manusia, khususnya
bahasa Dasamuka, untuk pertama, memberi tahu seluruh dunia bahwa orang tak bisa
menguasai apa yang bukan hak dan bukan miliknya.
Kedua,
Dasamuka dibiarkan merebut apa yang bukan miliknya, untuk mengingatkan bahwa
dia tak bakal kuat memanggul watak angkara murkanya sendiri yang kelewat batas.
Tapi, ambisi manusia sering tak mengenal batas.
Orang
yang kelihatannya lemah lembut dan hidup cukup seadanya, di dalam dirinya
bergolak keserakahan yang tak terlihat; dan gejolak di “dalam” macam itu sering
tak terkendali. Orang banyak bisa dikecoh.
Tapi dia
tahu, dia tak bisa mengecoh dirinya sendiri. Orang yang tampil dalam bahasa
rohaniwan, dan menggunakan idiom-idiom para kiai, jangan buru-buru dianggap
kiai. Soalnya, apa mau dikata bila dia ternyata korup? Orang bijak—orang zaman
dulu—berkata: bahasa menunjukkan bangsa. Maksudnya orang yang berbahasa baik,
dijamin orang baik.
Sebenarnya sudah lama hal itu salah. Sejak
dulu orang bijak juga sudah berbicara tentang “serigala berbulu domba”. Jadi,
kita tak boleh ditipu oleh penampilan yang tertata, oleh sikap yang lemah
lembut, dan kehalusan berbahasa, yang menggambarkan keluhuran budi.
Serigala
berbulu domba bukan hanya mengecoh kesadaran kita, tapi dia berbahaya. Dia
musuh dalam selimut yang bisa membunuh kita semua, tanpa diduga-duga.
Keserakahan singa gurun—yang ganas luar biasa itu—dapat diukur. Tapi,
keserakahan manusia—selembut apa pun tampilan luarnya—siapa yang tahu di mana
batasnya?
Sumber :
Sinar Harapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar