Kisah Rasulullah Mencoret Tujuh Kata
Sepotong sejarah penting dari banyak kisah
perjalanan Islam periode awal adalah perjanjian hudaibiyah. Peristiwa ini tidak
hanya menggambarkan ketegangan militer antara umat Islam dan musyrikin Quraisy
tapi juga jejak diplomasi Rasulullah SAW.
Kesepakatan yang juga dikenal dengan sebutan ”shulhul hudaibiyah” tersebut bermula dari rencana sekitar 1400 pengikut Rasulullah untuk menunaikan ibadah haji. Kaum musyirikin tidak rela. Mereka berupaya menghalangi pintu masuk kota Makkah dengan kekuatan militer yang cukup besar.
Rasulullah yang tidak menginginkan peperangan
pun lantas mengambil jalur perundingan. Hasilnya, pada bulan Maret 628 M atau
Dzulqaidah 6 H, perjanjian hudaibiyah diputuskan, di antaranya menyepakati
adanya gencatan senjata dan kesempatan beribadah umat Islam di Makkah.
Hanya saja, perundingan ini sempat berlangsung alot dan cenderung merugikan umat Islam. Contohnya, muncul penolakan-penolakan terkait dengan sebagian redaksi pembuka perjanjian yang diusulkan Rasulullah, sebagaimana diterangkan dalam kitab Hayatus Shahabat.
”Tulislah bismillahirrahmanirrahim (atas nama
Allah yang maha rahman lagi maha rahim),” perintah Nabi kepada juru tulisnya,
Ali bin Abi Thalib.
”Ar-Rahman? Aku tak mengenal dia,” sahut
perwakilan musyrikin Quraisy, Suhail bin Amr, memberontak. ”Tulis saja bismika
allahumma seperti biasanya!”
Umat Islam yang mengikuti proses perundingan
tidak terima dengan protes ini. Mereka mengotot akan tetap mencantumkan lima
kata yang sangat dihormati itu (bi, ism, allah, ar-rahman, ar-rahim).
”Tulis saja bismika allahumma,” Nabi
menenangkan.
Nabi kemudian menyambung, ”Tulis lagi, hadza
ma qadla ’alaih muhammad rasulullah (Inilah ketetapan Muhammad rasulullah).”
”Sumpah, seandainya kami mengakui Engkau
adalah rasulullah (utusan Allah), kami tak akan menghalangimu mengunjungi
Ka’bah. Jadi tulis saja Muhammad bin Abdullah,” Suhail kembali memprotes.
”Sungguh aku adalah rasulullah meskipun
Kalian mengingkarinya.” Akhirnya Nabi mengabulkan tuntutan musyrikin Quraisy
untuk mencoret dua kata lagi, rasul dan allah. ”Tulislah Muhammad bin Abdullah
saja,” pintanya kemudian.
Menghindari pertikaian dan pertumpahan darah
adalah sikap yang dijunjung tinggi Rasulullah. Perdamaian menjadi prioritas
tujuan, meski isi kesapakatan "mengurangi" kebesaran nama agama pada
tataran simbolis.
Penggalan sejarah ini megingatkan kita pada
sejarah penyusunan asas Pancasila. Demi persatuan dan kerukunan bangsa
Indonesia, Piagam Jakarta yang memuat butir sila pertama ”Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” akhirnya diubah.
Mayoritas ulama dan umat Islam Tanah Air menyepakati pencoretan tujuh kata
dalam butir itu sehingga menjadi ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. []
(Mahbib Khoiron)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar