Ilmu Nahwu sebagai Alat Berdebat
Islam datang ke Bali yang mayoritas Hindu itu
tampil dengan penuh toleransi dan kedamaian, sehingga masyarakat tidak terusik.
Bahkan selama masa perjuangan kedua komunitas agama yang berbeda itu bahu
membahu dalam melawan Belanda.
Tetapi sejak tahun 1934, pulau Bali dijadikan
target gerakan puritanisme yang dikomandoi oleh kelompok modernis Islam.
Beberapa tokoh Islam modernis dikirim dari Solo dan Banyuwangi untuk
menancapkan pengaruhnya dengan cara menyerang habis-habisan tradisi Islam yang
tumbuh di tengah-tengah masyarakat setempat. Slogan taklid buta, bid’ah,
khurafat dan tahayyul pun mereka jadikan platform perjuangan.
Mereka juga tak segan-segan menuduh praktek
beragama ulama dan masyarakat Muslim Bali sebagai bentuk peribadatan yang telah
tercemari oleh perbuatan syirik. Tentu saja masyarakat Islam Bali tidak tinggal
diam dengan tuduhan tersebut. Mereka tidak terima jika faham ahlussunnah wal
jama'ah yang selama ini diwariskan oleh para ulama mereka dituduh menyimpang,
bahkan dianggap mengajarkan ajaran yang sesat. Oleh sebab itu, beberapa kali
tokoh-tokoh modernis diusir karena dianggap meresahkan dan memancing permusuhan
di kalangan masyarakat.
Namun setelah diusir, ada saja utusan baru
yang dikirimkan dan mendekati masyarakat dengan strategi yang berbeda. Hingga
suatu ketika, salah seorang tokoh modernis yang merasa ingin membuktikan
kebenaran ajaran yang dipeluknya menantang para ulama Bali untuk membuktikan
ajaran siapa yang lebih benar melalui perdebatan bukan dengan kekuatan massa
tetapi dengan kekuatan nalar.
Mendengar berita ini, KH Sayyid Ali Bafaqih
yang terkenal sangat tegas segera tampil menerima tantangan dari tokoh modernis
itu. Pada hari dan tempat yang telah ditentukan, kedua tokoh berseberangan
faham itu pun bertemu. Disaksikan oleh masyarakat luas adu argumen pun segera
dimulai. Sebagai bentuk penghormatan, tokoh modernis pun dipersilahkan untuk
terlebih dahulu membuka pembicaraan, memaparkan ajarannya.
Setelah mengucapkan salam dan hamdalah tokoh
modernis tersebut mulai berorasi dengan suara lantang. Tapi baru saja ia
berkata; "Rasulullah bersabda: "Man kana…"
“Behenti dulu… Berhenti dulu!!" teriak
Sayyid Ali Bafaqih memotong pembicaraan dengan suara lebih lantang seraya
mengangkat tangan kanannya. Tentu saja, semua yang ada di tempat kejadian
terheran-heran dan berbisik mengenai tindakan Sayyid Ali tersebut.
Ketika merasa semua orang mulai tenang,
Sayyid Ali Bafaqih pun kemudian berkata: “Sebelum tuan meneruskan sabda
Rasulullah tersebut saya hendak bertanya, ‘man’ itu huruf apa dan dalam
gramatika Arab kedudukan sebagai apa?”
Mendengar pertanyaan yang tidak pernah
disangkanya, tokoh modernis tersebut lantas terdiam. Ia mencoba untuk mengelak
namun Sayyid Ali tidak mau meneruskan perdebatan sebelum mendapatkan jawaban.
Karena sudah sangat terpojok, sang tokoh modernis pun mengaku tidak mengetahui
jawabannya. Tapi ia berjanji akan memberikan jawaban di luar masalah huruf
‘man’.
Setelah mendengar pengakuan rivalnya itu,
Sayyid Ali langsung berkata: “Jangan sekali-kali tuan berani mengartikan
Al-Qur'an dan Hadis Nabi jika tuan sendiri tidak memahami bahasa Arab dengan
benar!”
Akhirnya, dalam perdebatan tersebut, Sayyid
Ali berhasil memenangkan perdebatan nya tanpa harus bersusah payah. Sementara
rivalnya sendiri tertunduk malu dan meninggalkan arena tanpa daya. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar