Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI
Fraksi Partai Golkar
KETERBUKAAN tak hanya melahirkan banyak manfaat, tetapi juga beragam ekses. Hampir semua alat kelengkapan negara dan sistem-nya nyaris gagal mengendalikan ekses keterbukaan. Kini, publik mengerang karena kualitas tindak pidana kriminalitas terus meningkat. Bahkan prajurit Polri di lapangan sekali pun sudah berkali-kali menjadi sasaran aksi pembunuhan.
Dinamika kehidupan yang dibentuk oleh era keterbukaan masa kini melahirkan banyak tantangan baru bagi masyarakat Indonesia di abad ini. Konsekuensinya, tantangan bagi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) pun mengalami perubahan signifikan. Bahkan, sesungguhnya, tantangan bagi Polri terus tereskalasi sejalan dengan dinamika keterbukaan itu sendiri. Berbeda dengan abad sebelumnya.
Hingga penghujung dekade 90-an atau sebelum memasuki Orde Reformasi saat ini, rakyat Indonesia kebanyakan bisa dikatakan menikmati puncak kenyamanan dan keamanan. Pemerintahan Orde Baru yang powerfull dan represif mengambilalih seluruh tanggungjawab keamanan dalam negeri. Segala bentuk gangguan keamanan terhadap dinamika kehidupan masyarakat langsung diberangus. Untuk membangun rasa aman dan rasa nyaman bagi rakyat di ruang public, sejarah mencatat pemerintahan Orde Baru berani menghalalkan penembakan misterius (Petrus) terhadap pelaku tindak kriminal pada paruh pertama dasawarsa 80-an.
Sepanjang era itu, tindak kriminalitas kualitas rendahan memang selalu ada. Bahkan, oknum penguasa pun melakukan kejahatan terhadap negara, termasuk korupsi. Penguasa juga melakukan teror terhadap kekuatan atau elemen-elemen antipemerintah. Namun segala bentuk dan skala kejahatan itu bisa dilokalisir sedemikian rupa sehingga tidak menjadi teror bagi kehidupan rakyat di ruang publik.
Negara tidak boleh dan tidak pernah mau kalah terhadap semua potensi dan anasir yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum. Prinsip dasar ini dipegang teguh oleh penguasa pada era itu, berapa pun harga yang harus dibayar. Negara cq pemerintah memang menjadi sangat sensitif dan cenderung tertutup terhadap segala sesuatu yang berpotensi merogrong kekuasaan dan mengganggu keamanan serta ketertiban umum.
Alergi penguasa terhadap segala bentuk kebebasan memang menimbulkan kekecewaan dan ketidakpuasan. Akan tetapi, pada era itu, selalu ada jaminan keamanan dan kenyamanan terhadap dan di ruang publik. Pemerintahan waktu itu tak segan-segan mengerahkan prajurit ABRI (kini TNI) untuk menangkal, menghalau bahkan meredam berbagai potensi dan aksi gangguan keamanan dan ketertiban umum. Peran prajurit Polri nyaris dinomorduakan.
Memasuki dekade 2000-an, suasana keamanan dan ketertiban umum terasa berubah begitu fundamental. Keterbukaan dan kebebasan menyebabkan ruang publik tidak hanya sangat bising, namun juga memunculkan beragam ekses. Keterbukaan dan kebebasan sering diaktualisasikan atau diasumsikan dengan boleh bertindak semau gue. Dari perilaku anarkis, aksi-aksi yang mengganggu dan merusak kepentingan umum, menghalalkan tindak kekerasan berdarah, meluasnya penyalahgunaan kebebasan berserikat hingga berkembangnya praktik mafia di ruang public.
Disela-sela beragam ekses tadi, lahirlah modus-modus kejahatan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Tidak hanya kejahatan terorisme dengan serangan yang mematikan, masyarakat juga dikejutkan oleh tingginya intensitas perdagangan dan penyelundupan narkoba oleh sindikat internasional yang beroperasi di dalam negeri. Perdagangan dan penyelundupan senjata api (senpi) illegal pun tak terkendalikan sehingga pemilikan dan penguasaan Senpi menjadi sangat mudah saat ini.
Tiba-tiba, kota-kota besar seperti Jakarta dan lainnya berubah menjadi lingkungan cowboy, karena tindak kekerasan dan pembunuhan menggunakan Senpi menjadi sangat marak dan lambat laut tidak lagi mengejutkan. Tak hanya marak di perkotaan, penguasaan dan pemilikan Senpi illegal serta bom rakitan pun banyak ditemui di beberapa pelosok daerah.
Kecepatan Beradaptasi
Seperti itulah gambaran sekilas mengenai tantangan Polri era terkini. Tidak hanya aksi terorisme yang membuat masyarakat mengerang, melainkan juga aksi-aksi kejahatan lainnya yang memuncak dengan rangkaian peristwa penembakan dan pembunuhan prajurit Polri, akhir-akhir ini.
Kalau seperti itu kecenderungannya, patutlah untuk bertanya tentang seberapa cepat Polri mampu beradaptasi dengan semua ekses keterbukaan dan kebebasan itu? Institusi Polri tentu punya versi jawaban tersendiri terhadap pertanyaan seperti ini. Tetapi, pada tempatnya juga jika Polri mau menyimak kesan atau opini publik. Mengacu pada fakta-fakta kejahatan berikut kualitas tindak kriminal yang berkembang hingga saat ini, berkembang kesan di benak publik bahwa Polri relatif terlambat beradaptasi. Bahkan, boleh jadi, cukup kedodoran.
Benar bahwa Polri mencatat kinerja menakjubkan dalam perang melawan terorisme di dalam negeri. Menghadirkan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror merefleksikan kesigapan Mabes Polri beradaptasi dengan tantangan global dan lokal yang mulai mengemuka pada awal dekade 2.000-an. Namun, tantangan yang satu ini belum dituntaskan karena sel-sel terorisme masih berteberan di beberapa tempat. Bahkan, dalam beberapa kasus ledakan bom belum lama ini, justru fasilitas Polri yang menjadi targetnya.
Tidak hanya ancaman terorisme yang menggelisahkan. Maraknya perdagangan dan peredaran narkoba, serta Senpi Ilegal dan bom rakitan di beberapa pelosok daerah pun merongrong keamanan dan ketertiban umum. Kinerja Polri dalam menanggapi dua kejahatan ini dirasakan belum maksimal. Masyarakat bisa melihat dan merasakan bahwa peredaran narkoba cukup leluasa, sementara pasar gelap yang memperdagangkan Senpi illegal terus berlangsung.
Bukan rahasia lagi bahwa pekerjaan memberangus jaringan perdagangan dan peredaran narkoba adalah perang berkelanjutan melawan sindikat internasional. Dengan demikian, sangat jelas bahwa tantangan terkini bagi Polri bukan semata-mata memburu para pengedar yang nota bene berstatus ‘pemain’ kelas teri atau menggerebek para pemakai.
Walaupu sudah berkali-kali polisi dan pihak berwajib lainnya berhasil menangkap pembawa narkoba di sejumlah bandara dan pelabuhan, intensitas penyelundupan narkoba masih tetap tinggi. Itu sebabnya, peredaran narkoba tetap marak di dalam negeri. Karena itu, Polri perlu mempertajam fungsi satuan tugas pemberantasan narkoba yang mampu mendeteksi pergerakan anggota jaringan sindikat narkoba internasional.
Demi melindungi masa depan anak-anak dan generasi muda kita, tugas Polri memerangi jaringan perdagangan narkoba jangan lagi melulu difokuskan di dalam negeri. Oleh karena Indonesia sudah dijadikan target pasar oleh sindikat internasional, sudah waktunya Polri mengerahkan intelijen untuk melakukan pengintaian di luar negeri agar pencegahan di bandara atau pelabuhan menjadi lebih efektif.
Masyarakat juga berharap Polri lebih bersungguh-sungguh memberantas perdagangan Senpi illegal. Rangkaian kasus penembakan dan pembunuhan terhadap prajurit Polri akhir-akhir ini diharapkan lebih memotivasi Polri untuk benar-benar membatasi penguasaan Senpi di tangan warga sipil.
Sangat berbahaya jika penyelundupan, perdagangan dan penguasaan Senpi Ilegal di tangan warga sipil tidak diperangi. Jika semakin banyak orang merasa terancam akibat maraknya penguasaan Senpi illegal, akan semakin banyak pula orang yang terdorong untuk memiliki Senpil illegal untuk melindungi diri. Kalau sudah seperti itu kecenderungannya, keamanan dan ketertiban umum akan semakin sulit diwujudkan.
Belum lama ini, kantor Kepresidenan telah mengirim surat ke Pimpinan DPR tentang pengajuan calon tunggal untuk jabatan Kapolri pengganti Jenderal Timur Pradopo. Calon tunggal itu adalah Komjen Pol Sutarman yang kini menjabat Kabareskrim Mabes Polri. Mudah-mudahan, di bawah kepemimpinan Sutarman, Polri lebih cepat beradaptasi dengan tantangan terkini. Selamat bertugas Jenderal! []
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar