Peran NU Ketika Negara Tak
Bernyali
Oleh: Didik Fitrianto
Pasca meninggalnya KH Abdurrahman Wahid, Gus
Dur, intoleransi semakin meningkat dan semangat kebhinnekaan menjadi barang
yang semakin langkah di negeri ini. Monopoli keyakinan dengan ancaman kekerasan
menjadi menu sehari-hari. Kelompok-kelompok pengusung panji-panji kekerasan
semakin mendapatkan tempat di negeri ini akibat penguasa tidak bernyali dan
lembek.
Yang lebih memprihatinkan simpul-simpul
kekerasan yang mengancam kebhinnekaan justru muncul di kota-kota besar di
Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Makassar dan Yogyakarta. Kekerasan yang
dilakukan mulai dari pembakaran tempat ibadah, pembubaran kegiatan keagamaan,
perusakan makam-makam leluhur, dan pengusiran warga yang berbeda keyakinan,
semua aksi tersebut dilakukan atas nama agama dengan klaim Tuhan merestui aksi
keji tersebut.
Selain aksi kekerasan yang dilakukan mereka
juga mengkampanyekan penggantian ideologi negara secara terbuka dan massif
melalui berbagai media, rapat terbuka, dan penggalangan massa. Semua aksi-aksi
tersebut dilakukan secara bebas karena mereka tahu para penguasa tidak punya
nyali.
Konsensus para pendiri bangsa ini adalah Demokrasi
Pancasila yang di dalamnya ada kebhinnekaan tanpa membedakan warna kulit,
keyakinan, suku dan agama dalam bingkai kesatuan. Di negeri ini semua warga
negara mempunyai hak yang sama untuk menjalankan keyakinannya tanpa rasa takut
karena konstitusi menjamin hak tersebut.
Sayangnya penghianatan mulai dilakukan oleh
anak bangsa sendiri, mereka mengatasnamakan kebebasan berpendapat, dan
berlindung dengan topeng demokrasi yang mereka haramkan sendiri. Pengkhianatan
tersebut dilakukan dengan cara merusak keanekaragaman, memaksakan kehendak dan
kekerasan, dampak pengkhianatan tersebut mulai terasa pada kehidupan berbangsa
yang mulai rapuh dan keropos, saling curiga, pertumpahan darah dan
disintegrasi, rakyat hidup tidak aman lagi di negerinya sendiri.
Indonesia selama ini dikagumi dan menjadi
contoh dalam menjaga kebhinnekaan oleh dunia. Jangan sampai kita sebelah mata
dan dihujat karena membiarkan kelompok-kelompok sektarian menghancurkan
kebhinnekaan, yang lebih menyedihkan hukum menjadi tumpul ketika berhadapan
dengan kelompok tersebut.
Di tengah pesimisme dan keputusasaan akibat
alat negara tidak berfungsi menghadapi kelompok-kelompok radikal, kita masih
bisa berharap kepada NU sebagai benteng terakhir untuk menjaga kebhinnekaan
yang sudah diperjuangkan dengan darah dan air mata.
Kenapa NU? Inilah satu-satunya ormas yang
memiliki keberanian untuk melawan kelompok-kelompok radikal yang akan mencoba
mengganggu kebersamaan dan kesatuan Indonesia. NU berdiri paling depan di saat
ormas Islam lain diam dan takut mengambil tindakan untuk melawan kelompok
radikal tersebut, ormas Islam lain biasanya hanya sebatas mengeluarkan
keprihatinan di saat terjadi kekerasan.
NU tidak hanya siap melawan secara fisik,
perlawanan di mimbar-mimbar diskusi dan seminar baik di dunia maya maupun
secara lansung juga dilakukan untuk melawan pemikiran yang akan mencoba
memonopoli kebenaran untuk merusak kebhinnekaan dan kebangsaan.
Tidak hanya kaum intelektual NU dan para
ulama kharismatik yang melakukan perlawanan, para kiai kampung di pelosok desa
pun tanpa lelah membentengi umat dari racun pemikiran kelompok radikal melalui
majelis-majelis taklim dan pengajian.
Faktanya NU lah yang bergerak cepat untuk
mengambil tindakan di saat kelompok radikal melakukan tindakan kekerasan, kasus
terakhir adalah perusakan makam cucu Sultan HB VI di Yogyakarta dimana organ
NU, Banser akan bertindak tegas dengan memburu para pelakunya apabila aparat
negara melakukan pembiaran terus-menerus terhadap aksi intoleransi.
Indonesia tanpa NU akan menjadi negara yang
penuh konflik sektarian, kelompok-kelompok intoleran akan semakin membabi buta
memaksakan kehendaknya. Pembiaran terhadap aksi-aksi mereka tidak menutup
kemungkinan akan menjadikan negeri ini dalam jurang perpecahan.
Tanpa melebih-lebihkan, Indonesia tanpa NU
adalah negeri tanpa benteng yang bisa diserang dari segala penjuru. Kita patut
bersyukur benteng tersebut masih kokoh berdiri dan tanpa lelah melindungi
Indonesia yang penuh kebhinnekaan. NU tidak bisa kita biarkan bekerja sendiri,
kita ikut bertanggung jawab untuk menjaga republik yang kita cintai ini untuk
tetap kokoh dan penuh warna.
Tanpa mengecilkan peran alat negara, NU
menjadi contoh positif bagi penguasa untuk segera mengambil tindakan tegas
ketika ancaman akan kesatuan terancam. Negara dengan alat kelengkapannya harus
berani dan tanpa kompromi ketika ada kelompok-kelompok yang mencoba memaksakan
keyakinannya untuk memecah belah NKRI. Indonesia adalah rumah besar dengan
berbagai ragam keyakinannya dari sabang sampai Merauke, kita tidak akan
membiarkan rumah besar ini keropos dan ambruk dari serangan badai kelompok
intoleransi, karena kita yakin Pancasila dan NKRI adalah harga mati. []
*Penulis adalah Gusdurian, bekerja di
Wetlands International Indonesia Programme, tinggal di Maumere – Flores-NTT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar