Nasionalisme Elusif
Oleh: Abdul Ghopur*
Belakangan ini bergolak sebuah pertanyaan
kritis di masyarakat, masih berfungsikah imaji kolektif kita sebagai bangsa?
Pertanyaan ini mengemuka karena berturut-turut prestasi buruk kita raih di
dunia; pemenang lomba korupsi, bangsa penghasil teroris, miskin dan lamban
dalam penanganan bencana alam serta negara tidak aman untuk investasi, dan
lain-lain.
Dengan sederet prestasi terburuk tersebut, layakkah kita berbangga menjadi bangsa Indonesia? Tentu saja jawabannya sangat tergantung dari “posisi apa” yang sedang kita jalani sekarang. Jika posisi kita adalah TKI atau pengangguran, maka jelas, Indonesia tidaklah berarti apa-apa. Sebaliknya jika posisi kita adalah koruptor, pengusaha hitam, teroris, pejabat pemerintah, dan para “penjual ayat-penjual agama,” maka jelas, Indonesia adalah negeri sorga.
Sampai hari ini, Indonesia adalah negeri tanpa nasib (fateless nation). Karena itu, walau zaman sudah berganti rupa tetapi perubahan mendasar tak kunjung kita temukan. Kepemimpinan nasional tak jua diisi oleh manusia-manusia yang memiliki sifat kerakyatan, berwatak crank dan asketis-profetik.
Sebaliknya, para pemimpin di negeri ini terlalu takut untuk bertindak secara revolusioner demi penyelamatan bangsa dan rakyatnya. Terlalu sulit menemukan pemimpin yang tindakannya menyempal dari keumuman, berani, tegas, pantang menyerah, dan wibawa. Kita tak memiliki pemimpin yang mencintai kataklaziman: intelektual, spiritual dan kaum miskin. Dengan bahasa lain, kita sedang mengalami krisis kepemimpinan nasional. Padahal, krisis kepemimpinan nasional akan melahirkan penyakit-penyakit turunan lainnya; perekonomian nasional tak kunjung membaik, kemiskinan, pengangguran dan kekerasan (separatis dan teroris) makin merajalela adalah dampaknya.
Fenomena maraknya kembali tradisi kekerasan dan radikalisme di tanah air beberapa waktu terakhir semakin memprihatinkan. Kekerasan atas nama apapun adalah perbuatan yang melanggar hukum dan nilai-nilai humanisme universal. Bangkitnya gerakan radikalisme agama dewasa ini, secara historis sulit dilepaskan dari reaksi negatif atas gelombang modernitas yang membanjiri negara-negara Muslim pada awal abad ke-20.
Pengaruh modernitas ini bukan hanya pada
dimensi kultural, tetapi juga dimensi struktural-institusional, seperti sains
dan teknologi serta instrumen modern lainnya, khususnya pandangan mengenai
kesadaran kebangsaan yang melahirkan konstruksi negara-bangsa modern. Reaksi
tersebut muncul akibat ketidakmampuan kultur masyarakat merespons nilai-nilai
dan norma-norma baru yang diusung gelombang modernitas tadi.
Tidak seperti di negara-negara Eropa Barat di mana kesadaran nasional berakar, tumbuh, dan berkembang dari perlawanan terhadap kekuasaan feodal dan negara absolut, gelombang nasionalisme di Asia, Afrika, dan negara-negara Muslim di Semenanjung Arab, Timur Tengah, lahir justru dari perlawanan terhadap kolonialisme Eropa. Situasi itu tentu saja membawa dampak traumatis sehingga hadirnya ideologi nasionalisme di negara-negara Muslim mengalami ketegangan yang tajam, bahkan perlawanan dari unsur-unsur pembentuknya.
Di samping realitas masyarakatnya yang sangat plural, dipertentangkannya konsepsi negara-bangsa sekuler modern dengan universalisme tatanan berdasar agama, telah mempertajam ketegangan dan benturan politik-ideologis yang menghambat perkembangan kesadaran kebangsaan. Akibatnya, konstruk negara-bangsa modern di negara-negara Muslim umumnya mengalami delegitimasi dan ancaman terus-menerus.
Dus, kondisi ini diperparah oleh krisis yang dialami negara-bangsa sendiri berikut kelemahan-kelemahannya yang mendasar, serta kenyataan akan minimnya basis kultural bagi terbentuknya civil society modern dalam masyarakat. Krisis negara-bangsa umumnya dipicu oleh fakta bahwa ia lebih berperan sebagai “Republic of Fear“, meminjam istilah Samir al-Khalil, yang melakukan pemaksaan dan penyeragaman seluruh entitas etnis dan budaya lokal dalam entitas lain yang bernama “identitas nasional”, hal mana telah mengakibatkan legitimasi negara-bangsa begitu lemah.
Sementara nasionalisme yang ditanamkan negara
pada rakyat masih bersifat elusive/ilusif, semu dan utopis. Ketika
negara-bangsa mengalami peluruhan di pelbagai bidang dan lini kehidupan, maka
ramai-ramai rakyat kecil disuruh menggalakkan semangat nasionalisme. Namun,
ketika negara-bangsa mengalami dan mendapatkan kemakmuran, kesejahteraan,
kemenangan bahkan kejayaanya, nasib kehidupan rakyat kecil dibiarkan terlantar
tak terurus dan mati kelaparan. Justru sebaliknya yang menikmatinya hanya
segelintir orang dan elit ekonomi-politik, pengusaha-birokrat dan kaum
sosialita. Inilah ironi politik dan demokrasi liberal dan nasionalisme yang
dibangun atas dasar ilusi dan utopia belaka. Bahkan, meminjam istilah Daisaku
Ikeda, alangkah kejamnya tuntutan nasionalime terhadap kehidupan orang-orang
kecil!
Sebagai sebuah bangsa besar yang majemuk dan telah berdiri lebih dari 60 tahun lalu, kita seperti kehilangan nalar publik untuk hidup bersama atas dasar semangat kesatuan dan persatuan nasional. Semua persoalan yang terjadi sesungguhnya sinyal lemahnya “ketahan dan kedaulatan bangsa.” Selain itu pula, banyak variabel yang memengaruhi lemahnya ketahanan dan kedaulatan bangsa. Variabel tersebut salah satunya adalah “marjinalisasi” di bidang ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya. Hal ini dapat dibuktikan secara kasat mata dari total tingkat pengangguran terbuka di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada Pebruari 2012 saja tercatat 7,61 juta orang atau 6,32 persen (diunduh dari http://finance.detik.com). Sementara Jumlah orang miskin Indonesia sampai September 2012 saja tercatat 29,89 juta jumlah orang miskin Indonesia. Hanya turun 12,36 persen dari Maret 2012, yaitu 30,02 juta orang miskin (Kompas.Com).
Dari sisi kebudayaan, meluruhnya kebudayaan nasional kita yang secara perlahan tapi pasti tergerus oleh penetrasi budaya asing. Ini terjadi akibat kita tidak lagi berpijak pada budaya dan jati diri bangsa atau bahkan lebih parahnya kita sengaja meninggalkannya sendiri! (Zonder Ideologi). Belum lagi marjinalisasi di bidang politik, hukum dan ekonomi yang secara kausalitas mengakibatkan keotik di bidang sosial. Apa buktinya? Beramai-ramai masyarakat menghimpun diri dalam suatu paguyuban atau kelompok-kelompok kedaerahan atau bahkan keagamaan. Hal ini diyakini bersumber dari ketidak-adilan sosial, budaya, ekonomi, politik dan hukum.
Di dalam ketiadaan keadilan, keamanan dan perlindungan hukum bagi individu untuk mengembangkan dirinya, orang lebih nyaman berlindung di balik warga-tribus (tribalisme, premanisme, koncoisme dan sektarianisme) ketimbang warga-negara. Persoalan ekonomi-politik yang bersumber dari manajemen negara yang korup menyisakan kelangkaan dan ketimpangan alokasi sumberdaya di rumah tangga kebangsaan. Jika aparatur negara hanya sibuk mengamankan kekuasaan dan dapurnya sendiri, maka individu akan segera berpaling ke sumber-sumber tribus sebagai upaya menemukan rasa aman. Di sini persoalan ekonomi-politik yang objektif disublimasikan ke dalam bentrokan identitias yang subjektif.
Inilah problem Indonesia sesungguhnya, tak lain adalah keberlangsungan manajemen negara pasca-kolonial yang tak mampu menegakkan kedaulatan hukum, memberikan keamanan dan keadilan bagi warganya.
Berbicara Indonesia sesungguhnya berbicara sebuah negara besar; terdiri dari beragam etnis, suku, ras, bahasa, agama dan budaya. Spesifikasi dan keunikan Indonesia tersebut merupakan kekayaan bangsa yang patut dibanggakan dan disyukuri, serta harus dijaga sekuat-kuatnya. Oleh sebab itu setiap warga negara–bangsa Indonesia wajib mengelola dan menjaga kemajemukan tersebut agar mendatangkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang damai, harmonis dan sejahtera–berkeadilan.
Namun pada saat yang bersamaan, Indonesia juga masih mengalami persoalan mendasar, yakni merosotnya nilai-nilai kebangsaan, nasionalisme dan semangat kemajemukan sebagai bangsa yang multikultural. Masih saja ada upaya pengingkaran terhadap pluralitas bangsa Indonesia yang setiap saat dapat saja muncul ke permukaan. Sebagai bangsa yang multi etnis, ras, suku, budaya, bahasa dan agama, secara jujur, kita masih belum bisa menghilangkan atau paling tidak meminimalkan apa yang disebut dengan barrier of psikology (batas psikologis/prasangka) terhadap sesama anak bangsa. Itulah yang kerap memunculkan konflik bernuansa SARA di negeri ini baik secara vertikal maupun horizontal. Ini dapat dibuktikan dengan makin maraknya tawuran antar kampung dan pelajar di berbagai daerah. Tawuran yang terjadi kerap kali mengatasnamakan komunitas, nama besar kampung atau sekolah, ras atau etnis bahkan atas nama agama dan Tuhan!
Pertanyaannya, apa sesungguhnya produk terbesar pemerintahan era reformasi? Rasa terasing. Mungkin jawaban ini terlalu berlebihan. Tetapi faktanya, banyak laporan di media bahwa orang-orang mulai terasing dari negara, terasing dari lingkungannya, terasing dari nilai-nilai dasar kemanusiaannya, terasing dan tercerabut dari akar tradisi budayanya. Terasing karena ketidakhadiran pemerintah di tengah deru penderitaan rakyat yang tak kunjung berhenti. Sebab, pemerintah hasil reformasi ternyata belum memiliki rencana besar yang aplikatif buat bangsa ini agar sampai pada cita-cita dasarnya.
Dengan kata lain, pemerintah hasil reformasi tidak layak menyandang gelar pemerintahan yang reformis apalagi pemerintahan yang menegakkan negara amanat dan cita-cita Proklamasi. Gelombang besar reformasi politik seakan baru menghasilkan “mediokrasi/kedangkalan” berpolitik dan “political broker” bengis. Yang terjadi hanyalah satu tindakan pemujaan terhadap kedangkalan dan hal-hal yang remeh-temeh. Pemujaan terhadap sesuatu yang tidak menggunakan pikiran hasil dari pengembaraan batin yang mendalam.
David Hill (1987) menulis bahwa ketika suatu negara lebih berambisi pada menata politik maka nalar harus sadar bahwa “politik” akan selalu menemukan logikanya sendiri. Politik sebagai panglima akan menyeret secara deras membentuk pusaran sentrifugal dengan memakan waktu, tenaga dan pikiran yang terkadang menenggelamkan cita-cita welfare society. Tidak bisa dipungkiri, aroma politik dan demokrasi sangat “menggairahkan” seseorang untuk menikmati sensualitasnya; ketenaran, publisitas dan kekuasaan. Tetapi pada saat yang bersamaan, aroma sensualitas itu akan menyeretnya secara dalam pada persiapan terhadap serangan musuh-musuhnya.
Di sinilah logika; politik untuk politik berlaku. Politik hanya sekadar hitam dan putih saja. Gagasan politik untuk keadilan, ekonomi, kesejahteraan, ketertiban serta kestabilan musnah demikian mudah. Yang tersisa adalah bagaimana kekuasaan dan publisitas dipertahankan dengan segala cara dengan menafikan cita-cita lainnya. Dus, politik tanpa kewarasan seringkali seperti ayah yang memakan anak kandungnya sendiri.
Karena itu, ketika gagasan penguatan politik lewat masyarakat sipil sedang mematrialisasi di tengah rakyat, jutaan warga menanti ragu, adakah masuk kotaknya para pemimpin sipil sebagai pejabat publik membawa berkah atau kutuk? Keraguan ini seakan menjadi gugatan serius karena sejak lima belas tahun setelah geger reformasi mengudara, kelamnya hari-hari masih menyelimuti negeri. Hukum tetap lumpuh, kriminalitas mengganas, korupsi merajalela, pejabat perkaya diri untuk berpesta, gerakan memerdekakan dan memisahkan diri menguat, partai-partai bersatu untuk bercerai, konflik antar civil society mengemuka kembali dan aparatus civil society “habis.” Di seberang lain, rakyat kecil terkena busung lapar, gantung diri putus asa dan miskin tersapu bencana alam; mereka sekedar keluar dari mulut buaya untuk masuk ke mulut harimau.
Agar tak terlalu banyak menghasilkan ironi, kita semua harus sadar bahwa permasalahan yang terus menggerogoti Indonesia adalah kemiskinan sebagai problem yang telah lama menyatu dengan kondisi sosial masyarakat. Di masa Orde Lama kemiskinan tidak sempat diprioritaskan untuk diselesaikan karena pemerintah sibuk membangun politik. Masa Orde Baru, kemiskinan menjadi target utama yang harus diselesaikan lewat pembangunan ekonomi. Masa Orde Reformasi, kemiskinan jadi musuh utama masyarakat. Sayangnya, usaha-usaha pengentasan kemiskinan terhambat dan tidak dapat dilanjutkan karena krisis ekonomi dan proses reformasi serta penerapan ekonomi-politik neo-liberal yang anti rakyat. Akhirnya kemiskinan kini bukannya berkurang, sebaliknya bertambah luas.
Pertanyaannya, akankah bangsa ini mendekati era konsolidasi demokrasi dan kebangsaannya sebagai “jiwa-ruh keindonesiaan” pada pilpres 2014 nanti? Ataukah demokrasi kita menjadi misteri seperti pertanyaan beberapa ahli politik seperti Ali Ikhwan (2008) yang bertanya, “the mistery of democracy: why democracy triumphs in the west and fails everywhere else?”
What must to be done? Beberapa langkah penting harus segara diambil. Langkah yang dimaksud adalah langkah yang mengarah pada perbaikan dan penguatan bangsa di bidang sosial, hukum, budaya, politik dan ekonomi kerakyatan. Semuanya mutlak bersumber dari manajemen negara yang bersih (tidak korup) adil, sejahtera dan merata. Langkah yang dikaitkan juga pada perbaikan, penguatan dan penanaman nilai-nilai nasionalisme bangsa, baik jangka pendek, menengah dan panjang (long term goal).
Agar sejarah bangsa ini martabatif dan segera selesai penderitaan rakyat banyak, negara kita harus direbut kembali dari “kaki-tangan asing neoliberal.” Negara harus dimerdekakan kembali untuk yang kedua kalinya. Karena itu, politik prioritas gerakan perebutan kembali negara (reclaiming state) harus mulai mengembangkan kemerdekaan total dan tidak menjadi hemisphere atau sphere of influence dari politik negara-negara kapitalis. Sebaliknya menjadi penyeimbang yang kuat dan wibawa.
Karena itu, politik baru harus punya cetak biru dan jejak langkah national building yang berkarakter kuat (strong character building) dalam pemihakan pada rakyat. Politik baru harus berangkat dari kesadaran dan usaha untuk menuntaskan hubungan universal-egaliter antara negara dan antara civil society, pembentukan formasi sosial sipil baru, pengentasan kemiskinan (poverty), perluasan pendidikan rakyat (massif education), kemerdekaan baru, penciptaan teks baru, penghilangan perasaan marginal (pariferal syndrom) yang dialami oleh banyak identitas di Indonesia, penegakan hukum dan jaminan rasa aman siang malam.
Untuk itu masyarakat di negara post-kolonial harus memulai dialektikanya dengan mendekonstruksi wilayat teritorial, dekonstruksi personal [anti kultus], dekonstruksi mitos-sejarah dan peniscayaan masyarakat organik, negara adil-radikal, investasi tinggi di bidang sosial, agama yang membebaskan, lembaga-lembaga yang sehat, keberpihakan pada nilai, perdamaian abadi dan penuntasan the Indonesian Dream (cita-cita seluruh rakyat) sebagaimana yang digagas-juangkan oleh para pendiri republik kita dan tercantum dalam Amanat Proklamasi dan Pembukaan UUD-45!
*Penulis adalah Intelektual Muda NU; Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB); Penulis buku “Sumber Daya Alam Indonesia Salah Kelola! Kritik terhadap Pengelolaan SDA Rezim Pascakolonial”, 2012, LTN PBNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar