Yaman yang Tak Pernah Aman
Oleh: Zuhairi Misrawi
Di tengah pandemi, tak pernah pernah terdengar suara-suara kemanusiaan yang memikirkan nasib Yaman. Negeri yang dilanda konflik ini terus berjuang untuk bangkit. Tapi kondisi objektif di lapangan tidak semudah membalikkan kedua belah tangan.
Yaman, dari hari ke hari, kondisinya semakin tidak aman dan tidak menentu. Konflik yang telah berlangsung bertahun-tahun itu menyisakan persoalan serius. Lumpuhnya pemerintahan akibat perseteruan politik antara Yaman Utara dan Yaman Selatan menyebabkan krisis kemanusiaan yang sangat akut. Celakanya, di tengah pandemi pun mereka terus bertempur dengan menggunakan rudal-rudal yang sangat mematikan. Jutaan warga Yaman kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian.
Setidaknya ada 16 juta warga Yaman yang saat ini menderita akibat konflik politik. Dan pada masa pandemi ini, mereka hampir bisa dipastikan lebih menderita, karena tidak ada kepemimpinan yang mampu mengulurkan tangan bagi mereka. Alih-alih memikirkan nasib mereka, Arab Saudi justru mengirimkan rudal-rudalnya yang menyasar warga Yaman Utara yang berafiliasi pada kubu Houthi. Belum lagi bantuan kemanusiaan juga dihambat oleh Arab Saudi dan koalisinya.
Konflik dengan menghujani rudal-rudal di Yaman Utara ini semakin menunjukkan krisis moral dan hati nurani, yang dipertontonkan oleh Muhammad bin Salman. Ia mengira rudal-rudal yang mematikan itu akan menyelesaikan masalah. Padahal yang terjadi justru sebaliknya, rudal-rudal hanya akan menyisakan penderitaan, kesedihan, dan luka.
Sekali lagi, dibutuhkan jiwa yang besar bagi pihak-pihak yang berkonflik di Yaman untuk mengedepankan hati nurani dan nalar kemanusiaan. Arab Saudi dan koalisinya harus memikirkan dampak-dampak terburuk dari hujan rudal di tengah pandemi. Situasinya sangat buruk dan menyedihkan.
Jika mau dan menggunakan hati nurani, Arab Saudi sebenarnya bisa mengambil langkah besar dan terobosan untuk menyudahi konflik dengan cara duduk bareng dan negosiasi. Toh, apa yang terjadi di Yaman pada hakikatnya adalah konflik sesama warga Yaman akibat keterbelahan politik sejak revolusi pada musim semi tahun 2011 lalu, yang berhasil melengserkan rezim Ali Abdullah.
Kehadiran Arab Saudi dalam konflik dalam negeri Yaman, telah membuka luka yang amat dalam, karena negara kaya minyak itu mengubah wajah konflik politik dengan perang sipil, yang menggunakan rudal-rudal buatan Amerika Serikat dan Inggris. Rudal-rudal telah memporak-porandakan Yaman, sehingga negeri itu menjadi "negara gagal".
Muhammad bin Salman (MBS) sebenarnya bisa mengendalikan nafsu politiknya dengan menghentikan serangan mematikan ke Yaman Utara. Toh, warga Yaman Utara juga saudara muslim yang di dalam Islam dilarang untuk diperangi. MBS bisa meredam konflik dengan cara menggunakan media dari negara-negara yang netral, seperti Indonesia untuk mengambil solusi yang lebih rasional.
Namun, nasi sudah menjadi bubur. Sikap kubu Houthi yang dalam beberapa kesempatan juga mengirimkan rudal ke istana Arab Saudi di Riyadh telah menyebabkan situasinya semakin sulit. Akhirnya yang terjadi adalah dialog di antara rudal, bukan dialog dari hati ke hati. Rudal-rudal Arab Saudi ke Yaman Utara berhasil menghancurkan rumah, sekolah, rumah sakit, dan pasar tradisional. Yaman Utara benar-benar lumpuh.
Kubu Houthi juga tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka mengambil langkah yang lebih berani untuk memberikan perlawanan terhadap Arab Saudi. Mereka harus menunjukkan pada Arab Saudi, bahwa mereka tidak bisa disepelekan. Mereka juga beberapa kali berhasil mengirimkan rudal ke jantung kekuasaan Arab Saudi, yang mana hal tersebut merupakan sinyal kuat bahwa Houthi akan terus membalas kebiadaban Arab Saudi.
Semua orang tahu bahwa Arab Saudi saat ini dalam kondisi ekonomi yang juga sedang berdarah-darah. Mereka harus memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai hal untuk sekadar menghambur-hamburkan fulus dengan cara membeli rudal dari Amerika Serikat dan Inggris untuk menghancurkan Yaman Utara. Tapi itulah MBS yang sejak menjadi Putera Mahkota kehilangan rasionalitas dan humanitasnya.
Anehnya, Amerika Serikat dan Inggris yang selama ini konon menjunjung tinggi hak asasi manusia justru dengan alasan keuntungan kapital yang besar akibat jual-beli senjata juga telah kehilangan akal sehat dan kemanusiaannya. Dunia internasional seolah-seolah menutup mata kepala dan mata hati. Mereka melihat apa yang terjadi di Yaman hanya sebagai dongeng belaka.
Padahal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengeluarkan laporan yang langkah dan transparan perihal krisis kemanusiaan yang terjadi di Yaman. Tapi, laporan tersebut hanya menjadi pepesan kosong, yang tidak berhasil mengetuk rasa kemanusiaan warga dunia untuk menghentikan konflik dan perang di Yaman.
Maka dari itu, perlu pemikiran dan terobosan dari warga dunia, khususnya Indonesia dengan cara mendesak agar pihak-pihak yang selama ini menggunakan rudal untuk memperuncing konflik politik di Yaman segera mengakhiri ambisinya. Rudal sampai kapanpun tidak akan menyelesaikan masalah. Yang hanya menyelesaikan masalah adalah musyawarah mufakat di antara pihak-pihak yang berkonflik.
Masa depan Yaman itu hanya akan bisa ditentukan oleh warga Yaman sendiri, yaitu warga Yaman Utara dan Yaman Selatan. Mereka perlu mencari platform bersama yang akan menjadikan mereka bersatu kembali. Lalu, setelah itu mereka sepenuhnya menyerahkan kepada warga Yaman untuk menentukan siapa yang memenangkan pemilihan umum melalui mekanisme demokrasi yang transparan, bersih, dan akuntabel.
Kiranya, sekali lagi, Indonesia dapat berperan aktif dalam melobi Arab Saudi dan koalisinya, serta memulai perbincangan antara Yaman Utara dan Yaman Selatan, maka akan muncul optimisme untuk melihat Yaman bersatu kembali. Yaman membutuhkan perhatian kita semua untuk keluar dari krisis politik dan krisis kemanusiaan, sehingga Yaman kembali menjadi aman dan nyaman. []
DETIK, 18 Juni 2020
Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar