Kamis, 02 Juli 2020

(Ngaji of the Day) Solusi bagi Karyawati Percetakan Al-Qur’an saat Menstruasi

Solusi bagi Karyawati Percetakan Al-Qur’an saat Menstruasi

 

Dunia bisnis tidak mengenal usia, status sosial dan jenis kelamin. Terlepas dari siapa orangnya, profesionalisme adalah hal yang paling utama dalam perekrutan karyawan, tidak terkecuali dalam pekerjaan di bidang percetakan Al-Qur’an. Karena keuletannya, terkadang salah satu perusahaan pencetak al-Quran merekrut karyawan seorang perempuan.

 

Yang menjadi problem adalah ketika karyawati tersebut sedang datang bulan, mengingat kontak fisik dengan Al-Qur’an tidak bisa dihindarkan. Pertanyaannya adalah, bagaimana hukum karyawati yang sedang haidh, menyentuh atau membawa Al-Qur’an dalam rangka menjalankan tugas pekerjaannya?

 

Larangan memegang mushaf bagi orang yang berhadats, termasuk wanita haidh ditegaskan dalam ayat:

 

لَا يَمَسُّهُ إلَّا الْمُطَهَّرُونَ

 

Artinya, “Tidak diperbolehkan memegang Al-Qur’an kecuali orang yang suci (dari hadats),” (Surat Al-Waqi’ah ayat 79).

 

Demikian pula dalam hadits Nabi:

 

لَا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إلَّا طَاهِرٌ

 

Artinya, “Tidak boleh memegang Al-Qur’an kecuali orang yang suci (dari hadats),” (HR Al-Hakim).

 

Keharaman membawa mushaf bagi orang yang berhadats ditetapkan berdasarkan qiyas (analogi) dengan kasus memegang mushaf, dengan pola qiyas aulawi (analogi lebih utama), sebab membawa dinilai lebih parah daripada sekadar memegang, sehingga memiliki hukum yang sama.

 

Dalam madzhab Syafi’i ditegaskan, keharaman memegang atau membawa mushaf tidak dibedakan antara ada penghalangnya atau tidak. Meski memakai sapu tangan, membawa dan memegang Al-Qur’an bagi wanita yang tengah menstruasi hukumnya haram.

 

Dalam kondisi darurat dan tidak memungkinkan bersuci, diperbolehkan bagi orang yang berhadats, termasuk wanita haidh untuk membawa mushaf, seperti mushaf dikhawatirkan terbakar, tenggelam, terkena najis atau berada di tangan non-Muslim yang tidak bertanggung jawab. Dalam kondisi tersebut, diperbolehkan membawa mushaf, bahkan hukumnya wajib sebagai upaya penyelamatan terhadap mushaf.

 

Syekh Khatib Al-Syarbini mengatakan:

 

نَعَمْ يَجُوزُ حَمْلُهُ لِضَرُورَةٍ كَخَوْفٍ عَلَيْهِ مِنْ غَرَقٍ أَوْ حَرْقٍ أَوْ نَجَاسَةٍ أَوْ وُقُوعِهِ فِي يَدِ كَافِرٍ ، وَلَمْ يَتَمَكَّنْ مِنْ الطَّهَارَةِ ، بَلْ يَجِبُ أَخْذُهُ حِينَئِذٍ كَمَا ذَكَرَهُ فِي التَّحْقِيقِ وَشَرْحِ الْمُهَذَّبِ ، فَإِنْ قَدَرَ عَلَى التَّيَمُّمِ وَجَبَ

 

Artinya, “Benar demikian, namun boleh membawa mushaf karena darurat, seperti khawatir atas mushaf dari tenggelam, terbakar, terkena najis atau di tangan non-Muslim, dan ia tidak memungkinkan bersuci, bahkan wajib mengambilnya dalam kodisi demikian, sebagaimana yang disebutkan Al-Imam An-Nawawi dalam Kitab Al-Tahqiq dan Syarhul Muhadzzab. Bila mampu bertayamum, maka wajib dilakukan,” (Lihat Al-Khathib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj, juz I, halaman 56).

 

Mencermati referensi di atas, kasus karyawati di atas, belum bisa memenuhi taraf darurat, sebab tidak berkaitan penyelamatan mushaf. Di sisi lain masih ditemukan lapangan pekerjaan tanpa harus melakukan keharaman memegang atau membawa mushaf. Dengan demikian, menurut madzhab Syafii hukumnya adalah haram.

 

Namun demikian, bukan fiqih kalau tanpa solusi. Dalam kondisi menstruasi dan tuntutan profesi, karyawati bisa mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah yang membolehkan membawa dan memegang mushaf dengan disertai penghalang seperti sapu tangan. Syekh Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur mengatakan:

 

فائدة  قال أبو حنيفة  يجوز حمل المصحف ومسه بحائل

 

Artinya, “Faidah, Imam Abu Hanifah berkata, boleh membawa dan memegang mushaf dengan penghalang,” (Lihat Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur, Bughyatul Mustarsyidin, halaman 51).

 

Demikianlah penjelasan mengenai hukum memegang dan membawa mushaf bagi karyawati percetakan Al-Qur’an. Simpulannya, ia tetap boleh tetap melanjutkan profesinya, dan saat datang bulan, ia berkewajiban memakai sejenis sapu tangan ketika membawa dan memegang Al-Qur’an dengan mengikuti pendapatnya Imam Abu Hanifah. Wallahu a‘lam. []

 

Ustadz M Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pesantren Raudlatul Quran Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar