Jumat, 03 Juli 2020

(Ngaji of the Day) Tidak Hafal, Bolehkah Shalat Subuh Tanpa Qunut?

Tidak Hafal, Bolehkah Shalat Subuh Tanpa Qunut?

 

Pertanyaan:

 

Saya terlahir sebagai Islam dan bapak saya pernah menjadi pengurus ranting NU di Jepara otomatis ajaran yang saya peroleh sangat kental dengan ajaran NU. Kemudian saya bertanya lagi ketika saya mau beribadah shalat Subuh dan saya tidak bisa menghafal doa qunut. Pertanyaan saya apakah shalat saya sah tanpa membaca doa qunut? Sekian terima kasih.

 

(Hamba Allah)

 

Jawaban:

 

Terima Kasih atas pertanyaan yang diajukan. Semoga Saudara senantiasa diberikan keistiqamahan dalam beribadah. Amin ya rabbal ‘alamin.

 

Tentang anjuran melaksanakan doa qunut pada saat shalat Subuh, para ulama sejatinya mengalami perbedaan pendapat. Mazhab Syafi’i dan Maliki berpandangan bahwa melaksanakan qunut pada shalat Subuh merupakan hal yang dianjurkan. Pandangan ini salah satunya berdasarkan hadits riwayat Anas bin Malik berikut:

 

مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا

 

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam senantiasa melakukan qunut pada shalat Subuh sampai beliau meninggalkan dunia” (HR. Ahmad).

 

Sedangkan mazhab yang lain, yakni mazhab Hanbali dan Hanafi, berpandangan bahwa melaksanakan qunut bukanlah hal yang dianjurkan untuk dilakukan pada saat shalat Subuh. pandangan ini salah satunya didasarkan atas dua hadits berikut ini:

 

إنَّ رَسُولَ اللهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانَ لَا يَقْنُتُ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ، إلَّا إذَا دَعَا لِقَوْمٍ، أَوْ دَعَا عَلَى قَوْمٍ

 

“Sesungguhnya Rasulullah SAW tidak berqunut ketika shalat fajar (shalat Subuh), kecuali ketika mendoakan kebaikan atau keburukan untuk suatu kaum” (HR Muslim).

 

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ ثُمَّ تَرَكَهُ

 

“Rasulullah melakukan qunut selama sebulan, mendoakan jelek kepada satu kelompok (salah satu kabilah dari Bani Sulaim) kemudian beliau tidak melakukan qunut lagi” (HR. Bukhari Muslim).

 

 

Nahdlatul Ulama dalam manhaj fikrah-nya sejatinya tidak hanya mengakomodasi satu mazhab saja, namun lebih dari itu. NU menerima pandangan dari empat mazhab secara keseluruhan dalam persoalan amaliyah syariat.

 

Hanya saja, karena jamaah NU mayoritas merupakan penganut mazhab syafi’i, yang menganggap melaksanakan doa Qunut saat shalat Subuh merupakan sebuah anjuran, maka masyarakat secara luas menjadikan hal tersebut sebagai ‘identitas’ tersendiri bagi warga Nahdlatul Ulama.

 

Namun apakah melaksanakan qunut dalam mazhab syafi’i merupakan sebuah anjuran yang bersifat wajib, sehingga shalat Subuh menjadi tidak sah ketika tidak melaksanakan doa qunut?

 

Dalam Mazhab Syafi’i, doa Qunut tergolong sebagai sunnah ab’ad. Yakni suatu kesunnahan yang ketika tidak dilakukan maka tidak sampai membatalkan shalat, tapi dianjurkan menggantinya dengan sujud sahwi. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitab al-Fiqh ala Madzahib al-Arba’ah tatkala menjelaskan tentang sujud sahwi:

 

الشافعية قالوا : تنحصر أسباب سجود السهو في ستة أمور : الأول : أن يترك الإمام أو المنفرد سنة مؤكدة وهي التي يعبر عنها بالأبعاض وذلك كالتشهد الأول والقنوت

 

“Para ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa sebab-sebab sujud sahwi teringkas dalam enam perkara. Pertama, ketika imam atau orang yang shalat sendirian meninggalkan sunnah muakkad yang biasa diungkapkan dengan sunnah ab’ad. Sunnah-sunnah ini seperti halnya Tasyahud Awal dan Qunut” (Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ala Madzahib al-Arba’ah, juz 1, hal. 704)

 

Bahkan, meskipun qunut tidak dilakukan secara sengaja pun tetap tidak sampai membatalkan shalat, dan tetap disunnahkan untuk menggantinya dengan sujud sahwi. Dalam hal ini Syekh Syamsuddin ar-Ramli memberikan penjelasan:

 

المراد بسجود السهو ما يفعل لجبر الخلل وإن تعمد سببه كترك التشهد الأول أو القنوت عمدا

 

“Yang dimaksud dengan sujud sahwi adalah sujud yang dilakukan untuk memperbaiki kekurangan, meskipun kekurangan tersebut dilakukan secara sengaja. Seperti meninggalkan tasyahud awal atau qunut dengan sengaja” (Syamsuddin ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, Juz 5, Hal. 150)

 

Terkait keluhan tentang tidak hafal terhadap doa qunut, sebenarnya bukanlah sebuah persoalan untuk tidak melaksanakan doa qunut pada saat shalat Subuh. Sebab, sebenarnya doa qunut pada saat shalat Subuh sudah dianggap cukup dengan melafalkan doa apa pun yang masih berbahasa Arab, meskipun doa tersebut bukan berasal dari Rasulullah. Seperti yang ditegaskan dalam kitab Fath al-Mu’in:

 

ولا يتعين كلمات القنوت فيجزىء عنها آية تضمنت دعاء إن قصده كآخر البقرة وكذا دعاء محض ولو غير مأثور

 

“Kalimat doa qunut tidak tertentu pada redaksi khusus, sehingga tetap mencukupi atas bacaan qunut dengan membaca ayat yang mengandung doa, ketika doa tersebut diniatkan untuk qunut, seperti halnya pada akhir Surat al-Baqarah. Begitu juga bacaan qunut dianggap cukup dengan membaca doa-doa lain, meskipun tidak bersumber dari Rasulullah” (Syekh Zainuddin al-Maliabari, Fath al-Mu’in, juz 1, Hal. 160)

 

Sehingga, doa qunut sebenarnya sudah cukup dengan melafalkan doa apa pun, meskipun lafal doa qunut yang paling dianjurkan tetaplah doa yang biasa dibaca mayoritas Nahdliyin pada saat shalat Subuh.

 

 

Walhasil, membaca doa qunut pada saat shalat Subuh merupakan bagian dari sunnah ab’ad yang ketika tidak dilakukan maka dianjurkan untuk menggantinya dengan melaksanakan sujud sahwi. Tidak melaksanakan doa qunut pada shalat Subuh tidak sampai membatalkan shalat, meski termasuk mengurangi kesempurnaan shalat Subuh.

 

Alangkah baiknya jika perbedaan pendapat tentang qunut ini tidak sampai mengganggu terhadap keharmonisan hubungan persaudaraan antara saudara sesama Muslim, sebab masing-masing memiliki dalil pijakannya tersendiri. Bagi penganut mazhab Syafi’i agar senantiasa menyempurnakan shalat Subuh dengan melaksanakan doa qunut, terlebih dengan doa ma’tsur yang dianjurkan dibaca tatkala qunut, dengan begitu shalat Subuh akan menjadi lebih sempurna, karena tidak meninggalkan kesunnahan yang bersifat muakkad. Wallahu a’lam. []

 

Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Jember

Tidak ada komentar:

Posting Komentar