Kontemplasi Ramadhan (30)
Sejarah dan Makna Halal bi Halal
Oleh: Nasaruddin Umar
Halal bi Halal adalah istilah bahasa Arab yang tidak difahami orang-orang Arab. Halal bi Halal memang bukan bahasa Arab normal. Kata tersebut berasal dari akar kata halla-yahillu, berarti singgah, memecahkan, melepaskan, menguraikan, mengampuni. Halal bi Halal kini menjadi istilah lain dari silaturrahim. Beda antara keduanya ialah halal bi Halal hanya digunakan untuk mengiringi kepergian bulan suci Ramadhan sedangkan silaturrahim berlaku secara universal, menerobos batas waktu dan tempat.
Asal-usul Halal bi Halal ini bermula ketika anak-anak muda masjid kauman Jogyakarta. Mereka kebingungan mencari tema untuk mewadahi dua moment istimewa. Satu sisi perayaan Idul Fitri sebagai wujud kemerdekaan spiritual dan sisi lain baru saja dilakukan Proklamasi Kemerdekaan RI, seperti diketahui proklamasi Kemerdekaan RI bertepatan dengan sayyidul ayyam: Jum'at dan sayyidus syahr: Ramadhan. Bagaimana supaya kedua peristiwa ini terangkum menjadi satu, lalu diadakanlah sayembara kecil-kecilan untuk menemukan tema yang akan ditulis di dalam spanduk. Saat itu muncur berbagai kreasi untuk memaknai suasana batin Idul Fitri.
Salah seorang seniman mengusung tema Halal bi Halal yang intinya saling memaafkan, saling merelakan, dan saling menghalalkan. Warga yang pernah dikucilkan masyarakat karena terlibat mata-mata Belanda atau penghianat bangsa, diserukan untuk dimaafkan. Momentum Idul Fitri digunakan untuk menggalang persatuan dan kesatuan dalam mengisi kemerdekaan. Sejak itu, Halal bi Halal menjadi popular dan diterima semua pihak, karena berisi pesan intergarasi bangsa. Melalui acara Halal bi Halal jangan lagi ada dendam antara satu sama lain. Lapangkan dada dan hilangkan warna-warni perbedaan lokal di hadapan kebesaran Allah Swt. Semuanya harus bersatu membangun bangsa Indonesia yang bermartabat dan tetap menjunjung tinggi religiusitas bangsa.
Halal bi Halal kemudian menjadi salah satu produk budaya Islam Indonesia dan sekaligus menjadi salah satu "produk ekspor" Indonesia ke manca negara, khususnya di kawasan Asia Tenggara. Di Malaysia berawal dari perkebunan kelapa sawit yang di sana jutaan WNI kita bekerja. Setiap usai lebaran mereka berpindah-pindah dari blok ke blok perkebunan, biasanya berdasarkan asal daerah masing-masing. Lama kelamaan tradisi ini berlangsung di kota-kota yang semula hanya menjadi arena silaturrahim antara sesama WNI. Halal bi Halal ini menjadi familiar di Malaysia dan Brunei. Hal yang sama terjadi juga di negara-negara lain, termasuk di Riyadh, dan Kuwait. Terakhir kepemimpinan Presiden Obama di AS spirit Halal bi Halal ini menghiasi Gedung Putih setiap Hari Raya Idul Fitri. Yang paling terakhir dalam bulan Ramadhan tahun ini, pemerintah New York State mengumumkan liburan resmi setiap Hari Raya Idul Fitri dan Hari raya Idul Adha.
Kini Halal bi Halal menjadi istilah khas dan menjadi budaya Indonesia. Halal bi Halal adalah bahasa Arab yang tidak diketahui maknanya oleh orang-orang Arab. Kalau Halal minal Haram mungkin bisa difahami tetapi Halal bi Halal sebuah kata majmuk yang tidak lazim. Itulah keajaiban Halal bi halal. Hal yang sangat penting dan positif di dalam acara Halal bi Halal ialah menjalin dan lebih mempererat kembali silaturrahim antara sesame umat Islam (ukhuwwah islamiyyah), sesama warga bangsa (ukhuwwah wathaniyyah), dan sesame umat manusia (ukhuwwah basyariyyah). Setelah sebulan penuh kita banyak berkonsentrasi menjalin hubungan dengan Sang Pencipta selama bulan Ramadhan, maka kini kita kembali menjalin hubungan lebih akrab dan lebih harmonis antara sesame warga bangsa, terutama setelah melewati agenda politik berupa Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Melalui Halal bi Halal ini kita bisa melupakan segala kelemahan, kekurangan, dan kekeliruan orang terhadap kita. Kita saling memaafkan satu sama lain dan kita menatap ke depan dengan pemimpin baru dan dengan program baru. Mari kita membuktikan bahwa amaliah Ramadhan kita berhasil meraih predikat "Mabrur" dan "Mabruk" dengan mengubah perilaku kita yang kurang baik menjadi lebih baik. Insya Allah. []
DETIK, 23 Mei 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar