Hati-hati Ancaman Krisis dari Tiga Jurusan
Oleh: Fadli Zon
INDONESIA saat ini tengah menghadapi ancaman krisis
dari tiga jurusan. Jika Pemerintah mengabaikannya, ketiganya bisa membuat kita
jatuh terpuruk sangat dalam.
Ancaman *pertama* adalah krisis ‘New Normal’. Dengan
kampanye ‘New Normal’, secara tak langsung praktik PSBB (Pembatasan Sosial
Berskala Besar) mengalami sejumlah pelonggaran. Mal dan hotel yang sebelumnya
tutup, atau kegiatan perdagangan yang semula dibatasi hanya untuk kebutuhan
pangan, kini telah dilonggarkan.
Saat ini kita sudah memasuki pekan kedua sejak
kampanye ‘New Normal’ pertama kali digaungkan Pemerintah akhir Mei lalu. Di
Jakarta, dua pekan itu jatuh pada hari Jumat kemarin. Bagaimana dampak
kebijakan tersebut terhadap kasus pandemi secara nasional? Kita sama-sama bisa
ukur mulai minggu depan. Yang jelas, sebelum kebijakan ‘New Normal’ saja kita
menyaksikan penambahan kasus positif Covid-19 terus meningkat signifikan,
bahkan melahirkan sejumlah rekor baru.
Semula, rekornya ada di angka 900-an, kemudian
meningkat ke 1.000 kasus, dan pada 18 Juni 2020, tembus ke angka 1.331 kasus
dalam sehari. Semua itu menunjukkan kurva pandemi kita masih terus naik, dan
belum melandai. Dan, sekali lagi, itu masih belum menggambarkan imbas kebijakan
‘New Normal’.
Sejak awal saya menilai kebijakan ‘New Normal’ telah
mengabaikan pertimbangan pandemi, dan lebih banyak didikte oleh kepentingan
pengusaha. Akibatnya, sebelum mengakhiri gelombang pertama pandemi Covid-19,
kita dalam beberapa waktu ke depan mungkin akan segera dihantam lonjakan kasus
yang lebih besar lagi, sebagai ekses kebijakan ‘New Normal’ dua pekan lalu.
Sebagai pembanding, saat ini saja Indonesia sudah
tercatat sebagai negara dengan jumlah kasus Covid-19 tertinggi di ASEAN, dengan
total 45.029 kasus (20 Juni). Jumlah kasus aktif Covid-19 di Indonesia juga
tertinggi di ASEAN. Kalau jumlah tes yang dilakukan Pemerintah memenuhi angka
minimal yang WHO (World Health Organization), yaitu 1.000 tes per 1 juta
penduduk per minggu, tentu akan terjadi peningkatan tajam jumlah kasus Covid-19
di Indonesia.
Saya khawatir, krisis Covid-19 di Indonesia bisa
berlangsung lebih panjang dibanding negara lain. Sebab, bukannya mengatasi
secara tuntas gelombang pertama Covid-19, Pemerintah justru malah menciptakan
risiko baru melalui kebijakan ‘New Normal’.
Kedua, ancaman depresi ekonomi. The Economist
Intelligence Unit dalam publikasinya akhir Mei lalu memproyeksikan pertumbuhan
ekonomi global akan terkontraksi sebesar 4,2 persen. Angka ini jauh lebih
rendah dari proyeksi IMF sebelumnya yang menyebut angka 3 persen. The Economist
juga memproyeksikan 17 negara anggota G-20 bakal mengalami resesi tahun ini.
Selain resesi, sejumlah lembaga dan ekonom bahkan
menyebut krisis yang akan kita hadapi sebenarnya sedang mengarah pada Depresi
Besar (Great Depression) seperti tahun 1930. WTO (World Trade Organization),
misalnya, memperkirakan perdagangan internasional akan turun ke level sangat
rendah, sehingga dunia dapat kembali masuk ke situasi krisis seperti pernah
terjadi pada 1930-an.
Apa yang diperkirakan WTO itu juga serupa dengan
proyeksi IMF (International Monetary Fund). Bahkan, IMF memperingatkan situasi
bakal lebih buruk dari Depresi Besar 1930-an. Prediksi ini berkebalikan dengan
proyeksi yang mereka buat lima bulan lalu. Ketika itu IMF mengeluarkan perkiraan
pertumbuhan pendapatan per kapita positif di lebih dari 160 negara anggotanya.
Kini, mereka memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi global tahun ini akan
tumbuh negatif.
Perekonomian dunia memang sedang mengarah pada
‘negative supply shock’ dan ‘deglobalisasi’, karena semua negara akan berusaha
melindungi perekonomian domestik melalui berbagai skema, mulai dari proteksi,
pengetatan tarif, dan sejenisnya. Pelonggaran pembatasan sosial sebenarnya tak
akan otomatis mengalirkan kembali perekonomian. Sebab, pengangguran sudah
terjadi, deindustrialisasi sudah berlangsung, dan turunnya tingkat pendapatan
masyarakat adalah keniscayaan. Padahal, dalam konteks Indonesia, misalnya,
konsumsi rumah tangga itu menyokong 56,82 persen PDB (Produk Domestik Bruto).
Konsep pemulihan ekonomi oleh Pemerintah memerlukan
peningkatan defisit fiskal yang sangat besar. Melalui Perppu No. 1/2020,
misalnya, Pemerintah telah mematok pelebaran defisit lebih dari 3 persen, yang
dalam realisasinya bisa mencapai lebih dari 5 persen PDB. Padahal, saat ini
tingkat utang publik sudah sangat tinggi. Akhir Mei lalu, jumlah utang
Pemerintah tercatat mencapai Rp5.258,57 triliun.
Sektor-sektor yang terdampak terutama adalah jasa
akomodasi, makanan, perdagangan, manufaktur, dan properti. Di Indonesia,
gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) sudah berlangsung. Menurut data
Kementerian Ketenagakerjaan, lebih dari 1,5 juta orang telah kehilangan
pekerjaan sebagai imbas pandemi. Sebanyak 10,6 persen di antaranya, atau
sekitar 160 ribu orang, kehilangan pekerjaan karena PHK, sedangkan 89,4 persen
sisanya karena dirumahkan. Di sisi lain, pandemi Covid-19 mungkin akan
berdampak cukup panjang. Inilah yang dapat membuat perekonomian global jatuh
terpuruk ke titik yang jauh lebih buruk daripada yang pernah terjadi pada
1930-an.
Ketiga, ancaman perubahan geopolitik global dan
kawasan. Dalam seminggu terakhir, dunia sedang menyaksikan akselerasi konflik
serius di sejumlah kawasan, yang ditandai meletusnya kontak senjata antara
tentara India dan Cina di perbatasan kedua negara, memanasnya kembali
Semenanjung Korea, serta kian meningkatnya aktivitas militer Amerika Serikat
dan Cina di Laut Cina Selatan.
Pekan lalu, misalnya, kapal induk USS Theodore
Roosevelt, USS Nimitz, dan USS Ronald Reagan, sudah hadir di Laut Cina Selatan.
Unjuk kekuatan militer semacam itu sangat tak lazim, setidaknya dalam sepuluh
tahun terakhir, sehingga harus disikapi sebagai penanda bakal ada yang berubah
dalam geopolitik global dan kawasan ke depannya.
Jadi, kita tak lagi hanya menghadapi perang dagang
antara Amerika dengan Cina, melainkan ancaman konflik, bahkan perang, yang bisa
menyeret banyak negara di dalamnya. Sentimen anti-Cina, misalnya, kini sudah
menjangkiti India. Negara-negara seperti Jepang, Vietnam, atau Australia, yang
juga memiliki “masalah” dengan Cina, juga bisa memanaskan sentimen tersebut di
kawasan.
Semua itu akan membuat dunia hari esok mungkin tak
akan sama lagi dengan kemarin. Persoalannya adalah, menghadapi ancaman-ancaman
itu, bagaimana sikap dan di mana posisi Indonesia? Saat negara-negara lain
sedang sibuk mengkonsolidasikan kekuatan militer menghadapi dinamika geopolitik
global, kita harus lebih sensitif terhadap dinamika politik global dan kawasan.
Saya sependapat dengan pernyataan Jeffrey Sachs,
bahwa untuk menghadapi pandemi dan krisis yang menguntitnya, dibutuhkan
kepemimpinan yang cakap. Yaitu para pemimpin yang bisa memobilisasi sumber daya
nasional untuk merespon bencana dan krisis. Hanya pemimpin cakap yang akan bisa
membawa sebuah negara keluar dari krisis dan pandemi. Kecakapan serta karakter
kepemimpinan yang kuat itu, misalnya, kita lihat ada pada Merkel di Jerman,
atau Ardern di Selandia Baru. Terbukti, keduanya berhasil membawa negaranya
mengatasi pandemi dan krisis.
Hal kebalikan kita lihat ada pada Trump di Amerika.
Selain belum bisa mengatasi pandemi, Trump juga gagal merespon secara dini
gelombang protes terkait isu rasialisme di negaranya, sehingga berujung bentrok
dan kerusuhan di banyak tempat. Saya ingin mengingatkan saja, para pemimpin
sekarang sedang diuji. Bagaimana tempat mereka dalam sejarah, sangat ditentukan
keberhasilan mereka mengatasi ancaman tiga krisis tadi. []
KORAN SINDO, 20 Juni 2020
Dr. Fadli Zon, M.Sc. | Anggota DPR RI, Ketua BKSAP DPR RI, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar