14 Kemuliaan Orang Takwa yang Diperoleh di Akhirat
Bila pada kesempatan sebelumnya, telah diuraikan sedikitnya 14 belas kemuliaan
orang takwa yang diperoleh di dunia, maka pada kesempatan kali ini akan
diuraikan kemulian-kemuliaan orang takwa yang akan didapatkan di akhirat.
Kaitan dengan ini, Imam al-Ghazali telah menyebutkan, ada 14 kemuliaan yang
akan diraih orang takwa di akhirat.
Pertama, diringankan dan dimudahkan Allah pada saat sakaratul maut. Sakaratul maut sendiri merupakan sesuatu yang ditakuti para nabi, sehingga mereka senantiasa berdoa agar diringankan saat melewati peristiwa berpisahnya ruh dan jasad itu. Satu riwayat mengatakan, sakitnya dicabut nyawa ibarat dicabutnya sebuah besi berduri dari dalam perut sekaligus. Namun, tidak demikian halnya untuk hamba yang bertakwa. Kembali digambarkan dalam hadis, bagi orang takwa yang saleh, rasanya kematian tak lebih seperti dicabutnya sehelai rambut dari adonan tepung, sedangkan menurut riwayat lain, seperti air minum yang diteguk oleh orang yang sedang kehausan.
Kedua, diberikan keteguhan dalam mempertahankan makrifat dan keimanan kepada Allah. Tanpa keteguhan dari Allah, setiap hamba akan merasakan ketakutan dan kegelisahan yang, bahkan tak jarang berujung kesedihan dan penyesalan yang tiada tara. Keteguhan itu sebagaimana dijanjikan Allah swt. dalam Al-Qur’an, Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, (Q.S. Ibrahim [14]: 27).
Ketiga, diberikan kabar gembira, keridaan, dan rasa aman aman oleh Allah, sebagaimana dalam firman-Nya, Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu, (QS. Fushilat [41]: 30). Artinya, tidak akan ada ketakutan bagi orang yang bertakwa atas apa yang akan dihadapi di akhirat dan apa yang telah diperbuat di dunia.
Keempat, diselamatkan dari pertanyaan dan fitnah kubur. Berbeda dengan orang-orang yang kufur, orang-orang yang takwa seperti diajari dan dituntun dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir. Sebagaimana dalam sejumlah riwayat, pertanyaan pertama adalah tentang Tuhan yang disembahnya semasa di dunia. Pertanyaan kedua tentang agama yang dipeluk. Pertanyaan ketiga tentang rasul yang diutus di tengah umat manusia. Dan pertanyaan yang keempat tentang kitab dan amal-amal lainnya semasa di dunia.
Kelima, dilapangkan di dalam kuburnya, diberikan cahaya penerang, dan ditempatkan dalam salah satu taman surga Allah hingga hari kebangkitan. Salah satu hadis menyebutkan, usai sang hamba menjawab pertanyaan Munkar-Nakir dengan baik, terdengarlah seruan, “Maka hamparkanlah sebuah taman dari surga untuknya. Berilah pakaian dari surga untuknya. Bukalah sebuah pintu ke surga untuknya. Maka datanglah aroma wangi dari surga kepadanya. Dan dilapangkanlah kuburannya sejauh mata memandang.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan yang lain).
Keenam, dimuliakan ruhnya oleh Allah. Menurut satu riwayat, sebagian ruh mereka ada yang disimpan di dalam perut burung-burung khadhir bersama ruh para hamba yang saleh lainnya dalam keadaaan senang gembira atas karunia Allah yang dilimpahkan kepada mereka.
Ketujuh, diselamatkan dari huru-hara Kiamat, dibangkitkan dan dikumpulkan pada hari Kiamat dalam keadaan agung nan mulia, wajah yang bersinar dan berseri-seri, seraya mengenakan pakaian mahkota dan pakaian kebesaran dan dipersiapkan untuk menatap tuhan mereka. Hal ini sejalan dengan firman-Nya, Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat, (Q.S. al-Qiyamah [75]: 22-23).
Kedelapan, diberikan kitab catatan amal dari depan atau dari belakang. Sedangkan, diberikan kitab catatan amal dari arah kiri atau belakangnya merupakan pertanda celaka bagi yang penerimanya. Di antara cara meraih catatan amal dari sebelah kanan setelah berusaha beramal salah adalah memperbanyak berdoa:
اَللَّهُمَّ آتِنِي كِتَابِي بِيَمِيْنِي وَحَاسِبْنِي حِسَاباً يَسِيْراً
"Ya Allah, berikanlah kitab catatan amalku dari sebelah kanan, dan hisablah aku dengan hisaban yang ringan."
Kesembilan, diringankan dalam hisab (penghitungan amal), bahkan sebagian di antara mereka diloloskan tanpa hisab. Di antara faktor yang menyebabkan lamanya hisaban adalah harta kekayaan. Diriwayatkan, Nabi Isa ‘alaihissalam sebagai nabi termiskin, masuk surganya lebih dahulu lima ratus tahun dibanding Nabi Sulaiman ‘alaihissalam sebagai nabi terkaya. Keterlambatan Nabi Sulaiman itu diceritakan oleh Allah sebagai pelajaran bagi umatnya dan umat-umat berikutnya.
Kesepuluh, diberatkan timbangan amalnya, bahkan sebagian di antara mereka diloloskan dari timbangan ini. Semoga saja kita termasuk hamba yang diloloskan dari timbangan amal, setidak-tidaknya diberatkan amal saat melewati timbangan ini. Kaitan dengan timbangan amal, Rasulullah saw. pernah mengajarkan dua kalimat yang dapat memberatkan timbangan amal kebaikan kita, yaitu:
سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ، سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ
Kesebelas, dihadirkan dalam telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan dipersilakan minum airnya, dimana tidak ada seorang pun yang meneguk air itu kecuali tidak akan merasa haus lagi selamanya.
Kedua belas, dimudahkan dan diselamatkan dalam melintasi jembatan al-Shirath. Sementara jembatan al-Shirath sendiri merupakan jembatan yang menghubungkan antara surga dan neraka. Siapa pun yang tergelincir akan terjatuh ke dalam neraka. Sesuai dengan amal masing-masing, manusia yang melintasi jembatan ini ada yang secepat kilat, ada yang seperti berlari, ada yang berjalan biasa, ada pula yang merangkak. Tak hanya itu, bagi orang yang celaka, tajamnya jembatan itu lebih dari mata pedang.
Ketiga belas, diberikan syafaat dari para nabi dan rasul. Sebagaimana diketahui, syafaat terbesar (uzhma) sekaligus syafaat pembuka adalah syafaat Rasulullah saw. Setelah itu, barulah hamba-hamba yang lain diberikan kesempatan untuk memberikan syafaat.
Keempat belas, diberi balasan yang besar, dimasukkan ke dalam surga kenikmatan yang abadi, dan meraih rida Allah, bahkan bisa berjumpa langsung dengan-Nya, dimana kenikmatannya sungguh tak terkira, tak terhingga, dan tak bisa digambarkan kata-kata. (Lihat: al-Ghazali, Minhajul ‘Abidin, [Surabaya: Maktabah Muhammad ibn Ahmad], hal. 104-105). Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar