Kontemplasi Ramadhan (29)
Melestarikan Spirit Idul Fitri
Oleh: Nasaruddin Umar
Banyak versi makna dan terjemahan kata 'Id al-Fithr (baca: Idul Fitri) di dalam masyarakat. Ada yang dapat dipahami dan dapat diterima dan ada pula terlalu jauh memaknainya sehingga keluar dari konteksnya. Dalam kamus Lisan 'Arab, kamus bahasa Arab terlengkap (15 jilid), fitrah (fithrah) berasal dari akar kata fathara-fathran, berarti membelah, merobek, tumbuh, dan berbuka. Dari akar kata yang sama lahir kata fithrah berarti sifat pembawaan sejak lahir, seperti dalam ayat: Fithrah Allah al-ladzi fathara al-nasa 'alaiha (Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu/Q.S. al-Rum/30:30).
Kata Idul Fitri ('id al-fithr) berarti kembali berbuka setelah sebulan penuh berpuasa di siang hari bulan Ramadhan. Bisa juga berarti 'id al-fthrah, kembali ke sifat bawaan kita sejak lahir, yaitu bersih dan suci, setelah sebulan penuh ditempa berbagai amalan Ramadhan. Dari pengertian ini difahami bahwa yang bisa kembali ke fitrah ialah mereka yang telah melakukan berbagai macam upaya pembersihan dan penyucian diri melalui amaliah Ramadhan, seperti puasa, zakat, qiyamullail, i'tikaf, dan berbagai amal sosial seperti sedekah, silaturahim, memberi buka puasa, dan lain sebagainya. Idul Fitri bisa dimaknai kita mudik ke kampung halaman biologis kita. Kita kembali makan dan minum serta berhubungan suami istri. Kita juga mudik ke kampung halaman tempat kelahiran kita, tempat di mana orang tua kita dimakamkan, tempat di mana kita pernah belajar pertama kali mengaji dan mengenal huruf, lalu kita merantau ke berbagai kota.
Sedangkan Idul Fitrah bisa dimaknai kita kembali ke jati diri kita yang paling orisinal dan genuine. Kita kembali kepada keluhuran hati nurani, kembali ke dalam suasana batin paling luhur dan lurus. Setelah sebulan penuh kita detraining secara spiritual maka sekarang kita memiliki energi spiritual baru. Semoga energi baru ini mampu memproteksi kita terhadap berbagai godaan iblis, seperti kembali mengoleksi dosa-dosa langganan, kembali ringan tangan, dan bermulut tajam. Pengertian yang agak jauh ialah memitoskan Hari Raya Idul Fitri sebagai hari pencuci dosa yang sangat efektif. Seolah-olah dengan mengikuti shalat Idul Fitri Allah SWT mengampuni semua dosa dan kita kembali seperti bayi yang baru lahir, sehingga memandang tidak perlu lagi shalat atau puasa, tinggal menunggu Idul Fitri berikutnya untuk bertobat lagi. Ini jelas keliru.
Kita berharap selama sebulan penuh kita melakukan
amaliah Ramadhan menimbulkan dampak positif pada oaring-orang terdekat kita.
Bagaimana pembantu, supir, tukang kebun, satpam, dan karyawan kita merasakan
perubahan di dalam diri kita, misalnya mereka merasakan tuan dan nyonyanya
tidak lagi gampang marah, tidak lagi pelit, tidak lagi ringan tangan, tidak
lagi kasar, dan tidak lagi sombong, dan angkuh. Tetangga juga merasakan adanya
perubahan drastis seusai Ramadhan. Demikian pula suasana batin di kantornya
muncul perubahan drastis pasca Ramadhan. Inilah sesungguhnya yang dinamakan
ramadhan mubarak dan ramadhan mabrur.
Dalam pandangan tasawuf, fitrah berarti kembali ke jati diri yang paling asli. Jika seseorang betul-betul bersih dan pensucian dirinya diterima Allah Swt, maka yang bersangkutan bisa membuka berbagai tabir yang selama ini menghijab dirinya berupa dosa dan maksiat. Ia akan mengalami penyingkapan (mukasyafah). Dengan demikian ia mempunyai kemampuan untuk mengakses alam gaib, minimal alam barzah, yaitu perbatasan antara alam syahadah dan alam gaib.
Orang yang diberi kesadaran mukasyafah bisa merasakan
kedekatan diri dengan Tuhan dan para sahabat Tuhan seperti Nabi Muhammad dan
shalihin lainnya. Ia akan memiliki sahabat-sahabat spiritual sejati, sehingga
ia tidak pernah merasa kesepian. Ia selalu hangat dengan cinta Tuhan. Semoga
tahun ini kita betul-betul diberi kesadaran dan keinsafan penuh sehingga kita
bisa mencicipi mukasyafah. Semoga kita tidak jatuh lagi di lumpur dosa dan
maksiat, Amin ya Rabb al 'alamin. []
DETIK, 22 Mei 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar