Keutamaan Menuntut Ilmu di Tengah Pencegahan Covid-19
Sejak pertengahan Maret 2020 proses kegiatan belajar dan mengajar di madrasah/sekolah dan perkuliahan di kampus secara langsung dihentikan sampai batas yang tidak ditentukan. Tindakan ini diambil dalam rangka berupaya mencegah penyebaran Covid-19.
Selanjutnya ujian nasional pada tahun ini ditiadakan. Bahkan kegiatan para
santri pondok pesantren kebanyakan diliburkan lebih maju dari kebiasaanya,
yaitu minggu kedua bulan Sya’ban.
Kebijakan ini tentu berpegaruh besar terhadap banyak hal mulai persoalan
akademik itu sendiri, aktivitas orang tua di rumah sampai perekonomian di
sekitar tempat-tempat belajar dan bahkan lebih luas lagi.
Para murid/siswa dan santri yang sudah berada di rumah, masihkah wajib belajar?
Dalam Islam mencari ilmu adalah perintah agama, utamanya ilmu tentang hal-hal
pokok yang terkait dengan kewajiban asasi dalam agama seperti shalat dan puasa
maupun kebutuhan hidup sehari-hari, seperti sandang, pangan dan papan untuk
diri dan keluarga.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Artinya, “Dari Anas bin Malik ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Mencari
ilmu sangat diwajibkan atas setiap orang Islam,” (HR Ibnu Majjah).
Pada hadits di atas Rasulullah SAW tidak membatasi tempat maupun waktu/masa.
Sebab orang yang mencari ilmu sudah pasti tidak terhindar dari tempat dan
terjadi di dalam waktu/masa. Madrasah, sekolah, kampus, dan pondok pesantren
adalah salah satu pilihan tempat mencari ilmu.
Tempat-tempat itu tentu dikelola oleh pihak penyelenggara yang sudah semestinya
ada penjenjangan belajar, masa belajar, libur belajar, dan seterusnya. Ilmu
dipelajari bukan sekadar agar mengerti, melainkan harus bertujuan memenuhi
kebutuhan kehidupan sebagaimana halnya kebutuhan rezeki/pangan untuk bertahan
hidup.
Seseorang yang tidak makan atau minum dalam waktu tertentu dapat mengalami
kelaparan bahkan mati. Demikian pula ketika jiwa/hati yang tidak dikasih makan,
yaitu ilmu pengetahuan khususnya ilmu agama, tentu hatinya akan gersang bahkan
lama-lama juga mati.
فَإن
غذاء القلب العلم والحكمة وبهما حياته، كما أن غذاء الجسم الطعام
Artinya, “Sungguh santapan bagi hati (jiwa) adalah ilmu dan hikmah. Sebab keduanya hati menjadi hidup sebagaimana halnya santapan bagi fisik/badan adalah makanan,” (Lihat Jamaluddin Al-Qasimi, Mau’izhatul Mu’minin min Ihya’i Ulumiddin, [Jakarta, Darul Kutub Al-Islamiyyah: tanpa tahun], juz I, halaman 9).
Sepanjang masih hidup, mereka tidak boleh terlepas dari ilmu dan makanan untuk
keberlangsungan hidup jiwa dan raganya. Oleh sebab itu, pemberlakuan social
distancing atau pembatasan gerak masyarakat saat ini bukan alasan untuk
berhenti belajar sebagaimana halnya tidak alasan berhenti makan. Jika
madrasah/sekolahan, kampus dan pesantren memberlakukan masa libur, tetapi
aktivitas belajar/thalabul ilmi tidak boleh libur hingga kematian tiba.
Adapun anak yang masih belum mencapai usia baligh (kira-kira sebelum usia 12-13
tahun) terkait kewajiban belajar menjadi tanggung jawab orang tuanya.
Sebenarnya pihak orang tua yang pertama menanggung kewajiban belajar
anak-anaknya, tidak hanya soal biaya tetapi juga yang mengajarnya.
Sedangkan guru, ustadz, dosen, atau yang lainya menjalankan tugas mengajar atas
dasar fardhu kifayah. Jika kemudian mendapat amanah dari para orang tua
murid/santri, maka kewajiban mereka semakin kokoh karena telah menerima amanah
itu.
Jadi orang tua yang langsung sebagai pengajar anaknya atau para guru, ustadz, dosen dan lainya tentu tidak oleh teledor sebab keteledorannya membuat mereka tidak hanya berdosa melainkan menjadi penyesalan di dunia dan akhirat akibat keteledoran menjaga amanah Allah yang berupa anak/keturunan.
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
« مُرُوا
أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ
عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ
Artinya, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Perintahlah anak-anak kalian mengerjakan
shalat ketika telah berusisa tujuh tahun Hijriyyah dan pukullah mereka karena
meninggalkan shalat ketika usia sepuluh Hijriyyah.” (HR Abu Dawud).
يجب
علي ولي الصبي والصبية المميز أن يأمرهما بالصلاة ويعلمهما أحكامها بعد سبع سنين
ويضربهما علي تركها بعد عشر سنين كصوم أطاقاه
Artinya, “Wali (orang tua atau keluarga) wajib memerintahkan anak yang sudah
tamyiz baik laki-laki dan perempuan agar menjalankan shalat dan mengajarkan
hukum-hukumnya sesudah genap usia tujuh tahun dan memukul mereka karena
meninggalkan shalat ketika usia sepuluh tahun, demikian pula adalah ibadah
puasa di mana mereka sudah mampu,” (Lihat Abdullah bin Al-Husain bin Thahir bin
Muhammad bin Hasyim Ba ‘Alawiy, Sullamut Taufiq,
[Indonesia, Al-Haramain: tanpa tahun], halaman 18).
Syekh Muhammad Nawawi Banten dalam syarah Sullamut
Taufiq menjelaskan, wali adalah kedua orang tuanya yaitu ayah dan
ibunya sampai ke atas sekalipun dari jalur ibu. Jadi jika salah seorang dari
kedua orang tuanya telah melaksanakan kewajiban ini, maka ia telah menggugurkan
tuntutan perintah hadits di atas.
Di sisi lain Syekh Nawawi Banten juga menegaskan bahwa kewajiban dasar orang
tua terhadap anaknya adalah nafkah ketika mereka masih dalam kondisi belum
mampu dari segi harta dan penghasilan,’ (Syekh Muhammad Nawawi, Marqatu Shu’udit Tashdiq,
[Indonesia, Al-Haramain: tanpa tahun], halaman 56).
Tradisi masyarakat Indonesia khususnya Jawa di mana orang tua tetap menanggung
biaya pendidikan anak-anaknya sampai kadang mereka berkeluarga, itu menunjukkan
betapa kegigihan perjuangan orang tua kita dalam mempersiapkan anak-anaknya
agar menjadi generasi yang berkualitas. Oleh karena itu, kita harus
menyadarinya dan jangan sampai hati orang tua kita terluka akibat ulah anaknya.
[]
KH Ahmad Asyhar Shafwan, Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar