Khilafah Literasi
Oleh: Said Aqil Siroj
Membangun peradaban berbasis pengetahuan tampaknya saat ini
jadi kebutuhan mendesak. Fakta kian menguatnya ekstremisme dengan
variannya, seperti intoleransi dan narasi kebencian, telah memicu keprihatinan
sekaligus memacu kepedulian untuk bergerak kembali pada penguatan keilmuan dan
literasi.
Sungguh fakta yang menggiriskan. Berita-berita yang belum jelas
kebenarannya alias hoaks yang diposting seketika secara kalap dikomentari tanpa
refleksi kritis dan tabayun. Ironisnya, tak sedikit kalangan khalayak umum bisa
”mendadak jihadis” dalam menyikapi berita-berita simpang siur tersebut. Hujatan
dan caci maki menghambur terhadap mereka yang berbeda pandang.
Radikal kambuhan
Seorang peneliti bercerita kepada saya. Tuturnya, ada fakta
beberapa eks narapidana teroris (napiter) yang sudah keluar penjara dengan
rentang waktu yang berbeda dan sudah mendapatkan program deradikalisasi
mendadak bagai macan yang terbangun dari tidurnya. Sontak dia menjadi ”galak”
kembali akibat mencuatnya ”isu panas”. Semangat jihadnya membara.
Pada sebuah grup Whatsapp, secara sarkastik para eks kombatan ini menyemburkan
kata-kata hujatan keji, tanpa kendali. Bahkan, mereka menulis siap
melakukan amaliyat demi
membela keyakinannya yang dipandangnya telah dinista dan dizalimi. Mereka juga
saling mengajak anggota grup medsos lainnya yang sama-sama eks napiter untuk
berjihad kendati harus mati demi mencari syahid.
Pola paham radikal terbukti makin menemukan momentumnya ketika
teknologi informasi, seperti internet, jadi alat komunikasi populer di tengah
masyarakat. Melalui internet, kelompok radikal bisa menebarkan pahamnya.
Demikian juga serbuan hoaks telah jadi pemandangan yang begitu menyeramkan
hingga tidak sedikit yang jadi korban. Masyarakat pun terpolarisasi. ”Sel-sel tidur”
radikal pun terbangun lalu menebar amarah.
Harus diakui, eks napiter tergolong kelompok yang masih rentan
dengan persebaran informasi di dunia maya. Indoktrinasi dari mentornya saat
mereka masuk jaringan radikal tak serta-merta hilang kendati mereka sudah
menjalani hukuman di penjara. Mereka itu masih ”kuat” isi kepalanya dari
doktrin radikal sehingga akan mudah ”membara” jika membaca tulisan-tulisan di
internet yang menyeru pada radikalisme. Bacaan yang beraroma radikal, baik
melalui internet maupun buku-buku radikal, bisa jadi ”pengingat kembali”
pikiran radikalnya. Lagi-lagi, ini bukti betapa sangat minimnya mereka membaca
sehingga yang muncul lebih pada ”emosi” tanpa didasari penalaran yang ilmiah,
mendalam, dan kritis.
Demikianlah, fakta ini kian menyadarkan bahwa ideologi, menyitir
Ranya Ahmed (2018), memiliki pengaruh yang kuat yang dapat menjelaskan tindakan
individu dan kelompok. Terpatri diktum ”ideologi menetapkan siapa musuh”.
Ideologi memiliki pembenaran panjang untuk tindakan politis. Pandangan dunia
memiliki keputusan dan tindakan yang dipandu, baik dengan kekerasan maupun
tanpa kekerasan.
Jalur sipil
Menandingi fakta ekstremisme ini, kita tetap butuh deradikalisasi.
Deradikalisasi yang sukses—mengutip hasil penelitian Ian Chalmers dalam Countering Violent Extremism in
Indonesia (2017)—lebih mungkin penekanan ditempatkan pada
tindakan berbasis masyarakat. Masyarakat lebih ”bertaring” dibandingkan dengan
aparat atau instansi pemerintah. Deradikalisasi yang dilakukan oleh kekuatan masyarakat
lebih mudah mendekati eks jihadis dan kalangan terpapar radikal, lalu mengajak
mereka berkawan, selanjutnya melakukan kegiatan yang bermanfaat.
Karena itu, deradikalisasi tak sekadar dilakukan ”sekali pukul”,
lalu kembali senyap. Seperti halnya para eks napiter, sejatinya mereka hanya
berhenti sejenak: ketika ada hal-hal yang memungkinkan mereka terjun, tak
mustahil mudah dilakukan.
Sejauh ini, berbagai program deradikalisasi dilakukan lebih pada
kebijakan top down.
Kebijakan dari pemerintah atau lembaga terkait lebih tampak dilaksanakan secara
imperatif. Sementara program yang bersifat bottom up belum terlalu banyak
diwujudkan. Terutama juga program yang diinisiasi oleh para eks napiter
sendiri.
Munculnya pendekatan literasi khusus eks napiter, seperti
dilakukan sebuah LSM di Jakarta, dengan membentuk Rumah Daulat Buku (Rudalku),
bisa menjadi pionir deradikalisasi dengan jalan inovatif yang diharapkan mampu
menjadi salah satu andalan dalam ikut menanggulangi terorisme di Indonesia.
Pendekatan literasi ini dapat dibaca muncul sebagai kritik atas
pendekatan yang selama ini digunakan untuk deradikalisasi yang tidak menyentuh
”isi kepala” dan tak sadar malah mengabaikan potensi eks napiter sebagai
manusia yang suatu saat bisa berubah. Sebaliknya, selama ini pendekatan
deradikalisasi justru terlihat lebih menjadikan eks napiter sebagai ”tubuh
tanpa jiwa” yang hanya melakukan ”ritual-ritual” kelaziman tanpa menumbuhkan
kesadaran pada mereka untuk didorong jadi mobilisator.
Inilah potret gerakan jalur sipil. Kalangan civil society terbukti
melakukan serangkaian aktivitas yang belum atau tidak dilakukan negara dalam
kaitannya sebagai institusi yang melayani kepentingan masyarakat luas, atau
paling tidak menjadi wacana alternatif di luar aparatur birokrasi negara dalam
menjalankan program deradikalisasi. Dalam situasi saat ini dan masa depan,
peran aktor non-negara semakin diakui dan nyata, yang bisa saja memiliki
kekuatan yang dapat menyaingi kekuatan negara.
Ekstremisme telah menjadi ancaman serius bagi negeri kita.
Penyakit ini bisa menjangkiti siapa pun yang lalu menumbuhkan sikap
keberagamaan simbolik yang kering dari penghayatan spiritual. Nah, ikhtiar yang
perlu dikedepankan, kita perlu kembali membudayakan ”tradisi ilmiah”.
Literasi cerdas
Tradisi inilah yang melahirkan peradaban luhur dalam sejarah
pergulatan umat manusia membangun dunia kehidupan kendati harus bertarung
dengan segala bentuk kepicikan dan dogmatisme kala itu. Sebuah peradaban yang
membuahkan keadaban adiluhung (tsaqafah
al-ulya), seperti pula pernah mewujud pada masa gemilang peradaban
Islam. Pada masa itu, betapa tradisi berpikir kritis berbasis ilmu pengetahuan
benar-benar mewarnai kehidupan masyarakat. Segala isu atau kabar harus ada
riset (kullu muddaÍn
mumtahan). Lahirlah banyak sosok dalam berbagai bidang, sebut
saja al-Ghazali, Syafi’i, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, dan banyak lagi
lainnya.
Para ulama ini lebih memilih ”jalan sunyi” untuk melakukan riset
dan menulis berjilid-jilid kitab. Al-Ghazali, misalnya, meletakkan jabatan
akademiknya dan lebih memilih menyepi (uzlah)
untuk membaca dan menulis. Teladan sikap yang tak mau tampil jemawa menjadi
”hero” atas nama solusi atas masalah sosial-politik secara selebrasi dan
kolosal. Tak heran pula, saat itu banyak terbangun perpustakaan besar,
seperti Baitul Hikmah di Baghdad. Para khalifah berlomba membangun perpustakaan
serta majelis ilmu dan lembaga riset. Fakta inilah layak saya sebut ”khilafah
literasi” yang mencerdaskan masyarakat.
Dari ”kekhilafahan literasi” ini, berlaku tradisi dalam mengolah
pengetahuan harus dilalui begitu ketat (taftisy).
Kita ambil contoh, petualangan Imam Bukhori, periwayat hadis yang tepercaya (tsiqoh) dalam mengumpulkan
hadis hingga menyeleksinya. Dia menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk
meriwayatkan hadis hingga wafatnya di usia 61 tahun di Samarkand.
Berabad lamanya telah mewarta ”tuntutan langit” agar kita mau ”iqra”, membaca secara
holistik. Tuntutan mulia ini perlu dibumikan melalui mobilisasi bersemangat
militansi tinggi untuk mendidik dan mencerdaskan masyarakat. Dengan begitu,
siapa pun tidak lagi mudah terpancing oleh berita dan pengetahuan ekstrem
karena terbentengi tradisi literasi cerdas. []
KOMPAS, 8 Desember 2018
Said Aqil Siroj | Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar