Beda Identitas Bukan
untuk Intoleransi
Judul Buku
: Antologi Kisah Orang Muda untuk
Perdamaian
Penulis
: Fatimah Zahrah & M. Ahsan
Ridhoi
Penerbit
: Wahid Foundation
Cetakan
: Pertama, 2017
ISBN
:
978-602-7891-06-7
Peresensi
: Abdullah Alawi
Bapak Taipei mama
Indramyu
Dia sendiri mirip
gadis Turki
Mengaku lahir di Los
Angeles
Potongan syair di
atas merupakan lirik lagu berjudul Mucikari karya Doel Sumbang. Syair itu
merupakan tren zaman globalisasi yang meniscayakan orang bertemu, berkomunikasi
dengan orang tanpa batas negara semudah membalikkan tangan. Beragam media siap
memfasilitasinya. Kata orang, dunia makin sempit, sehingga pernikahan
antarbangsa dan antarnegara mudah terjadi. Hasil pernikahan tersebut
menyebabkan anaknya memiliki identitas yang terpecah, terfragmentaris. Hasil
pernikahan orang Indramyu dan Taipei melahirkan anaknya di Los Angeles itu
melahirkan gadis berparas Turki.
Anak itu akan merujuk
suku bangsa mana? Ibunyakah (Sunda)? Ayahnyakah (Tionghoa). Atau tak memiliki
identitas? Karena itulah sebagian kalangan ada yang menyatakan identitas adalah
sesuatu yang terus berubah dan terus berubah. Bahkan jenis kelamin. Tak sedikit
orang yang berubah dari pria menjadi wanita. Bahkan sebaliknya. Ini merupakan
konsekuensi dari teknologi yang terus berkembang.
Terlepas dari itu
semua, fakta yang tak bisa dibantah adalah identitas itu demikian banyaknya.
Mungkin sebanyak manusia itu sendiri. Cuma di antara mereka ada yang beririsan
dengan identitas orang lain, semisal sama satu bangsa, satu bahasa, satu
negara, satu agama, dan yang lainnya.
Tentang ragam
identitas tersebut, Allah berfirman dalam Al-Qur’an.
“Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Qs. al-Hujurat: 13).
Namun, fakta yang tak
bisa dibantah juga, karena perbedaan identitas itu ada pihak yang tergoda,
dalam kadar ekstrem memusnahkan identitas yang lain dengan genoside misalnya.
Dalam bentuk terkecil adalah pengucilan.
Di Indonesia, negara
dengan 17000 pulau, 300 lebih suku bangsa dan 210 juta penduduk, penyingkiran
dan pengucilan atas satu identitas terhadap identitas lain sangat berpotensi
terjadi. Bukan potensi lagi, tapi kerap terjadi. Terutama kalangan minoritas.
Tak sedikit warga yang mengalami intoleransi oleh sesama warga atau bahkan
pemerintah.
Pengalaman
mendapatkan intoleransi terdokumentasi pada Antologi Kisah Orang Muda Untuk
Perdamaian. Buku ini merupakan kisah nyata dari 12 anak muda di tiga daerah
yaitu Cirebon, Tasikmalaya, dan Sukabumi. Ke-12 anak muda itu tentu saja
memiliki latar belakang berbeda, ada yang Syi’ah, Ahmadiyah, Ahlussunah. Ada
juga yang berpindah identitas dari agama Islam ke Katolik.
Mereka yang minoritas
mengalami intoleransi sejak kecil yang menyisakan trauma di masa dewasanya.
Seperti yang dialami Sida (hal 114-123). Di buku ini, tentang Sida diberi judul
Ingatan-Ingatan Sida. Kisahnya dimulai dengan ingatan masa kecilnya. Tiada lain
adalah ingatan tentang kecemasan. Pada 2007 misalnya, ia melihat sekelompok
orang menyerang masjidnya. Peristiwa itu kemudian menjadi jalan pembuka bagi
teman-temannya di SD untuk bertanya. Namun, pertanyaan-pertanyaan itu pun
membuat Sida tertekan. Hingga kemudian, ia menyadari identitasnya tidak
diterima teman-temannya.
Anak muda yang
seidentitas dengan dia, Aulia, di Kuningan, juga mengalami hal serupa pada
kisah Kampung Tanpa KTP (hal 48-57). Ia lebih berat lagi kadarnya. Tak diterima
identitasnya oleh pemerintah. Orang sekampungnya, yang identitasnya sama, tidak
mendapatkan hak atas KTP elektronik. Karena benda itu adalah dasar pegangan
tiap warga, akibatnya orang sekampung itu tak bisa mendapatkan akses lain
semisal rekening bank, BPJS, dan lain-lain.
Di sisi lain, buku
ini juga menampilkan anak muda dari kalangan mayoritas melakukan
inisiatif-inisiatif pengikisan intoleransi, dan menampilkan bahwa agamanya
tidak mengajarkan sikap seperti itu, misalnya Ahmad Hadid di Cirebon. Ia ingin
mengubah citra Islam agama teroris. Islam agama perdamaian.
Islam menurut saya
tidak melakukan kekerasan. Islam itu rahmatan lil alamin. Ya, saya tidak mau
agama saya dicap begitu. Saya ingin membuktikan agama agama ‘Islam itu teroris’
salah!
Hadid yang masih
berstatus mahasiswa jurusan matematika di Cirebon itu kebetulan senang dengan
pemrograman. Ia mengupayakan aplikasi android game toleransi. Anak muda lain,
Neneng, menyampaikan toleransi melalui seni. Gugun melalui profesinya sebagai
guru dan lain-lain.
Buku ini cocok untuk
dibaca anak muda lain sebagai bahan refleksi dan perbandingan. Sebagai cermin,
untuk lebih peka dengan tidak turut melakukan intoleransi, tapi justru toleran.
Buku ini ditulis dengan kalimat-kalimat sederhana dan mudah dipahami. Disusun
secara berkisah. Tak hanya itu, buku ini juga dikemas dengan gaya anak muda
sekali, ada warna-warna ngejreng. Huruf-hurufnya nyaman di mata. Diawali quote
dengan huruf-huruf besar. Serta gambar-gambar ilustrasi dengan kartun. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar