Al-Islam:
Din wa Ni'mah wa Rahmah (II)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Tetapi
tuan dan puan jangan salah paham seolah-olah saya mau menjauhkan Islam dari
kekuasaan, sekalipun ajaran tentang kekuasaan itu sangat minim dalam Alquran.
Mungkin hanya ayat 41 Surah al-Hajj (madaniyah) yang langsung berbicara tentang
penguasa dan kekuasaan dengan serangkaian tugas utama.
Kita
kutip makna ayat itu: “Dan mereka yang sekiranya Kami beri kekuasaan di muka
bumi, niscaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat, dan menyuruh
[manusia] berbuat kebajikan dan melarang [mereka] berbuat kemungkaran. Dan
milik Allah-lah akibat segala urusan.” Alquran menggunakan ungkapan “in
makkannâhum fî al-ardh” (sekiranya mereka diberi posisi yang kokoh di bumi,
artinya diberi kekuasaan).
Perkataan
“makkana” adalah bentuk kedua dari kata kerja makuna yang bermakna menjadikan kuat
pengaruh, membangun dengan kokoh, memberi kekuasaan. Makna terakhir inilah yang
langsung berkaitan dengan sistem kekuasaan, seperti yang kita lihat dalam
bentuk negara pada era modern.
Dalam
ayat di atas, sistem kekuasaan itu harus punya tujuan yang jelas, yaitu:
menjaga hubungan menaik dengan Allah (shalat), memelihara hubungan mendatar
dengan masyarakat luas (zakat), menyuruh manusia berbuat kebajikan (al-ma’rûf),
dan mencegah kemungkaran, kejahatan, kerusakan (al-munkar).
Untuk
mencegah kemungkaran menjadi tidak mungkin tanpa kekuasaan yang nyata. Dan
itulah negara pada era modern.
Semua
tugas ini, sesuai dengan definisi Islam yang kita tawarkan, harus berujung
dengan meratanya 'anugerah/nikmat dan rahmat' untuk semua makhluk, tanpa
kecuali. Sekiranya semua gerakan Islam yang saling bersaing sekarang ini
memahami substansi agama yang mereka perjuangkan sejalan dengan definisi di
atas, maka keadilan, kebersamaan, keamanan, kenyamanan, dan keadaban pasti akan
menjadi kenyataan.
Gerakan-gerakan
radikal, bahkan teror, dengan teologi kebenaran tunggal yang mereka anut dalam
perspektif definisi Islam ini rasanya sudah menyimpang terlalu jauh, seperti
jauhnya langit dan bumi.
Inilah
salah akibat buruk jika definisi Islam itu adalah “agama dan negara",
sebagaimana yang mewabah sekarang ini di berbagai belahan dunia. Di tangan
penganut paham ini, Islam telah berubah menjadi monster yang menakutkan, bukan
lagi sebagai sumber perdamaian, keadilan, keadaban, dan keserasian.
Akan lain
situasinya jika sistem kekuasaan itu berpedoman kepada ajaran moral Islam dalam
mengurus negara, sehingga perilaku penguasa dapat diawasi untuk tujuan-tujuan
bagi tegaknya keadilan sebagai wujud anugerah dan rahmat Allah untuk semua
makhluk.
Namun,
yang dipamerkan selama ini adalah kebalikan dari itu. Kekuasaan telah
memperalat agama untuk tujuan-tujuan duniawi rendahan dengan 'menyeret' nama
Tuhan secara biadab. Gerakan-gerakan radikal yang meluluhlantakkan beberapa
negara Arab adalah bukti telanjang dari apa yang kita sebutkan ini.
Bagi
saya, ideologi politik yang bersumber dari Wahhabisme, Khilafatisme, Salafisme
kontemporer adalah produk dari peradaban Arab yang sedang jatuh dan membusuk.
Tetapi, mengapa sebagian orang masih juga membelanya? Di sinilah keajaiban itu
terletak.
Banyak
orang tidak bisa membedakan mana Islam yang sejati dan mana pula Arabisme yang
sedang merapuh itu. Khusus mengenai Wahhabisme yang diekspor oleh Arab Saudi
dengan topangan petro-dolarnya ke seluruh dunia, akhir-akhir ini sudah semakin
menampakkan wataknya yang destruktif.
Serangan
terhadap Yaman yang membawa malapetaka atas rakyat yang tak berdaya dan
pembunuhan brutal terhadap Khashoggi adalah fakta keras yang tidak dapat
dibantah bahwa penguasa Saudi adalah penguasa zalim atas nama Tuhan. Artikel
Prof. Khaled Abou El Fadl dalam New
York Times, 12 November 2018 di bawah judul “Saudi Arabia Is
Misusing Mecca” dengan tajam telah membeberkan peran penguasa Saudi dalam drama
Khashoggi yang menghebohkan jagat raya itu.
Sekiranya
Presiden Trump tidak menjamin keamanan Saudi, tidak mustahil kerajaan ini akan
berantakan dalam tempo yang tidak lama. Ada keanehan di sini: Amerika menyerang
terorisme di mana-mana, tetapi penguasa Saudi dengan topangan Wahhabisme
sebagai salah satu sumber teologis terorisme malah dilindungi. Inilah sebuah
logika yang kacau balau, tetapi untuk kepentingan politik dan ekonomi, semuanya
dicari pembenarannya.
Akhirnya,
proyek al-Islâm: dîn wa daulah
dalam praktiknya selama puluhan tahun hanyalah semakin membawa negeri-negeri
Muslim kepada kehancuran dan kegagalan. Maka saya mengusulkan definisi yang
lebih berdasarkan Alquran: al-Islâm:
dîn wa ni’mah wa rahmah (Islam: agama, anugerah dan rahmat).
Dengan
definisi yang segar dan manusiawi ini siapa tahu dunia Muslim akan punya
kepercayaan diri yang lebih mantap karena agama yang dianutnya adalah untuk
menebarkan nikmat dan rahmat bagi alam semesta, dalam teori dan praktik. []
REPUBLIKA,
18 Desember 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar