Kamis, 20 Desember 2018

Buya Syafii: Al-Islam, Din wa Ni'mah wa Rahmah (II)


Al-Islam: Din wa Ni'mah wa Rahmah (II)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Tetapi tuan dan puan jangan salah paham seolah-olah saya mau menjauhkan Islam dari kekuasaan, sekalipun ajaran tentang kekuasaan itu sangat minim dalam Alquran. Mungkin hanya ayat 41 Surah al-Hajj (madaniyah) yang langsung berbicara tentang penguasa dan kekuasaan dengan serangkaian tugas utama.

Kita kutip makna ayat itu: “Dan mereka yang sekiranya Kami beri kekuasaan di muka bumi, niscaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat, dan menyuruh [manusia] berbuat kebajikan dan melarang [mereka] berbuat kemungkaran. Dan milik Allah-lah akibat segala urusan.” Alquran menggunakan ungkapan “in makkannâhum fî al-ardh” (sekiranya mereka diberi posisi yang kokoh di bumi, artinya diberi kekuasaan).

Perkataan “makkana” adalah bentuk kedua dari kata kerja makuna yang bermakna menjadikan kuat pengaruh, membangun dengan kokoh, memberi kekuasaan. Makna terakhir inilah yang langsung berkaitan dengan sistem kekuasaan, seperti yang kita lihat dalam bentuk negara pada era modern.

Dalam ayat di atas, sistem kekuasaan itu harus punya tujuan yang jelas, yaitu: menjaga hubungan menaik dengan Allah (shalat), memelihara hubungan mendatar dengan masyarakat luas (zakat), menyuruh manusia berbuat kebajikan (al-ma’rûf), dan mencegah kemungkaran, kejahatan, kerusakan (al-munkar).

Untuk mencegah kemungkaran menjadi tidak mungkin tanpa kekuasaan yang nyata. Dan itulah negara pada era modern.

Semua tugas ini, sesuai dengan definisi Islam yang kita tawarkan, harus berujung dengan meratanya 'anugerah/nikmat dan rahmat' untuk semua makhluk, tanpa kecuali. Sekiranya semua gerakan Islam yang saling bersaing sekarang ini memahami substansi agama yang mereka perjuangkan sejalan dengan definisi di atas, maka keadilan, kebersamaan, keamanan, kenyamanan, dan keadaban pasti akan menjadi kenyataan.

Gerakan-gerakan radikal, bahkan teror, dengan teologi kebenaran tunggal yang mereka anut dalam perspektif definisi Islam ini rasanya sudah menyimpang terlalu jauh, seperti jauhnya langit dan bumi.

Inilah salah akibat buruk jika definisi Islam itu adalah “agama dan negara", sebagaimana yang mewabah sekarang ini di berbagai belahan dunia. Di tangan penganut paham ini, Islam telah berubah menjadi monster yang menakutkan, bukan lagi sebagai sumber perdamaian, keadilan, keadaban, dan keserasian.

Akan lain situasinya jika sistem kekuasaan itu berpedoman kepada ajaran moral Islam dalam mengurus negara, sehingga perilaku penguasa dapat diawasi untuk tujuan-tujuan bagi tegaknya keadilan sebagai wujud anugerah dan rahmat Allah untuk semua makhluk.

Namun, yang dipamerkan selama ini adalah kebalikan dari itu. Kekuasaan telah memperalat agama untuk tujuan-tujuan duniawi rendahan dengan 'menyeret' nama Tuhan secara biadab. Gerakan-gerakan radikal yang meluluhlantakkan beberapa negara Arab adalah bukti telanjang dari apa yang kita sebutkan ini.

Bagi saya, ideologi politik yang bersumber dari Wahhabisme, Khilafatisme, Salafisme kontemporer adalah produk dari peradaban Arab yang sedang jatuh dan membusuk. Tetapi, mengapa sebagian orang masih juga membelanya? Di sinilah keajaiban itu terletak.

Banyak orang tidak bisa membedakan mana Islam yang sejati dan mana pula Arabisme yang sedang merapuh itu. Khusus mengenai Wahhabisme yang diekspor oleh Arab Saudi dengan topangan petro-dolarnya ke seluruh dunia, akhir-akhir ini sudah semakin menampakkan wataknya yang destruktif.

Serangan terhadap Yaman yang membawa malapetaka atas rakyat yang tak berdaya dan pembunuhan brutal terhadap Khashoggi adalah fakta keras yang tidak dapat dibantah bahwa penguasa Saudi adalah penguasa zalim atas nama Tuhan. Artikel Prof. Khaled Abou El Fadl dalam New York Times, 12 November 2018 di bawah judul “Saudi Arabia Is Misusing Mecca” dengan tajam telah membeberkan peran penguasa Saudi dalam drama Khashoggi yang menghebohkan jagat raya itu.

Sekiranya Presiden Trump tidak menjamin keamanan Saudi, tidak mustahil kerajaan ini akan berantakan dalam tempo yang tidak lama. Ada keanehan di sini: Amerika menyerang terorisme di mana-mana, tetapi penguasa Saudi dengan topangan Wahhabisme sebagai salah satu sumber teologis terorisme malah dilindungi. Inilah sebuah logika yang kacau balau, tetapi untuk kepentingan politik dan ekonomi, semuanya dicari pembenarannya.

Akhirnya, proyek al-Islâm: dîn wa daulah dalam praktiknya selama puluhan tahun hanyalah semakin membawa negeri-negeri Muslim kepada kehancuran dan kegagalan. Maka saya mengusulkan definisi yang lebih berdasarkan Alquran: al-Islâm: dîn wa ni’mah wa rahmah (Islam: agama, anugerah dan rahmat).

Dengan definisi yang segar dan manusiawi ini siapa tahu dunia Muslim akan punya kepercayaan diri yang lebih mantap karena agama yang dianutnya adalah untuk menebarkan nikmat dan rahmat bagi alam semesta, dalam teori dan praktik. []

REPUBLIKA, 18 Desember 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar