Jumat, 21 Desember 2018

Panggilan-panggilan Hormat untuk KH Hasyim Asy’ari


Panggilan-panggilan Hormat untuk KH Hasyim Asy’ari

Saat ini, warga NU kerap menyebut KH Hasyim Asy’ari dengan diawali Hadratussyekh. Ternyata hal itu terjadi pada masa-masa Kiai Hasyim masih hidup. Bahkan beragam pernghormatan dan sebutan disematkan warga NU untuknya. 

Ya, Kiai Hasyim memiliki tempat tersendiri yang tidak pernah tergantikan posisinya oleh kiai mana pun. Hanya dia yang mendapat tempat sebagai Rais Akbar NU. Setelahnya hanya menggunakan Rais ‘Aam. 

Warga NU mengekspresikan penghormatan kepada KH Hasyim bisa dilihat di majalah-majalah NU. Ekspresi itu muncul pada rubrik semacam opini, liputan pemberitaan, atau ungkapan pada selamat hari raya. 

Hadratusysekh memang gelar yang paling popuer. Namun, ada juga yang menyebutnya sebagai Pemimpin Luhur  Nahdlatul Ulama, Pemimpin Agung Nahdlatul Ulama (sumber: Berita Nahdlatoel Oelama, tt dan edisi, hanya diketahui tahun ke-10, hal. 8/466), ungkapan lain ada yang memanggilnya sebagai Yang Mulia, dan lain-lain. 

Pengurus Cabang Purworejo misalnya menyebut KH Hasyim Asy’ari dengan Hadrat Maulana al-A’dham Syekh (lihat Berita Nahdlatoel Oelama, tidak diketahui tanggal dan tahun edisi, hanya ditemukan tahun ke-10 pada extra pagina khusus ucapan Lebaran, hal 16/496). 

Ungkapan lainnya adalah Pemimpin Agung NU Paduka KH Hasyima Asy’ari (lihat: Berita Nahdlatoel Oelama, No. 6 edisi 19 Januari 1941, tahun ke-10, hal 4/83). 

Yang Mulia Raisul Akbar Hadratul Kiram Syekh (Berita Nahdlatoel Oelama, No 7 edisi 1 Februari, 1941, tahun ke-10, hal 5)

Sebutan-sebutan itu berlangsung ketika yang dimaksud hidup. Padahal biasanya gelar-gelar kehormatan berkembang setelah meninggal. Sementara KH Hasyim sendiri menyebut dirinya sebagai al-Faqir Ilallahi Ta’ala (Swara Nahdlatul Oelama, Jumadil Awwal 1348, h84). Hal ini menunjukkan kebesaran dan pujian untuknya tidak membuatnya sombong, termasuk kepada santri dan kiai lain. 

***

Pada masa muda, Kiai Hasyim adalah santri kelana. Ia belajar dari satu pesantren ke pesantren lain di Jawa dan Madura. Untuk memperdalam ilmu lebih lanjut, kemudian ia belajar di Tanah suci Makkah. Dengan demikian, ia memiliki jaringan pertemanan yang luas. Tidak hanya di pulau Jawa, melainkan Nusantara. 

Ketika ia pulang ke Tanah Air, kemudian mendirikan pesantren Tebuireng. Pesantren tersebut berkembang dan kemudian dikenal luas ke seantero Nusantara. Tentu karena keharuman dari kedalaman ilmu yang dimilikinya yang jarang ditemukan saat itu pada kiai lain. Sehingga dia mampu menyedot ribuan santri. 

Menurut Choirul Anam, santri Kiai Hasyim mulanya hanya 28 orang pada tahun 1899. Kemudian menjadi 200 orang pada 1910. Pada sepuluh tahun berikutnya, santri berlipat lagi menjadi 2000 orang. Masih menurut Choirul Anam yang mengutip pendapat Jepang, pada tahun 1942, murid KH Hasyim Asy’ari diperkirakan 25 ribu orang.  

Tentang pesantren Tebuireng dan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, KH Saifuddin Zuhri menyebutkan bahwa: 

Pesantren Tebuireng pada tahun 1939-1940 tetap berada di bawah langit yang cerah dalam masa keemasannya. Tebuireng menjadi mercusuar pondok-pondok pesantren di seluruh Indonesia. Tebuireng menjadi trade mark dan identitas kaum santri. []

(Abdullah Alawi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar