Jumat, 21 Desember 2018

Azyumardi: Politik Bermartabat


Politik Bermartabat
Oleh: Azyumardi Azra

Hampir dua dasawarsa berlalu sejak Indonesia menyelenggarakan Pemilu 1999 pada masa reformasi yang diakui banyak kalangan paling demokratis setelah pemilu pertama pada 1955. Pada 2019, Indonesia melaksanakan pemilu kelima (legislatif dan presiden secara serentak) pascagelombang demokrasi yang melanda Indonesia pada 1998-1999.

Sejak Pemilu 1999 dan pemilu-pemilu berikutnya (2004, 2009, 2014) yang damai, Indonesia mendapat pengakuan internasional sebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan Amerika Serikat. Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia juga menjadi showcase pengalaman terbaik Islam dan demokrasi.

Selama dua dekade, demokrasi Indonesia masih jauh dari sempurna. Banyak kelemahan yang membuat demokrasi Indonesia masih cacat (flaw democracy). Namun, juga jelas, demokrasi tidak lagi bisa dimundurkan.

Agaknya sulit sekali menemukan negara di muka bumi dengan demokrasi tidak cacat (flawless democracy). Negara semacam AS yang sering dianggap sebagai ”kampiun demokrasi” kini malah menjadi salah satu preseden utama flaw democracy, khususnya sejak Donald Trump terpilih sebagai presiden pada 2016.

Kebangkitan populist nationalism melalui manipulasi politik identitas menjadi salah satu fitur utama demokrasi, khususnya di Eropa dan AS. Di tengah masyarakat negara-bangsa yang makin multikultural, nasionalis populis tidak hanya membawa Trump ke puncak kekuasaan tertinggi di AS, tetapi juga menghasilkan Brexit di Inggris.

Fenomena kebangkitan nasionalisme populis dengan politik identitas perlu dicermati dan diwaspadai jika demokrasi dapat terus bertahan. Sebab, jika fenomena ini terus meningkat, demokrasi yang merupakan sistem politics of dignity, politik bermartabat, dapat kehilangan elan dan raison d’etre-nya.

Demokrasi adalah sistem politik yang dapat memuliakan martabat manusia. Dengan demokrasi, para warga yang memiliki latar belakang dan identitas berbeda terkait suku, agama, ras, dan antargolongan (di Indonesia populer sebagai SARA) ditempatkan dalam posisi setara. Kesetaraan ini salah satu aspek penting politics of dignity.

Sebaliknya, politik yang tidak memuliakan martabat manusia adalah politics of indignity. Dalam politik ini, kelompok warga berbeda ras, suku, agama, dan latar belakang sosial ekonomi ditempatkan dan diperlakukan tidak setara dan diskriminatif.

Politik seperti ini mendorong penciptaan narasi tentang kejengkelan ekonomi (economic resentment) yang berbaur dengan faktor sosial-budaya dan agama. Pada tahap ini terjadilah kontestasi narasi—sering tidak berdasar fakta dan data valid—bertolak belakang dan konflik satu sama lain, yang akhirnya merusak kemuliaan martabat politik (dignity of politics).

Martabat politik yang pada dasarnya mulia, selain bisa dirusak kontestasi narasi, juga oleh kebijakan politik dan perbuatan semacam korupsi, kolusi, dan nepotisme. Mengingat dampak negatif fenomena demokrasi dengan nasionalisme populis yang berpadu dengan politik identitas yang merusak kemuliaan politik, wacana di kalangan ahli tentang politics of dignity dan politics of indignity meningkat signifikan. Salah satunya Francis Fukuyama dengan karya Identity: Contemporary Identity Politics and the Struggle for Recognition (2018).

Menyebut Indonesia hanya pada dua tempat, Fukuyama mencatat kebangkitan agama sebagai fenomena politik di sejumlah negara. Menurut Fukuyama, di Indonesia fenomena itu terlihat dalam kasus Pilkada Jakarta, di mana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), seorang minoritas ganda yang menjadi calon gubernur, mendapat tantangan politik identitas atas dasar tuduhan penistaan agama.

Jika politik identitas (Islam) berada di balik oposisi terhadap Ahok, seberapa besar potensinya dapat menjadi gelombang besar nasionalisme populis, khususnya dalam Pilpres 2019? Jika disimak pernyataan kalangan politisi tertentu dan juga materi yang beredar dalam banyak media sosial, terlihat jelas ada penggalangan politik identitas.

Dalam konteks Indonesia, sukar mengaitkan erat nasionalisme populis dengan agama seperti di AS. Nasionalisme populis di negara itu pertama-tama terkait kesulitan ekonomi yang dihadapi kaum WASP (White, Anglo-Saxon, Protestan). Kejengkelan ekonomi ini menyatu dengan socio-economic dan political-religious resentments ketika dipompa dengan semangat agama.

Secara komparatif, jumlah warga miskin di Indonesia juga masih besar (sekitar 26 juta jiwa atau 9,8 persen dari jumlah penduduk), tetapi kejengkelan ekonomi tidak seakut di AS. Kemiskinan tidak menjadi kejengkelan sosial-agama dan politik berkat kohesi sosial lebih kuat.

Meminjam kerangka Fukuyama, kejengkelan sosial, budaya, agama, dan politik yang meningkatkan nasionalisme populis dan politik identitas dapat diatasi dengan mengembangkan politik pengakuan (politics of recognition). Dengan politik pengakuan, setiap dan semua warga dimuliakan martabatnya, baik secara personal maupun kelompok.

Indonesia beruntung karena para pendiri republik ini telah mengadopsi politik pengakuan saat mereka memproklamasikan kemerdekaan. Eksistensi politik pengakuan itu bisa dilihat pada Pancasila sebagai dasar negara. Dengan Pancasila sebagai dasar negara—bukan agama tertentu—khususnya melalui sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Indonesia menerapkan politics of recognition kemajemukan agama.

Politik pengakuan negara juga ada dalam prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Negara memberikan pengakuan pada setiap dan semua suku dengan adat dan tradisi berbeda yang membentuk negara-bangsa Indonesia.

Meski demikian, kedua prinsip politik pengakuan negara ini mengalami tantangan. Cukup banyak kalangan bangsa tidak lagi memahami dan mempraktikkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Oleh karena itu, tugas mendesak kementerian, lembaga, dan masyarakat sipil untuk kembali memperkuat prinsip dan sumber politik pengakuan. []

KOMPAS, 20 Desember 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar