Politik Bermartabat
Oleh: Azyumardi Azra
Hampir dua dasawarsa berlalu sejak Indonesia menyelenggarakan
Pemilu 1999 pada masa reformasi yang diakui banyak kalangan paling demokratis
setelah pemilu pertama pada 1955. Pada 2019, Indonesia melaksanakan pemilu
kelima (legislatif dan presiden secara serentak) pascagelombang demokrasi yang
melanda Indonesia pada 1998-1999.
Sejak Pemilu 1999 dan pemilu-pemilu berikutnya (2004, 2009, 2014)
yang damai, Indonesia mendapat pengakuan internasional sebagai negara demokrasi
terbesar ketiga setelah India dan Amerika Serikat. Sebagai negara dengan
penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia juga menjadi showcase pengalaman
terbaik Islam dan demokrasi.
Selama dua dekade, demokrasi Indonesia masih jauh dari sempurna.
Banyak kelemahan yang membuat demokrasi Indonesia masih cacat (flaw democracy). Namun,
juga jelas, demokrasi tidak lagi bisa dimundurkan.
Agaknya sulit sekali menemukan negara di muka bumi dengan
demokrasi tidak cacat (flawless
democracy). Negara semacam AS yang sering dianggap sebagai ”kampiun
demokrasi” kini malah menjadi salah satu preseden utama flaw democracy, khususnya
sejak Donald Trump terpilih sebagai presiden pada 2016.
Kebangkitan populist
nationalism melalui manipulasi politik identitas menjadi salah
satu fitur utama demokrasi, khususnya di Eropa dan AS. Di tengah masyarakat
negara-bangsa yang makin multikultural, nasionalis populis tidak hanya membawa
Trump ke puncak kekuasaan tertinggi di AS, tetapi juga menghasilkan Brexit di
Inggris.
Fenomena kebangkitan nasionalisme populis dengan politik identitas
perlu dicermati dan diwaspadai jika demokrasi dapat terus bertahan. Sebab, jika
fenomena ini terus meningkat, demokrasi yang merupakan sistem politics of dignity,
politik bermartabat, dapat kehilangan elan dan raison d’etre-nya.
Demokrasi adalah sistem politik yang dapat memuliakan martabat
manusia. Dengan demokrasi, para warga yang memiliki latar belakang dan
identitas berbeda terkait suku, agama, ras, dan antargolongan (di Indonesia
populer sebagai SARA) ditempatkan dalam posisi setara. Kesetaraan ini salah
satu aspek penting politics
of dignity.
Sebaliknya, politik yang tidak memuliakan martabat manusia
adalah politics of
indignity. Dalam politik ini, kelompok warga berbeda ras, suku,
agama, dan latar belakang sosial ekonomi ditempatkan dan diperlakukan tidak
setara dan diskriminatif.
Politik seperti ini mendorong penciptaan narasi tentang
kejengkelan ekonomi (economic
resentment) yang berbaur dengan faktor sosial-budaya dan agama.
Pada tahap ini terjadilah kontestasi narasi—sering tidak berdasar fakta dan
data valid—bertolak belakang dan konflik satu sama lain, yang akhirnya merusak
kemuliaan martabat politik (dignity
of politics).
Martabat politik yang pada dasarnya mulia, selain bisa dirusak
kontestasi narasi, juga oleh kebijakan politik dan perbuatan semacam korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Mengingat dampak negatif fenomena demokrasi dengan
nasionalisme populis yang berpadu dengan politik identitas yang merusak
kemuliaan politik, wacana di kalangan ahli tentang politics of dignity dan politics of indignity meningkat
signifikan. Salah satunya Francis Fukuyama dengan karya Identity: Contemporary Identity
Politics and the Struggle for Recognition (2018).
Menyebut Indonesia hanya pada dua tempat, Fukuyama mencatat
kebangkitan agama sebagai fenomena politik di sejumlah negara. Menurut
Fukuyama, di Indonesia fenomena itu terlihat dalam kasus Pilkada Jakarta, di
mana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), seorang minoritas ganda yang menjadi calon
gubernur, mendapat tantangan politik identitas atas dasar tuduhan penistaan
agama.
Jika politik identitas (Islam) berada di balik oposisi terhadap
Ahok, seberapa besar potensinya dapat menjadi gelombang besar nasionalisme
populis, khususnya dalam Pilpres 2019? Jika disimak pernyataan kalangan
politisi tertentu dan juga materi yang beredar dalam banyak media sosial,
terlihat jelas ada penggalangan politik identitas.
Dalam konteks Indonesia, sukar mengaitkan erat nasionalisme
populis dengan agama seperti di AS. Nasionalisme populis di negara itu
pertama-tama terkait kesulitan ekonomi yang dihadapi kaum WASP (White,
Anglo-Saxon, Protestan). Kejengkelan ekonomi ini menyatu dengan socio-economic dan political-religious resentments ketika
dipompa dengan semangat agama.
Secara komparatif, jumlah warga miskin di Indonesia juga masih
besar (sekitar 26 juta jiwa atau 9,8 persen dari jumlah penduduk), tetapi
kejengkelan ekonomi tidak seakut di AS. Kemiskinan tidak menjadi kejengkelan
sosial-agama dan politik berkat kohesi sosial lebih kuat.
Meminjam kerangka Fukuyama, kejengkelan sosial, budaya, agama, dan
politik yang meningkatkan nasionalisme populis dan politik identitas dapat
diatasi dengan mengembangkan politik pengakuan (politics of recognition). Dengan politik
pengakuan, setiap dan semua warga dimuliakan martabatnya, baik secara personal maupun
kelompok.
Indonesia beruntung karena para pendiri republik ini telah
mengadopsi politik pengakuan saat mereka memproklamasikan kemerdekaan.
Eksistensi politik pengakuan itu bisa dilihat pada Pancasila sebagai dasar
negara. Dengan Pancasila sebagai dasar negara—bukan agama tertentu—khususnya
melalui sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Indonesia menerapkan politics of recognition kemajemukan
agama.
Politik pengakuan negara juga ada dalam prinsip Bhinneka Tunggal
Ika. Negara memberikan pengakuan pada setiap dan semua suku dengan adat dan
tradisi berbeda yang membentuk negara-bangsa Indonesia.
Meski demikian, kedua prinsip politik pengakuan negara ini
mengalami tantangan. Cukup banyak kalangan bangsa tidak lagi memahami dan
mempraktikkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Oleh karena itu, tugas
mendesak kementerian, lembaga, dan masyarakat sipil untuk kembali memperkuat
prinsip dan sumber politik pengakuan. []
KOMPAS, 20 Desember 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar