Dunia Anomali
Oleh: Haedar Nashir
Suatu saat di zaman Nabi. Beberapa orang datang menemui
Rasulullah. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, seseorang rajin shalat, puasa,
dan mengeluarkan zakat, tetapi ia juga sering berbuat jahat terhadap
tetangganya.” Nabi menjawab, “Dia penghuni neraka.” Sebaliknya, terdapat
seorang yang shalat, puasa, dan zakatnya biasa saja, tetapi tidak pernah
berbuat jahat terhadap tetangganya. Kemudian Rasulullah bersabda, “Dia penghuni
surga.”
Sungguh ironi. Bagaimana mungkin ada Muslim yang rajin beribadah,
menyuarakan tauhid, taat shalat wajib dan sunah, puasa Senin-Kamis dan Daud
selain shaum wajib, gemar berbagi rezeki, hafal ayat-ayat Alquran, paham Islam
dari A sampai Z, dan sehari-hari hidup dalam gemerlap ritual keislaman, tetapi
perangainya buruk kata dan ujaran, pemarah, penghujat, penyebar kebencian,
serta bertindak onar dan keburukan terhadap sesama? Sedangkan, mereka yang
beragama biasa saja menampilkan perangai yang luhur terhadap sesama.
Kisah dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan al-Hakim
itu tampak paradoks dan rasanya secara lahir sulit dipahami terjadi dalam diri
seseorang yang taat beragama. Sosok-sosok yang di mata publik atau umat begitu
berkemilau dalam atribut keagamaan, ujaran dan tindakannya jauh panggang dari
api.
Di dunia yang fana ini, segala perilaku anak cucu Adam hadir dalam
ragam yang kompleks. Segala peristiwa terjadi dari yang dapat dipahami sampai
mengandung sejuta rahasia. Allah Yang Maha Pencipta bahkan menyebut dunia
sebagai penuh permainan atau al-mata
al-ghurur. Maka, paradoks pun bagian dari dunia, bak panggung
sandiwara itu. Para sosiolog menyebut dunia paradoks itu sebagai “anomali”,
sesuatu yang menyimpang dari kelaziman.
Dramaturgi
Dunia anomali atau penyimpangan perilaku terjadi karena banyak
kemungkinan. Dalam diri subjek, nilai-nilai yang baik sekadar menjadi norma
verbal, tidak mengalami internalisasi. Artinya, nilai-nilai baik itu tidak
tertanam dalam jiwa dan pikiran untuk menghasilkan tindakan yang selaras.
Sekadar berhenti di tingkat kognisi dan lisan belaka. Dalam teori
Robert K Merton, nilai-nilai luhur tersebut berhenti sebagai sesuatu yang laten
(terpendam) dan tidak manifes (nyata) yang mewujud dalam praktik hidup di dunia
nyata. Bahasa umum menyebutnya sebagai split
of personality, kepribadian yang terbelah dengan menampilkan
perangai-perangai yang kontradiktif di dalam dirinya.
Perilaku yang anomali ibarat dramaturgi, sesuatu yang semu laksana
permainan sandiwara di panggung. Dalam dramaturgi, ujar Erving Goffman dalam Presentation of Self in Everyday Life
(1959), seseorang akan menampilkan presentasi diri di depan pentas yang
serba-termanipulasi, baik diri maupun segala aksesorinya, sehingga memuaskan
penonton atau khalayak umum. Sementara, di belakang panggung, semua drama di
pentas itu diatur dan dimanipulasi sedemikian rupa, yang tentu saja publik
tidak mengetahui perangai yang sesungguhnya.
Di panggung yang penuh dekorasi itulah tempat pentas sandiwara
beragam perilaku aktor yang penuh topeng dipertunjukkan. Penampilannya di atas
pentas tentu berbeda dengan yang sesungguhnya, seperti hadis Nabi tentang sang
Muslim yang tampak saleh di luar tetapi perangainya buruk.
Khalayak selalu mengagumi dan terpukau dengan penampilan para
aktor dalam layar dramaturgi karena mereka tidak tahu persis apa yang
sesungguhnya dilakukan para aktor itu dalam keseharian. Perangai buruk dan
merusaknya sering diterima secara buta oleh pengikutnya karena mereka tidak
mengetahui apa yang terjadi sesungguhnya, sehingga meski salah tetap dibela
dalam balutan rabun kesadaran kolektif yang akut.
Dalam ranah politik, dramaturgi menjadi pemandangan umum yang
dianggap lazim. Para elite memainkan banyak peran kontroversial di khalayak
publik. Pagi hari A, siang hari B, sore hari H, malam hari K, besok hari
menjadi XYZ. Mereka mencari legitimasi seputar inkonsistensi sikap politiknya
pada adagium “politik seni dari banyak kemungkinan” atau “politik itu dinamis”.
Aktor politik terbiasa berdramaturgi, apa yang ada di lisan lain
pula dalam tindakan. Politik pun tidak jarang menjadi keras dan sarat muslihat,
lain di depan lain di belakang. Politik lantas kehilangan nilai kejujuran,
keterpercayaan, dan sikap kenegarawanan. Politisi yang baik dikakahkan oleh
aktor-aktor kontroversial yang perkasa.
Dramaturgi memasuki babak baru dalam dunia media sosial. Media
daring saat ini menjadi arena dramaturgi paling heboh, dari ujaran sampai
etalase aksi di layar maya. Perebutan kepentingan politik sampai tafsir
keagamaan bertebaran masif sesuai selera masing-masing di dunia digital itu.
Hoaks menjadi santapan sehari-hari tanpa daya kritis.
Kewarasan publik diporak-porandakan oleh logika-logika sumbu
pendek yang menghasut, menekan, menghujat, serta menebar aura marah dan
permusuhan yang berubah menjadi budaya baru bangsa ini. Sosok-sosok keras dan
narsis menjadi idola baru di tengah kultur publik yang mengalami pembodohan
masif.
Sikap elite dan orientasi pandangan keagamaan mengalami politisasi
yang tak terbendung di media sosial, sehingga pesan-pesan agama yang mengemuka
makin kerdil dan menghilangkan sukma beragama yang mencerahkan. Produksi ujaran
yang keras, sadis, jorok, dan tak patut secara moral menjadi menu sehari-hari
di media daring dengan daya jelajah interaksi dan frekuensi yang melintasi
nyaris tidak pernah berhenti hanya untuk satu detik pun.
Akibatnya, ruang sosial masyarakat berubah drastis dari kultur
paguyuban yang alamiah ke patembayatan yang paling instrumental dan sarat
kepentingan material sekaligus transaksional. Manusia “zaman now” sepenuhnya
menjadi—meminjam istilah Alvin Toffler (1970)—the modular man atau insan modular yang
paling sempurna di jagat raya saat ini!
Spiritualisasi Ihsan
Bagaimana agar beragama menampilkan konsistensi antara kata dan
tindakan yang mencerahkan? Umar bin Khattab sangat dikenal keras, tegas, dan
perkasa, baik sebagai pribadi maupun selaku amirul mukminin.
Namun, dia pernah berpesan, “Janganlah engkau berprasangka
terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin kecuali dengan
persangkaan yang baik. Dan hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu
kepada prasangka-prasangka yang baik.”
Umar yang gagah dan digdaya dalam karakter tokoh hebat, terbukti
sebagai sosok moralis yang menjunjung tinggi kebajikan meski untuk suatu
prasangka dalam hubungan antarinsan.
Dalam berpolitik, Amirul Mukminin juga dikenal menjujung tinggi
etika. Ketika anaknya yang memang hebat, yakni Abdullah bin Umar, masuk dalam
enam anggota formatur untuk pemilihan khalifah sesudahnya, Umar mensyaratkan
Abdullah dibolehkan memiliki hak pilih tetapi dilarang untuk dipilih sehingga
tidak punya peluang sama sekali untuk menjadi khalifah.
Umar jauh dari politik dinasti, sebagai bukti dari sikap etik dan
kenegarawanan yang autentik. Islam bukan berhenti di lisan dan pengetahuan,
tetapi benar-benar dipahami, dihayati, dan dipraktikkannya dalam tindakan
berpolitik yang mencerdaskan dan mencerahkan.
Jika ingin Islam itu mewujud dalam tindakan nyata serta
mencerahkan diri dan lingkungannya, maka penting adanya proses spiritualisasi
ihsan dalam beragama. Islam tidak digelorakan dalam semarak ritual ibadah
serbaverbal dan berhenti pada ranah syariat, tetapi mesti menghunjam dalam
kesadaran imani yang membuahkan kebajikan perilaku yang melampaui.
Keislaman bukan berhenti dalam atribut pakaian serbaputih yang
tampak disakralkan dari luar, ritual-ritual ibadah seremonial, kefasihan
berdalil kitab suci, serta sederat formalitas syariat luar. Islam justru harus
dijadikan model perilaku aktual yang serbabajik sebagaimana rujukan akhlak Nabi
dan para sahabat mulia yang membuktikan kata sejalan tindakan. Itulah akhlak
uswah hasanah.
Rasulullah pernah ditanya tentang amalan yang paling banyak
mengantarkan manusia masuk surga, beliau menjawab: “Taqwallahi wa husnul
khuluq,” yakni bertakwa kepada Allah dan berakhlak yang mulia (HR Tirmidzi,
Ibnu Majah, Imam Ahmad, Ibnu Hibban, dan al-Hakim dari Abu Hurairah).
Nabi akhir zaman bahkan memperingatkan dalam salah satu hadis yang
artinya, “Orang yang paling dibenci Allah ialah yang bermusuh-musuhan dengan
keji dan kejam.” (HR Bukhari). Betapa penting dan menentukan ajaran tentang
akhlak mulia atau al-akhlaq
al-karimah dalam Islam yang berwujud budi luhur dalam ujaran,
sikap, dan perbuatan.
Menghadapi dunia anomali, diperlukan model perilaku berbasis
spiritualisasi ihsan yang menanamkan perilaku aktual yang jujur, amanah, welas
asih, konsisten, dan luhur budi di bumi nyata. Orientasi pandangan keagamaan
penting digeser dari serbadogma ke tindakan nyata yang menyuburkan orientasi
humanis. Istilah Hassan Hanafi, mengubah alam pikir keislaman dari serbalangit ke
bumi.
Orientasi tauhid pun niscaya dibumikan dari teosentrisme ke
antroposentrisme agar tauhid—meminjam pandangan Asghar Ali Anginerr—berfungsi
sebagai teologi yang membebaskan kehidupan. Bukan teologi di menara gading,
yang tidak menyentuh bumi kemanusiaan, bahkan membiarkan anomali menjadi normal
dalam baju kebesaran keagamaan yang angkuh tetapi lapuk laksana kasur tua! []
REPUBLIKA, 10 Desember 2018
Haedar Nashir | Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar