Penjelasan tentang Syirkah
‘Inan
Sebagaimana telah dijelaskan dalam tulisan
yang lalu bahwa terdapat empat macam syirkah dalam syirkah transaksional (syirkah
uqudiî). Dalam madzhab Syafi’i, keempat-empatnya adalah dilarang kecuali
syirkah ‘inan. Apakah itu syirkah ‘inan? Simak kajian berikut ini!
Syeikh Abdurrahman Al-Jaziry dalam kitab al-Fiqhu
‘alal Madzahib al-Arba’ah mendefinisikan syirkah ‘inan ini sebagai berikut:
شركة
العنان فهي أن يشترك اثنان فأكثر بمالين على أن بعملا معا في تنميتها والربح
بينهما على ماشترطا أو يشترك اثنان فأكثر بماليهما على أن يعمل أحدهما فقط بشرط أن
يكون للعامل جزء من الربح أكثر من ربح ماله ليكون ماله الجزء نظير عمله فإن شرط له
ربحا قدر ماله فقط إيضاع لا يصح لأنه عمل في مال الغير بدون أجر
Artinya: “Syirkah ‘inan (terjadi) bila ada
dua pihak atau lebih berserikat mengumpulkan harta untuk ‘dijalankan dan
dikembangkan secara bersama-sama’, dan (dengan catatan) pembagian keuntungan
sesuai dengan yang disepakati di awal, atau bila ada dua pihak atau lebih
melakukan serikat harta agar dijalankan oleh ‘salah satu orang saja’ di antara
kedua pihak yang berserikat dengan satu ketentuan bahwa ‘pihak yang
menjalankan’ (‘amil) mendapatkan bagian keuntungan—lebih banyak dari sekadar
modal (yang ia keluarkan), dengan memperhatikan pada kerjanya, sehingga bila di
awal disyaratkan ia hanya menerima keuntungan menurut nisbah modalnya saja,
maka hal semacam ini pengabaian.Tidak sah akad syirkah semacam ini, karena
(sama saja dengan) ia menjalankan harta orang lain dengan tanpa upah.”
(Abdurrahman Al-Jaziry, al-Fiqhu ‘alal Madzahib al-Arba’ah, Dar al-Fikr:
3/39)
Inti dari ta’bir di atas adalah bahwa
Syirkah ‘Inan, merupakan suatu bentuk ikatan kesepakatan kerja sama antara dua
orang atau lebih dalam kerja dan modal, baik dijalankan secara bersama-sama
atau dengan menunjuk salah satu peserta syirkah untuk menjalankannya. Dengan
demikian, maka komponen penyusun syirkah ‘inan ini adalah eksistensi 1) dua
pihak yang bertransaksi, 2) objek transaksi (al-ma’qud ‘alaih) yang
meliputi modal dan jenis usaha dan 3) perjanjian (syarath) pembagian
keuntungan dan kerugian usaha, dan 4) orang yang menjalankan (‘amil) dan
ketentuan upahnya.
Selanjutnya, terdapat hal yang harus
diperhatikan terkait dengan modal. Bila seseorang menghendaki melakukan
syirkah, maka ia harus menyerahkan modal berupa nadlin, yaitu barang yang bisa
dikelola.
أن
تكون على ناض من الدراهم والدنانير
Artinya: “Benda (harta) yang dinilai dengan
nadlin, misalnya berupa dinar atau dirham.” (Syeikh Taqiyuddin bin Abu Bakar
bin Muhammad Al-Husainy Al-Hashany, Kifayatul Akhyar, Daru al-Minhaj:
378)
Dalam dunia usaha acapkali nadlin ini
dimaknai sebagai barang bergerak dan barang tak bergerak yang diketahui secara
pasti takarannya atau besarannya. Dalam fiqih turats, acapkali para fuqaha’
menyingkatnya dengan nuqud, yaitu mata uang. Misalnya, seperti Syeikh Muhammad
al-Zuhaily dalam kitab al-Qawa’idu al-Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fil
Madzahibil Arba’ati, Dar al-Fikr: 1/471, beliau menyebutkan:
اشتملت
هذه الشركات على نقود
Artinya: “Termasuk dalam modal syirkah ini
adalah nuqud (uang)”
Sebenarnya bukan mata uangnya yang
terpenting. Yang lebih penting adalah wujud takarannya. Maksudnya, adalah
adakalanya pemodal juga bisa menyerahkan rumahnya atau mobilnya sebagai bagian
dari aset perusahaan, bahkan beras atau jagung sekalipun. Namun, keberadaan
rumah, mobil, beras atau jagung ini tidak boleh dibiarkan tanpa nilai karena ia
bisa mengundang perselisihan di kemudian hari. Untuk itu, keberadaan aset ini
harus bisa ditentukan kadarnya. Caranya dengan menjualnya ke pihak perusahaan,
atau menilainya dengan uang yang selanjutnya dijadikan bagian dari modal yang
dikumpulkan oleh pemiliknya ke perusahaan. Inilah maksud dari nadlin di
atas.
Dewasa ini, kadangkala modal dikumpulkan
dengan standart mata uang negara tertentu, misalnya rupiah atau dolar. Dalam
hal ini, apabila terjadi kemungkinan pengumpulan modal dengan rupa mata uang
yang variatif, maka mata uang tersebut harus distandartkan dengan mata uang
tertentu terlebih dahulu (tamwil). Misalnya, kumpulan pemodal
menyetorkan uang dengan rupiah dan dolar. Maka standart keuangan harus dibuat
oleh pihak yang bersyirkah, bahwa modal tersebut dihitung dengan kurs rupiah
saja, atau dolar saja. Dengan demikian, syarat utama dari modal adalah “jenis
dan macam modal harus terdiri atas barang dengan kadar yang sama”.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah jenis
amal usaha. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam literatur terdahulu bahwa
antara masing-masing pemodal harus saling memberi izin kepada pihak lain yang
menjalankan usaha, guna turut melakukan pengelolaan demi pengembangan usaha
tersebut.
وأن
يأذن كل واحد منهما لصاحبه في التصرف
Artinya: “Dan antar investor harus memberi
idzin kepada investor lain (dalam satu syirkah) untuk melakukan pengelolaan
(tasharruf harta).” (Syeikh Taqiyuddin bin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husainy
Al-Hashany, Kifayatul Akhyar, Daru al-Minhaj: 378)
Biasanya ini terjadi pada bidang usaha yang
mana semua investor turut memberikan kontribusi dalam dunia usaha dan
pengelolaan yang dilakukan sesuai dengan jobnya atau pekerjaan bagiannya. Akan
tetapi, ada kalanya pihak investor ini tidak menjalankan sendiri usahanya.
Mereka secara bersama-sama mengangkat wakil untuk me-manage perseroan tersebut.
Dalam posisi ini, maka investor tersebut berperan selaku pemegang saham.
Sementara pihak manajemen disebut sebagai ‘amil. Dengan demikian, maka status
ijin ini menjadi hilang karena ketentuan yang sudah dibahas di awal pembentukan
perseroan. Adapun pihak yang berwenang mengelola adalah pihak manajemen
perseroan dengan tetap memperhatikan hasil rapat investor, keputusan rapat
manajemen dan kode etik perusahaan.
ولايملك
الوكيل من التصرف إلا ما يقتضيه إذن الموكل من جهة النطق أو من جهة العرف لأن
تصرفه بالإذن فلا يملك إلا ما يقتضيه الإذن
Artinya: “Seorang wakil (manajemen) tidak
punya wewenang menjalankan (usaha) selain dari apa yang telah ditetapkan lewat
idzin muwakkil melalui ucapan, atau menurut tradisi usaha (kode etik
perusahaan). Karena sesungguhnya wewenangnya tasharruf adalah sebab adanya
idzin. Sehingga wewenang itu hilang selagi tidak sesuai dengan idzin.” (Abu
Ishaq al-Syairazy, al-Muhadzab fi al-Fiqhi al-Imam Al-Syafi’i, Maktabah
Syamilah: 2/166)
Adapun hal terkait dengan ujrah ‘amil,
maka berlaku ketentuan bahwa ujrah (upah) mereka ditentukan dalam
rapat anggota bersama dengan para investor yang lain sehingga disepakati
besaran ujrah mereka, termasuk adalah biaya operasional usaha, pembahasan
mengenai bagi untung atau pailit perseroan, pembagian deviden perusahaan, dan
sebagainya.
Untung dan rugi dalam dunia usaha adalah
merupakan konsekuensi usaha. Keuntungan harus dibagi bersama dan demikian juga
dengan kerugian usaha. Nabiullah SAW bersabda:
الخراج
من الضمان
Artinya: “Untung dan rugi merupakan bagian
yang harus ditanggung.”
Ada perbedaan pendapat di kalangan para
ulama’ terkait dengan soal “pembagian keuntungan” antara masing-masing pihak
yang bertransaksi dalam syirkah. Jika merujuk pada ketentuan syarat syirkah,
yang salah satunya adalah : وأن يكون الربح والخسران
على قدر المالين, yakni “untung dan rugi ditanggung menurut kadar saham yang
dimiliki pemodal,” maka ketentuan ini bisa diterapkan untuk jenis usaha yang
mana setiap investornya ikut terlibat. Karena bagaimanapun juga, merekalah yang
bertanggung jawab atas usaha yang dilakukan.
Bagaimana bila perseroan yang terbentuk
dikendalikan oleh manajemen sementara pihak investor tidak ikut terlibat
pengelolaan? Terhadap hal ini, maka berlaku ketentuan sebagaimana disampaikan
Syeikh Wahbah al-Zuhaily, bahwa:
فالشركاء
يشتركون في الربح والخسارة، ولا يصح إعفاء أحد الشركاء من تحمل الخسارة مع مقاسمته
في الربح، وهذا المبدأ مقرر شرعاً وقانوناً
Artinya: “Para peserta syirkah, adalah secara
bersama-sama di dalam keuntungan dan kerugian. Tidak sah membebankan tanggung
jawab kerugian hanya pada salah pihak yang berserikat. Demikian halnya tidak
sah pembagian keuntungan sepihak. Dasar pembagian ini harus ditetapkan
berdasarkan ketentuan syara’ dan Undang-Undang.” (Syeikh Wahbah Al-Zuhaily, al-Fiqhul
Islamy, Daru al-Fikr: 4/796).
Menurut pendapat di atas, jumhur ulama’ (mayoritas
ulama) berpendapat bahwa pembagian adalah didasarkan pada jenis
pekerjaan/tanggung jawab kerja sebagaimana disyaratkan di awal kontrak. Akan
tetapi, berbeda dengan pembagian keuntungan, maka “kerugian usaha” adalah
dihitung berdasarkan rasio modal (saham) yang dimiliki masing-masing pihak yang
terlibat kontrak. Bagaimana cara menghitung besarannya rasio? Insyaallah, kelak
akan disajikan tabel ilustrasinya. Ketentuan pembagian rasio ini harus
dilandasi dengan pertimbangan syara’ dan aturan/kesepakatan yang berlaku dalam
dunia usaha. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar