Lika-Liku
Penetapan CALEG
Oleh: KH.
Abdurrahman Wahid
Sekarang
ini kita sedang berada dalam proses penetapan Calon Legislatif (Caleg) untuk
pemilu bulan April yang akan datang. Tahap pertama, yaitu penyusunan Caleg oleh
pimpinan parpol yang turut dalam pemilu itu (ada 24 parpol). Disusul nanti,
antara sembilan atau sembilan belas Januari 2004, pimpinan parpol akan
menyampaikan daftar baru, setelah ada saran-saran perbaikan dari KPU. Pada
akhir Januari, daftar calon tetap sudah sampai di tangan KPU. Untuk diumumkan
tanggal 1 Februari 2004. Sekaranglah masanya orang mengajukan protes kepada
pimpinan parpol masing-masing, sementara KPU mengadakan penelitiannya sendiri.
Hal-hal yang disoroti tentu bersifat teknis, kecuali keikutsertaan dalam
organisasi terlarang, seperti Partai Komunis Indonesia. Walaupun ini tentunya
adalah keadaan yang tidak adil, namun sebelum TAP MPRS No. 25 tahun 1966
dicabut, dapat dimengerti jika hambatan-hambatan politis seperti itu masih saja
ada.
Dalam
menyusun daftar Caleg, masing-masing parpol tentu memperkecil lingkaran
pengambilan keputusan/penetapan seorang Caleg kepada sebuah badan yang lebih
kecil ukurannya dari pimpinan tersebut. Dalam PKB, misalnya, dibentuk Tim
Mantap (Majelis Penetapan) yang terdiri dari lima orang anggota pengurus
ditambah empat orang asisten. Tim Mantap itulah yang melakukan seleksi dan
menyusun daftar Caleg dari PKB pada tiap tingkatan (tingkat Pusat, tingkatan
Wilayah/Propinsi dan tingkatan daerah Kabupaten/Kota). Keanggotaan Mantap
terdiri dari Dewan Syura 1 orang, Sekretaris Dewan Syura 1 orang dari Dewan Tanfidz/pelaksana,
Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal. Anggota kelima adalah dari PPKB (Perempuan
PKB) semua daftar calon untuk DPRD I dan II diserahkan oleh DPP PKB kepada KPU
yang akan meneruskannya ke daerah masing-masing.
Tentu
cara ini belum sempurna dan terbuka untuk perbaikan-perbaikan serius di
kemudian hari. Walaupun demikian hasil yang dicapai oleh Tim Mantap dan telah
diserahkan kepada KPU akhir bulan yang lalu, sudah dihujani begitu banyak
kritikan-kritikan umumnya dari mereka yang merasa seharusnya menjadi Caleg,
ataupun yang merasa berada di nomor ‘bawah’ seharusnya berada pada nomor satu.
Ketika diterangkan bahwa sampai nomor lima ke nomor satu masih dan tidak
terancam, tetap saja mereka tidak percaya diri, dan tetap saja meminta nomor
urut satu. Tentu saja sulit untuk mengabulkan permintaan itu, dan dengan
demikian Tim Mantap pusat tetap menjadi bulan-bulanan mereka, disertai macam
ragam ancaman.
Orang
lupa bahwa keanggotaan dalam lembaga-lembaga perwakilan kita adalah sebuah
kehormatan yang hanya diberikan kepada mereka yang telah menunjukan karya yang
bermutu bagi PKB. Tetapi sebagaimana lazimnya dalam sebuah proses politik,
tentu saja keadaan tidak berjalan secara simetris. Terasa juga gejolak yang
cukup besar dalam menyusun daftar-daftar caleg tersebut, seperti yang dirasakan
dalam tubuh PKB. Saat penulis menerima surat, percakapan telpon, dan
tamu-tamu yang bergiliran datang ke kantor selama hampir seminggu ini, tentu
saja penulis sampaikan apa yang sekiranya terjadi dan mekanisme PKB dalam hal
ini. Namun, tetap saja terdengar suara tidak puas terjadi. Walhasil, hari-hari
ini Tim Mantap pusat dihujani protes dari mana-mana.
Karenanya
pada diri penulis lalu timbul keinginan untuk mengetahui sudah benarkah sistem
penetapan calon legislatif? Kalau belum, bagaimana dan kapan harus diubah untuk
mendapatkan sistem pencalonan yang lebih baik? Ini perlu dilakukan guna
mencegah mekanisme penetapan calon itu nantinya dianggap tidak benar/salah dan
perlu diganti. Karena itu, pikiran-pikiran untuk menggantinya dengan sesuatu
yang lebih baik perlu memperoleh tanggapan yang serius. Semua bangsa yang
sekarang dianggap melaksanakan demokrasi dengan benar, dulunya ternyata juga
harus melakukan perbaikan demi perbaikan secara bertahap. Bagi mereka yang merasa
menjadi korban dari sistem pencalonan yang ada, baik di dalam maupun di luar
partai, tentulah diperlukan usulan perubahannya, yang akan menjamin cara
pencalonan terbaik bagi Caleg (Calon Legislatif) di masa yang akan datang.
*****
Salah
satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan pemilihan pendahuluan
(primary election), seperti yang sekarang dilakukan A.S. Untuk melaksanakan
itu, sistem perwakilannya sendiri harus dirubah, dengan menetapkan distrik
pemilihan sebagai satuan pemilihan. Dengan demikian setiap partai harus
menetapkan kandidat untuk tiap daerah pemilihan. Nah, pencalonan dari suatu
partai harus dilakukan diantara sesama warga yang berminat menjadi calon partai
itu, untuk mewakili distrik yang bersangkutan dalam pemilu. Dengan demikian,
orang-orang separtai akan meperebutkan kedudukan sebagai calon partai di daerah
pemilihan tersebut. Jika tiap partai berbeda-beda itu mengajukan sejumlah nama
untuk mewakili partainya masing-masing, maka untuk menghadapi pemilu akan ada
seorang nama calon untuk distrik pemilihan tersebut.
Dalam
pemilihan umum tersebut, daerah itu mempunyai sejumlah calon yang mewakili
partai-partai yang ada. Di antara mereka itulah para pemilih akan menentukan
mana yang mewakili daerah tersebut dalam Badan Perwakilan yang bersangkutan.
Dengan demikian pimpinan partai tidak memiliki wewenang untuk memilih calon
dari sebuah distrik pemilihan. Ini untuk menghindari kejadian timbulnya
protes-protes “dari bawah” nantinya atas calon yang ditetapkan. Seperti dalam sistem
penetapan calon dewasa ini, di sebuah Kabupaten sebuah parpol menghadapi
demonstrasi dari satuan-satuan parpol tersebut dari kecamatan-kecamatan yang
tadinya mendukung pimpinan cabang parpol tersebut di lingkungan kabupaten itu.
Pasalnya karena seluruh daftar calon terisi para anggota pimpinan cabang, dan
tidak mencantumkan seorang pun dari keseluruhan anak-anak cabang di daerah itu.
Dapat
dibayangkan, jika unit-unit parpol dari tingkat kecamatan itu tetap berkeras
dengan tuntutan mereka dan pimpinan parpol pada unit kabupaten/cabang, juga
tidak mau atau tidak bisa mengadakan perubahan sesuai dengan protes di atas,
maka unit kecamatan/sub cabang tersebut tidak ada yang berkampanye bagi parpol
tersebut, dan hasilnya parpol itu tidak akan banyak mendapatkan suara, alias
kalah dalam pemilu. Kalau ini terjadi akibat keserakahan dari ‘pemegang’ hak
penetapan calon, berarti ini pandangan yang tidak jauh ke depan dan hanya
mementingkan satuan kecil daripada kepentingan satuan besar. Penulis dapat
mengatakan demikian, karena ia pun juga menghadapi masalah yang sama: bagaimana
memadukan antara “kepentingan besar” dan “kepentingan kecil’. Di sinilah letak
kualitas kepemimpinan diukur dan dinilai.
Sudah
tentu, tiap cara penetapan calon maupun cara melaksanakan pemilihan umum ada
kelebihan dan kekurangannya. Namun orang tidak menyangsikan dan dengan mudah
dapat melihat, apakah keputusan mencalonkan seseorang melalui cara tertentu
benar-benar dilakukan untuk kepentingan partai ataukah hanya kecenderungan
untuk mencari keuntungan pribadi belaka. Dan di sini pula hakikat penetapan
calon badan legislatif maupun pelaksanaan akan dinilai pemberi suara dalam
pemilu. Tidak banyak memang, orang yang dapat melakukan pengukuran mana yang
tepat dan mana yang tidak. Kecenderungan melebihkan keuntungan pribadi dari
pada kepentingan umum, memang harus dihindari dari saat munculnya pencalonan.
Namun ini lebih mudah diucapkan daripada dilaksanakan, bukan? []
Jakarta,
5 Januari 2004
Sumber:
Duta Masyarakat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar