Selasa, 11 Desember 2018

(Hikmah of the Day) Ketika Rasulullah Disangka Meninggal Dunia


Ketika Rasulullah Disangka Meninggal Dunia

Satu ketika sahabat Abdurrahman bin Auf mendapati Rasulullah berjalan sendirian. Dari jarak yang tak jauh ia mengikuti beliau hingga kemudian memasuki sebuah kebun kurma.

Ketika Rasul berada di tengah kebun itu tiba-tiba beliau bersujud, entah mengapa. Sementara Abdurrahman bin Auf terus memperhatikannya. Ia sempat menunggu beberapa lama berharap Rasulullah segera menyudahi sujudnya. Namun harapannya tak segera terwujud. Rasulullah begitu lama dalam sujudnya. 

Air mata Abdurrahman mulai meleleh. Ia menangis. Ada kekhawatiran dalam dirinya pada diri kekasihnya. “Adakah Rasulullah meninggal dunia dalam sujudnya itu? Adakah aku tak akan pernah lagi melihatnya untuk selamanya?” dalam takutnya ia mengira.

Syukurlah, apa yang dikhawatirkannya tak benar. Dilihatnya Rasulullah bangkit dari sujudnya dengan wajah berseri-seri. Abdurrahman bin Auf segera mendekati beliau.

“Ada apa denganmu wahai Abdurrahman?” tanya Rasulullah yang melihat sahabatnya berlinang air mata.

Maka Abdurrahman pun menceritakan ihwalnya. Mulai dari awal mengikuti perjalanan beliau sampai adanya kekhawatiran kalau-kalau beliau telah dicabut ruhnya oleh Allah subhânahu wa ta’âlâ.

Atas kekhawatiran sahabatnya itu maka Rasulullah menjelaskan apa yang terjadi pada dirinya. “Barusan malaikat Jibril mendatangiku,” ujarnya. “Kepadaku ia mengatakan, aku sampaikan kepadamu kabar gembira bahwa Allah menyatakan, ‘Barangsiapa yang bershalawat kepadamu maka Aku bershalawat kepadanya. Dan barangsiapa yang bersalam kepadamu maka aku bersalam kepadanya.’ Karena kabar dari Jibril itulah maka aku bersujud sebagai rasa syukurku kepada Allah.”

Kisah di atas banyak direkam oleh para ulama hadits di dalam kitab-kitab mereka. Di antaranya oleh Imam Ahmad dalam kitab Musnad-nya:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، قَالَ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَتَوَجَّهَ نَحْوَ صَدَقَتِهِ فَدَخَلَ، فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ فَخَرَّ سَاجِدًا، فَأَطَالَ السُّجُودَ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَبَضَ نَفْسَهُ فِيهَا، فَدَنَوْتُ مِنْهُ، ثُمَّ جَلَسْتُ فَرَفَعَ رَأْسَهُ، فَقَالَ: «مَنْ هَذَا؟» قُلْتُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ، قَالَ: «مَا شَأْنُكَ؟» قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ سَجَدْتَ سَجْدَةً خَشِيتُ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ قَبَضَ نَفْسَكَ فِيهَا، فَقَالَ: " إِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلامُ، أَتَانِي فَبَشَّرَنِي، فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ: مَنْ صَلَّى عَلَيْكَ صَلَّيْتُ عَلَيْهِ، وَمَنْ سَلَّمَ عَلَيْكَ سَلَّمْتُ عَلَيْهِ، فَسَجَدْتُ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ شُكْرًا "

Artinya: “Dari Abdurrahman bin Auf ia berkata, Rasulullah pergi menuju ke arah kebun yang disedekahkan olehnya. Kemudian beliau memasukinya, menghadap ke arah kiblat lalu tersungkur bersujud. Beliau begitu lama bersujud sampai aku mengira bahwa Allah telah mengambil ruhnya di dalam sujudnya. Aku mendekati beliau dan duduk. Kemudian beliau mengangkat kepalanya dan berkata, ‘Siapa ini?’ Aku menjawab, ‘Abdurrahman.’ Beliau bertanya, ‘Ada apa denganmu?’ Aku menjawab, ‘Ya Rasul, engkau bersujud begitu lama. Aku khawatir Allah telah mengambil nyawamu  dalam sujud itu.’ Rasulullah bersabda, ‘Jibril mendatangiku dan memberi kabar gembira kepadaku. Ia berkata, bahwa Allah berfirman, ‘Barangsiapa yang bershalawat kepadamu maka Aku bershalawat kepadanya, dan barangsiapa bersalam kepadamu maka Aku bersalam kepadanya’. Maka aku bersujud sebagai rasa syukur.”

Dari cerita hadits tersebut dapat kita pahami bahwa bagi Rasululah adanya Allah bershalawat dan bersalam kepada umatnya adalah sesuatu yang luar biasa yang tak terkira nilainya bagi siapa saja yang menerima shalawat dan salam dari Allah itu. Ini bisa dilihat dari bagaimana beliau mengekspresikan rasa syukurnya dengan bersujud yang cukup lama sampai-sampai sahabat Abdurrahman bin Auf merasa khawatir akan meninggalnya rasul tercinta itu.

Para ulama menuturkan bahwa ketika Allah bershalawat kepada hamba-Nya itu berarti Allah memberikan rahmat kasih sayang-Nya kepada sang hamba. Padahal dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa seorang yang bershalawat satu kali kepada Baginda Rasul maka ia akan dishalawati oleh Allah sebanyak sepuluh kali. Artinya ia mendapat sepuluh rahmat dari Allah. Bila berhitung demikian, lalu bagaimana bila seseorang memperbanyak bacaan shalawat? Bukankah ia tidak sekedar menerima sepuluh-dua puluh rahmat, tapi ia tercurahi oleh rahmat Allah?

Untuk bisa menggambarkan betapa berharganya rahmat Allah bagi seorang hamba dapat dibuat sebuah gambaran. Seseorang yang mendapat hadiah dari seorang walikota tentunya akan merasa senang dengan hadiah tersebut. Sementara orang yang menerima hadiah dari seorang gubernur apalagi presiden mestinya dia akan lebih senang lagi dengan hadiah yang ia terima. Bukan karena begitu mahal dan bagusnya hadiah yang diberikan, tapi karena jabatan orang yang memberikan. Semakin besar, tinggi dan mulia jabatan serta kedudukan orang yang memberi hadiah akan semakin membuat senang orang yang menerima hadiah.

Lalu bagaimana bila hadiah itu diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya? Bukankah Dia lah yang paling tinggi kedudukannya di alam semesta ini? Bila hadiah yang diberikan oleh seorang pejabat saja mampu membuat orang bersuka cita, maka tidakkah umat Baginda Muhammad bersuka ria dengan hadiah shalawat yang diberikan sang Pencipta?

Hadiah dari seorang pejabat bukan karena bagus dan mahalnya hadiah itu, tapi karena jabatan pemberinya. Sedangkan hadiah dari Allah bukan saja karena siapa pemberinya, namun juga karena nilai hadiahnya yang menghantarkan pada kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akherat penerimanya.

Bagaimana dengan salamnya Allah bagi para pembaca shalawat?

Pernahkah Anda menerima kiriman salam dari kekasih tercinta? Ketika Anda jatuh hati pada lawan jenis yang dipuja, lalu darinya Anda mendapatkan salam, tidakkah hati Anda berbunga-bunga?

Lalu bagaimana bila yang mengirim salam kepada Anda adalah Dzat yang Pengasih lagi Penyayang dengan segala kasih dan sayang? Tidakkah menerima salam dari-Nya lebih berbunga-bunga dari menerima salam dari gadis atau jejaka pujaan?

Juga ketika Anda didoakan keselamatan oleh seorang kiai misalnya, bukankah Anda akan merasa bahagia mengingat yang mendoakan adalah seorang yang diyakini memiliki kedekatan dengan Dzat yang memberikan keselamatan? Bila demkian adanya, lalu bagaimana bila yang bersalam kepada Anda adalah Dzat Sang Penyelamat itu sendiri?

Barangkali alasan-alasan yang demikian itu yang menjadikan Rasulullah begitu bergembira hingga merasa perlu bersyukur dengan sujud yang lama. Beliau berbahagia bila umatnya diperlakukan dengan begitu mulia oleh Allah hanya dengan sebuah amalan yang secara kasat mata begitu ringan dilakukan. 

Lalu bagaimana dengan diri sang umat? Adakah shalawat dan salam Allah itu dirasa sebagai anugerah yang luar biasa, yang karenanya kemudian mereka berlomba untuk sebanyak-banyak bershalawat kepada nabinya? Adakah setiap harinya mereka memperbanyak bacaan shalawat sebagai rasa hormat dan terima kasih pada sang nabi, dan juga demi keselamatan dan kebahagiaan mereka sendiri di dunia dan akherat kelak? Wallahu a’lam. []

(Yazid Muttaqin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar