Ketika Rasulullah Disangka Meninggal Dunia
Satu ketika sahabat Abdurrahman bin Auf
mendapati Rasulullah berjalan sendirian. Dari jarak yang tak jauh ia mengikuti
beliau hingga kemudian memasuki sebuah kebun kurma.
Ketika Rasul berada di tengah kebun itu
tiba-tiba beliau bersujud, entah mengapa. Sementara Abdurrahman bin Auf terus
memperhatikannya. Ia sempat menunggu beberapa lama berharap Rasulullah segera
menyudahi sujudnya. Namun harapannya tak segera terwujud. Rasulullah begitu
lama dalam sujudnya.
Air mata Abdurrahman mulai meleleh. Ia
menangis. Ada kekhawatiran dalam dirinya pada diri kekasihnya. “Adakah
Rasulullah meninggal dunia dalam sujudnya itu? Adakah aku tak akan pernah lagi
melihatnya untuk selamanya?” dalam takutnya ia mengira.
Syukurlah, apa yang dikhawatirkannya tak
benar. Dilihatnya Rasulullah bangkit dari sujudnya dengan wajah berseri-seri.
Abdurrahman bin Auf segera mendekati beliau.
“Ada apa denganmu wahai Abdurrahman?” tanya
Rasulullah yang melihat sahabatnya berlinang air mata.
Maka Abdurrahman pun menceritakan ihwalnya.
Mulai dari awal mengikuti perjalanan beliau sampai adanya kekhawatiran
kalau-kalau beliau telah dicabut ruhnya oleh Allah subhânahu wa ta’âlâ.
Atas kekhawatiran sahabatnya itu maka
Rasulullah menjelaskan apa yang terjadi pada dirinya. “Barusan malaikat Jibril
mendatangiku,” ujarnya. “Kepadaku ia mengatakan, aku sampaikan kepadamu kabar
gembira bahwa Allah menyatakan, ‘Barangsiapa yang bershalawat kepadamu maka Aku
bershalawat kepadanya. Dan barangsiapa yang bersalam kepadamu maka aku bersalam
kepadanya.’ Karena kabar dari Jibril itulah maka aku bersujud sebagai rasa
syukurku kepada Allah.”
Kisah di atas banyak direkam oleh para ulama
hadits di dalam kitab-kitab mereka. Di antaranya oleh Imam Ahmad dalam kitab
Musnad-nya:
عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، قَالَ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَتَوَجَّهَ نَحْوَ صَدَقَتِهِ فَدَخَلَ، فَاسْتَقْبَلَ
الْقِبْلَةَ فَخَرَّ سَاجِدًا، فَأَطَالَ السُّجُودَ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّ
اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَبَضَ نَفْسَهُ فِيهَا، فَدَنَوْتُ مِنْهُ، ثُمَّ جَلَسْتُ
فَرَفَعَ رَأْسَهُ، فَقَالَ: «مَنْ هَذَا؟» قُلْتُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ، قَالَ:
«مَا شَأْنُكَ؟» قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ سَجَدْتَ سَجْدَةً خَشِيتُ أَنْ
يَكُونَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ قَبَضَ نَفْسَكَ فِيهَا، فَقَالَ: "
إِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلامُ، أَتَانِي فَبَشَّرَنِي، فَقَالَ: إِنَّ
اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ: مَنْ صَلَّى عَلَيْكَ صَلَّيْتُ
عَلَيْهِ، وَمَنْ سَلَّمَ عَلَيْكَ سَلَّمْتُ عَلَيْهِ، فَسَجَدْتُ لِلَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ شُكْرًا "
Artinya: “Dari Abdurrahman bin Auf ia
berkata, Rasulullah pergi menuju ke arah kebun yang disedekahkan olehnya.
Kemudian beliau memasukinya, menghadap ke arah kiblat lalu tersungkur bersujud.
Beliau begitu lama bersujud sampai aku mengira bahwa Allah telah mengambil
ruhnya di dalam sujudnya. Aku mendekati beliau dan duduk. Kemudian beliau
mengangkat kepalanya dan berkata, ‘Siapa ini?’ Aku menjawab, ‘Abdurrahman.’
Beliau bertanya, ‘Ada apa denganmu?’ Aku menjawab, ‘Ya Rasul, engkau bersujud
begitu lama. Aku khawatir Allah telah mengambil nyawamu dalam sujud itu.’
Rasulullah bersabda, ‘Jibril mendatangiku dan memberi kabar gembira kepadaku.
Ia berkata, bahwa Allah berfirman, ‘Barangsiapa yang bershalawat kepadamu maka
Aku bershalawat kepadanya, dan barangsiapa bersalam kepadamu maka Aku bersalam
kepadanya’. Maka aku bersujud sebagai rasa syukur.”
Dari cerita hadits tersebut dapat kita pahami
bahwa bagi Rasululah adanya Allah bershalawat dan bersalam kepada umatnya
adalah sesuatu yang luar biasa yang tak terkira nilainya bagi siapa saja yang
menerima shalawat dan salam dari Allah itu. Ini bisa dilihat dari bagaimana
beliau mengekspresikan rasa syukurnya dengan bersujud yang cukup lama
sampai-sampai sahabat Abdurrahman bin Auf merasa khawatir akan meninggalnya
rasul tercinta itu.
Para ulama menuturkan bahwa ketika Allah
bershalawat kepada hamba-Nya itu berarti Allah memberikan rahmat kasih
sayang-Nya kepada sang hamba. Padahal dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa
seorang yang bershalawat satu kali kepada Baginda Rasul maka ia akan
dishalawati oleh Allah sebanyak sepuluh kali. Artinya ia mendapat sepuluh
rahmat dari Allah. Bila berhitung demikian, lalu bagaimana bila seseorang
memperbanyak bacaan shalawat? Bukankah ia tidak sekedar menerima sepuluh-dua
puluh rahmat, tapi ia tercurahi oleh rahmat Allah?
Untuk bisa menggambarkan betapa berharganya
rahmat Allah bagi seorang hamba dapat dibuat sebuah gambaran. Seseorang yang
mendapat hadiah dari seorang walikota tentunya akan merasa senang dengan hadiah
tersebut. Sementara orang yang menerima hadiah dari seorang gubernur apalagi
presiden mestinya dia akan lebih senang lagi dengan hadiah yang ia terima.
Bukan karena begitu mahal dan bagusnya hadiah yang diberikan, tapi karena
jabatan orang yang memberikan. Semakin besar, tinggi dan mulia jabatan serta
kedudukan orang yang memberi hadiah akan semakin membuat senang orang yang
menerima hadiah.
Lalu bagaimana bila hadiah itu diberikan oleh
Allah kepada hamba-Nya? Bukankah Dia lah yang paling tinggi kedudukannya di
alam semesta ini? Bila hadiah yang diberikan oleh seorang pejabat saja mampu
membuat orang bersuka cita, maka tidakkah umat Baginda Muhammad bersuka ria
dengan hadiah shalawat yang diberikan sang Pencipta?
Hadiah dari seorang pejabat bukan karena
bagus dan mahalnya hadiah itu, tapi karena jabatan pemberinya. Sedangkan hadiah
dari Allah bukan saja karena siapa pemberinya, namun juga karena nilai
hadiahnya yang menghantarkan pada kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akherat
penerimanya.
Bagaimana dengan salamnya Allah bagi para
pembaca shalawat?
Pernahkah Anda menerima kiriman salam dari
kekasih tercinta? Ketika Anda jatuh hati pada lawan jenis yang dipuja, lalu
darinya Anda mendapatkan salam, tidakkah hati Anda berbunga-bunga?
Lalu bagaimana bila yang mengirim salam
kepada Anda adalah Dzat yang Pengasih lagi Penyayang dengan segala kasih dan
sayang? Tidakkah menerima salam dari-Nya lebih berbunga-bunga dari menerima
salam dari gadis atau jejaka pujaan?
Juga ketika Anda didoakan keselamatan oleh
seorang kiai misalnya, bukankah Anda akan merasa bahagia mengingat yang
mendoakan adalah seorang yang diyakini memiliki kedekatan dengan Dzat yang
memberikan keselamatan? Bila demkian adanya, lalu bagaimana bila yang bersalam
kepada Anda adalah Dzat Sang Penyelamat itu sendiri?
Barangkali alasan-alasan yang demikian itu
yang menjadikan Rasulullah begitu bergembira hingga merasa perlu bersyukur
dengan sujud yang lama. Beliau berbahagia bila umatnya diperlakukan dengan
begitu mulia oleh Allah hanya dengan sebuah amalan yang secara kasat mata
begitu ringan dilakukan.
Lalu bagaimana dengan diri sang umat? Adakah
shalawat dan salam Allah itu dirasa sebagai anugerah yang luar biasa, yang
karenanya kemudian mereka berlomba untuk sebanyak-banyak bershalawat kepada
nabinya? Adakah setiap harinya mereka memperbanyak bacaan shalawat sebagai rasa
hormat dan terima kasih pada sang nabi, dan juga demi keselamatan dan
kebahagiaan mereka sendiri di dunia dan akherat kelak? Wallahu a’lam. []
(Yazid Muttaqin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar