Jumat, 28 Desember 2018

Azyumardi: Nestapa Uighur (1)


Nestapa Uighur (1)
Oleh: Azyumardi Azra

Dalam pekan-pekan menjelang akhir 2018, penderitaan dan kenestapaan suku atau  etnis Uighur kembali menjadi pembicaraan dalam media massa internasional dan nasional Indonesia. Berita-berita itu terutama terkait meningkatnya pelanggaran HAM secara massif yang dilakukan pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRC) terhadap kaum Muslim Uighur. 

Berita tentang suku Uighur jarang muncul ke publik internasional karena sulitnya bagi awak media mendapatkan akses dari pemerintah RRC untuk datang dan meliput kawasan di mana suku Uighurs hidup. Baik awak media maupun pelancung hampir tidak mungkin mendapat izin memasuki wilayah Muslim Uighur.

Para pelancung, khususnya Muslim—khususnya dari Indonesia—biasanya mengunjungi komunitas Muslim yang hidup terpencar-pencar di berbagai kota kawasan timur Tiongkok seperti di Beijing atau Xi’an. Kaum Muslim di kawasan ini hidup dalam keadaan jauh lebih baik; berbeda dengan saudara seiman mereka kaum Uighur. Oleh karena itu, pemberitaan yang datang dari komunitas Muslim wilayah timur ini Tiongkok ini selalu baik-baik saja—termasuk khususnya tentang kaum Muslim Uighur.

Di tengah kelangkaan berita tentang penderitaan tentang kenestapaan yang diderita kaum Uighur, negara-negara Muslim umumnya diam seribu bahasa. New Internationalist (14/9/18) menyebut sikap negara-negara Muslim tak lain karena pengaruh ekonomi RRC kian kuat, yang membuat mereka rikuh berhadapan dengan pemerintah Beijing.

Nasib kaum Uighur juga kembali menjadi isyu besar di tanahair. Dalam suasana menjelang Pilpres 17 April 2019, berbagai kelompok Muslim selain melakukan aksi demo di depan gedung Kedubes RRC di Jakarta, mereka juga menuntut sikap tegas pemerintah Indonesia—misalnya mem-persona-non-grata-kan Dubes RRC di Jakarta.

Memandang respons tidak memadai dari negara-negara Muslim dalam kehebohan terakhir ini, hampir bisa dipastikan nasib kaum Uighur belum akan berubah. Bahkan, boleh jadi sikap dan kebijakan pemerintah RRC terhadap mereka semakin keras; membuat mereka kian menderita.

Suku Uighur sudah lama tertindas di bawah kekuasaan Tiongkok. Meski terjadi banyak kemajuan ekonomi, sosial dan politik di Tiongkok dalam beberapa dasawarsa terakhir, kelompok etnis ini tetap saja mengalami ketertindasan dan kenestapaan. Kaum Muslim Uighur hampir tidak mendapat tetesan (trickle down effect) dari kemajuan kemajuan ekonomi yang terjadi di Tiongkok.
   
Karena tertindas dan ketiadaan harapan perbaikan kesejahteraan, orang Uighur semakin banyak meninggalkan negerinya—meski tidak dalam gelombang massal pengungsi. Banyak juga di antara mereka mengasingkan diri secara ‘sukarela’ (self-exile) di berbagai negara Eropa, Amerika dan Asia. Menurut berbagai estimasi, jumlah mereka yang hidup di pengasingan atau diaspora sekitar 2 juta jiwa.

Dalam ketertindasan, respon etnis penganut Islam ini sejak waktu sangat lama juga terus berkembang. Orang Uighur dalam dua dasawarsa terakhir cenderung mengalami radikalisasi. Salah satu gejala adalah kian banyak di antara mereka terlibat dalam jaringan radikalisme dan terorisme, termasuk di Indonesia dengan jaringan Santoso di kawasan Poso.

Etnis Uighur adalah penduduk asli atau pribumi (indigenous) di kawasan yang selama berabad-abad berada di bawah dominasi kekuasaan Dinasti Tiongkok yang silih berganti. Berada lebih dari 1,400 kilometer dari pusat kekuasaan di Beijing, wilayah kaum Muslim di Asia Tengah ini semula mendapat semacam otonomi yang longgar dari penguasa Tiongkok.

Keadaannya memburuk sejak 1949, ketika pemerintah Beijing menerapkan kontrol lebih ketat terhadap wilayah Asia Tengah; menghancurkan lembaga-lembaga agama, menerapkan pembatasan kebebasan beragama, dan memasukan suku Han secara massif dari kawasan timur Tiongkok. Kemudian pemerintah Tiongkok secara resmi sejak 1 Oktober 1955 mengklasifikasi wilayah Muslim ini sebagai Daerah Otonomi Khusus Xinjiang-Uighur.

Terletak di sebelah barat daya Beijing—di  kawasan Asia Tengah—Daerah Otonomi Khusus ini pernah menjadi  perlintasan Jalur Sutra dari Asia Timur menuju Eropa. Etnis Uighur  secara agama dan budaya adalah Turkish. Oleh karena itu itu, kawasan mereka ini juga disebut sebagai East Turkistan. []

REPUBLIKA, 27 Desember 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar