Rabu, 12 Desember 2018

Buya Syafii: Al-Islam: Din Wa Ni’mah Wa Rahmah (1)


Al-Islam: Din Wa Ni’mah Wa Rahmah (1)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Adalah DR Hamim Ilyas dari PP Muhammadiyah Majelis Tarjih dalam karya barunya, Fikih Akbar, Prinsip-Prinsip Teologis Islam Rahmatan Lil 'Alamin (Ciputat, Tangerang Selatan: Pustaka Alvabet, 2018, hlm 245-267) yang mendefinisikan Islam sebagai agama dan anugerah (din wa ni'mah). Definisi ini sekaligus sebagai koreksi terhadap pemikiran yang berkembang di kalangan al-Ikhwan al-Muslimun (Mesir), Jamaat Islamy (India-Pakistan), kemudian menyebar ke seluruh Dunia Muslim dalam format: al- Islam: din wa daulah (Islam itu adalah agama dan sistem kekuasaan negara atau ringkasnya Islam itu adalah agama dan negara).

Hamim mendasarkan definisinya itu kepada ayat 3 Surah al-Maidah (Madaniyah) yang artinya: Pada hari ini Kusempurnakan untuk kamu agamamu, telah Kugenapkan bagimu anugerah-Ku, dan telah Kuridai Islam jadi agama bagimu. (hlm 246). Hamim dengan panjang lebar menjelaskan alasan Islam itu bermakna agama dan anugerah". Saya yang pernah melakukan penelitian tentang masalah ini untuk keperluan disertasi di Universitas Chicago tahun 1980-an di bawah bimbingan (alm) Prof Fazlur Rahman, agak sedikit paham tentang perdebatan mengenai definisi Islam ini. (Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, Jakarta-Bandung: Maarif Institute- Mizan, 2017, hlm 13-25).

Belakangan karena desakan krisis politik yang parah di Dunia Arab dan sampai batas tertentu di Pakistan yang sering memperalat agama untuk kekuasaan maka untuk memperkaya definisi Hamim, saya mengusulkan bahwa al-Islam: din wa rahmah (Islam itu adalah agama dan rahmat), berdasarkan ayat 107 Surah al-Anbiya' (Makiyah) yang bermakna: Dan tidaklah Kami mengutus Engkau (Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta. Dengan definisi ini, maka untuk menentukan parameter tafsiran Islam mana yang mendekati cita-rasa Alquran, kita akan lebih mudah dan insya Allah benar. Coba renungkan Surah al- Anbiya' itu turun di akhir periode Makkah; Alquran sudah menegaskan missi utama Muhammad adalah untuk menebarkan rahmat bagi seluruh alam. Pada periode ini nabi belum punya kuasa apa-apa, bahkan kemudian harus hijrah ke Madinah untuk menghindari kezaliman oligarki elite Makkah.

Dalam disertasi di atas, saya sudah membantah definisi Islam sebagai agama dan negara", sebuah definisi yang masih saja digandrungi oleh partai- partai Islamis di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, sekalipun tertatih-tatih di mana-mana. Bahkan sebagian negara itu telah menjadi atau mendekati negara gagal. Gagal atas nama Tuhan. Sangat ironis, tetapi tetap saja tidak mau belajar dari segala kegagalan yang datang bertubi-tubi. Susah sekali, jika orang tidak paham sejarah, sementara nafsu kekuasaannya demikian kuat dan berapi-api, Tuhan pun diseret sebagai alasan pembenar, termasuk mereka yang mengusung bendera khilafah yang sepenuhnya utopis itu.

Definisi Islam sebagai agama dan negara bukan muncul di ruang hampa. Itu adalah fenomena abad ke-20 sebagai reaksi terhadap kolonialisme Eropa yang menjajah hampir seluruh bangsa Muslim karena kepandiran mereka sendiri, persis seperti apa yang dikatakan Malik Bin Nabi bahwa umat Muslim itu dijajah karena memang punya mentalitas yang pantas dijajah (colonizable mentality). Maka dengan formula Islam adalah agama dan negara itu diimpikanlah bahwa Dunia Muslim akan bangkit tidak saja melepaskan diri dari cengkeraman penjajahan, tetapi di atas puing penjajahan itu akan dibangun sebuah agama yang menyatu dengan sistem kekuasaan.

Sebagai sebuah konstruksi pemikiran reaktif terhadap sistem penjajahan yang zalim adalah sah belaka untuk merumuskan formula yang ambisius itu, dengan syarat ditegakkan di atas landasan yang kokoh, baik secara agama mau pun berdasarkan pemikiran ilmiah. Maka dalam bacaan saya, landasan inilah yang tidak difikirkan secara matang, sehingga berujung dengan kegagalan di sana-sini.

Terakhir, upaya Ikhwan di bawah Presiden Mohammad Mursi di Mesir yang membuahkan malapetaka bagi gerakan warisan Hassan al-Banna ini.Bahwa faksi militer Mesir itu kejam, saya setuju sepenuhnya, tetapi landasan politik kenegaraan Ikhwan yang rapuh mesti dipertimbangkan secara jernih, jujur, dan dengan iman yang tulus. Jika tidak demikian, gerakan-gerakan yang diilhami Ikhwan dan Jamaat Islamy ini malah akan membawa malapetaka berkepanjangan bagi umat Muslim dan dunia sekitar. []

REPUBLIKA, 11 Desember 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar