NU Keluar dari
Masyumi dengan Cara Paling Demokratis
Dalam catatan
sejarawan NU, KH Abdul Mun’im DZ, pada 15 Februari 1958, tokoh sekaligus
pendiri Nahdlatul Ulama, KH Abdul Wahab Hasbullah terkejut mendengar Majelis
Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) bergabung dengan pemberontak Dewan Banteng
dan Dewan Gajah yang memproklamirkan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI). Dalam catatan sejarah lain disebutkan, yang bergabung dan mendukung
adalah tokoh-tokohnya, bukan partainya. Namun, demikian, tetap saja membuat
Rais Aam PBNU tersebut kecewa berat, mengingat NU pernah bagian dari
Masyumi.
Karena peristiwa itu,
lanjut Abdul Mun’im, Kiai Wahab mengumpulkan beberapa kiai NU, termasuk Kiai
Idham Chalid. Mereka bertemu. Dalam pertemuan itu, menurut mereka, tindakan
PRRI adalah bughat, memberontak pemerintahan yang sah. Dalam pertemuan itu
kemudian, para kiai memutuskan untuk segera membuat pernyataan bahwa Partai NU,
tidak mendukung PRRI.
“Kita harus segera
membuat statement (pernyataan/sikap), agar tidak didahului oleh kelompok
syuyuiyin (PKI), karena PKI akan memanfaatkan peristiwa ini untuk menggebuk
Masyumi dan umat Islam semuanya. Karena itu, kita mengeluarkan pernyataan sikap
ini dengan dua tujuan. Pertama, agar PKI tahu bahwa tidak semua umat Islam
setuju dengan pemberontakan PRRI. Kedua, agar dunia internasional jangan sampai
menganggap bahwa pemerintah pusat sudah sepenuhnya dikuasasi PKI, sebagaimana
dipropagandakan Masyumi dan PSI untuk menggalang dukungan internasional,”
demikain perkataan Kiai Wahab yang ditulis Abdul Mun’im.
Wajar saja Kiai Wahab
kaget akan keterlibatan beberapa tokoh Masyumi itu karena hal itu akan
memperburuk citra umat Islam yang dimanfaatkan PKI. Dan benar, akhirnya Masyumi
dibubarkan Presiden Soekarno. Bagi NU, pembubaran tersebut adalah kerugian bagi
umat Islam. Sebagai sesama partai Islam, NU dan Masyumi tentu saja memiliki
banyak persamaan kepentingan dan tujuan dibandingkan dengan PKI.
Namun disayangkan,
beberapa kalangan menuduh NU ikut mendorong pembubaran Masyumi. Padahal justru
NU merasa kehilangan dalam memperjuangankan aspirasi Islam pada saat itu.
Kehilanngan teman di
parlemen bagi NU sangat masuk akal. Waktu itu PKI sangat kuat. Ini merupakan
ancaman bagi Islam. Kedua, NU sebelumnya berada di dalam Partai Masyumi. Bahkan
Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari waktu itu menjadi pemimpin tertingginya.
Kemudian karena beberapa perbedaan pandangan yang tak pernah mendapatkan titik
temu di antara tokoh-tokohnya, kemudian NU menyatakan berpisah pada 1952.
Di antara pemicu
keluarnya NU adalah, peran para kiai dan aspirasi pesantren tidak mendapat
respons yang baik, bahkan semakin tersisih dari panggung politik. Sentimen
Islam modernis dan Islam tradisionalis juga semakin membesar. Para kiai NU
gerah dengan kondisi Masyumi yang sudah tidak bisa menjadi tumpuan aspirasi
politik. Berunding berulang kali, mengirimkan delegasi berkali-kali. Tapi
hasilnya tidak memuaskan.
"Karena tidak
ada kecocokan mengenai sturktur organisasi dan praktik demokrasi yang menurut
keyakinan NU sangat merugikan perjuangan Islam dan umum, maka NU keluar dari
Partai Masyumi. Lalu (NU, red.) menjelma menjadi partai politik,” demikian
tulis KH Saifuddin Zuhri dalam Secercah Dakwah,1983.
Kiai Saifuddin Zuhri
memberikan catatan bahwa NU keluar dari Masyumi dengan cara yang paling
demokratis. Menurut dia, NU telah berunding berulang-ulang, mengirimkan
delegasi berkali-kali. Hal ini merupakan prosedur yang belum terjadi sebelumnya
dilakukan partai lain saat itu yang melakukan pisah jalan.
Kejadian pada tahun
1952 itu, menurut Kiai Saifuddin, NU membuktikan terori kristalisasi bukanlah
perpecahan.
“Bagi umat Islam,
menyatukan diri dalam satu partai ataukah berdiri sendiri-sendiri bukanlah
masalah, karena itu tidak mutlak. Umat Islam selamanya satu, dan sanggup
memperlihatkan kesatuannya lebih kompak dan homogen jika keadaan memanggil. Hal
itu telah dibuktikan dalam sejarah berulang-ulang,” lanjut Kiai Saifuddin di
buku yang sama.
Pada tulisan lain,
Kiai Saifuddin juga menjelaskan bahwa keluarnya NU dari Masyumi bukan untuk
melemahkan persatuan Islam. Hal itu dibuktikan, pada tahun yang sama, yakni 30
Agustus 1952, NU membentuk Liga Muslimin Indonesia bersama PSII dan Perti.
Selain ketiga partai itu, anggotanya adalah Dar al-Da’wah wal-Irsyad dari
Parepare Sulawesi Selatan dan Persyarikatan Tionghoa Islam Indonesia yang
berpusat di Makassar. []
(Abdullah Alawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar