Rabu, 19 Desember 2018

NU Keluar dari Masyumi dengan Cara Paling Demokratis


NU Keluar dari Masyumi dengan Cara Paling Demokratis

Dalam catatan sejarawan NU, KH Abdul Mun’im DZ, pada 15 Februari 1958, tokoh sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama, KH Abdul Wahab Hasbullah terkejut mendengar Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) bergabung dengan pemberontak Dewan Banteng dan Dewan Gajah yang memproklamirkan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Dalam catatan sejarah lain disebutkan, yang bergabung dan mendukung adalah tokoh-tokohnya, bukan partainya. Namun, demikian, tetap saja membuat Rais Aam PBNU tersebut kecewa berat, mengingat NU pernah bagian dari Masyumi.  

Karena peristiwa itu, lanjut Abdul Mun’im, Kiai Wahab mengumpulkan beberapa kiai NU, termasuk Kiai Idham Chalid. Mereka bertemu. Dalam pertemuan itu, menurut mereka, tindakan PRRI adalah bughat, memberontak pemerintahan yang sah. Dalam pertemuan itu kemudian, para kiai memutuskan untuk segera membuat pernyataan bahwa Partai NU, tidak mendukung PRRI. 

“Kita harus segera membuat statement (pernyataan/sikap), agar tidak didahului oleh kelompok syuyuiyin (PKI), karena PKI akan memanfaatkan peristiwa ini untuk menggebuk Masyumi dan umat Islam semuanya. Karena itu, kita mengeluarkan pernyataan sikap ini dengan dua tujuan. Pertama, agar PKI tahu bahwa tidak semua umat Islam setuju dengan pemberontakan PRRI. Kedua, agar dunia internasional jangan sampai menganggap bahwa pemerintah pusat sudah sepenuhnya dikuasasi PKI, sebagaimana dipropagandakan Masyumi dan PSI untuk menggalang dukungan internasional,” demikain perkataan Kiai Wahab yang ditulis Abdul Mun’im. 

Wajar saja Kiai Wahab kaget akan keterlibatan beberapa tokoh Masyumi itu karena hal itu akan memperburuk citra umat Islam yang dimanfaatkan PKI. Dan benar, akhirnya Masyumi dibubarkan Presiden Soekarno. Bagi NU, pembubaran tersebut adalah kerugian bagi umat Islam. Sebagai sesama partai Islam, NU dan Masyumi tentu saja memiliki banyak persamaan kepentingan dan tujuan dibandingkan dengan PKI. 

Namun disayangkan, beberapa kalangan menuduh NU ikut mendorong pembubaran Masyumi. Padahal justru NU merasa kehilangan dalam memperjuangankan aspirasi Islam pada saat itu. 

Kehilanngan teman di parlemen bagi NU sangat masuk akal. Waktu itu PKI sangat kuat. Ini merupakan ancaman bagi Islam. Kedua, NU sebelumnya berada di dalam Partai Masyumi. Bahkan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari waktu itu menjadi pemimpin tertingginya. Kemudian karena beberapa perbedaan pandangan yang tak pernah mendapatkan titik temu di antara tokoh-tokohnya, kemudian NU menyatakan berpisah pada 1952. 

Di antara pemicu keluarnya NU adalah, peran para kiai dan aspirasi pesantren tidak mendapat respons yang baik, bahkan semakin tersisih dari panggung politik. Sentimen Islam modernis dan Islam tradisionalis juga semakin membesar. Para kiai NU gerah dengan kondisi Masyumi yang sudah tidak bisa menjadi tumpuan aspirasi politik. Berunding berulang kali, mengirimkan delegasi berkali-kali. Tapi hasilnya tidak memuaskan.

"Karena tidak ada kecocokan mengenai sturktur organisasi dan praktik demokrasi yang menurut keyakinan NU sangat merugikan perjuangan Islam dan umum, maka NU keluar dari Partai Masyumi. Lalu (NU, red.) menjelma menjadi partai politik,” demikian tulis KH Saifuddin Zuhri  dalam Secercah Dakwah,1983. 

Kiai Saifuddin Zuhri memberikan catatan bahwa NU keluar dari Masyumi dengan cara yang paling demokratis. Menurut dia, NU telah berunding berulang-ulang, mengirimkan delegasi berkali-kali. Hal ini merupakan prosedur yang belum terjadi sebelumnya dilakukan partai lain saat itu yang melakukan pisah jalan. 

Kejadian pada tahun 1952 itu, menurut Kiai Saifuddin, NU membuktikan terori kristalisasi bukanlah perpecahan. 

“Bagi umat Islam, menyatukan diri dalam satu partai ataukah berdiri sendiri-sendiri bukanlah masalah, karena itu tidak mutlak. Umat Islam selamanya satu, dan sanggup memperlihatkan kesatuannya lebih kompak dan homogen jika keadaan memanggil. Hal itu telah dibuktikan dalam sejarah berulang-ulang,” lanjut Kiai Saifuddin di buku yang sama.

Pada tulisan lain, Kiai Saifuddin juga menjelaskan bahwa keluarnya NU dari Masyumi bukan untuk melemahkan persatuan Islam. Hal itu dibuktikan, pada tahun yang sama, yakni 30 Agustus 1952, NU membentuk Liga Muslimin Indonesia bersama PSII dan Perti. Selain ketiga partai itu, anggotanya adalah Dar al-Da’wah wal-Irsyad dari Parepare Sulawesi Selatan dan Persyarikatan Tionghoa Islam Indonesia yang berpusat di Makassar. []

(Abdullah Alawi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar