Kembali kepada
Al-Qur'an-Hadits, Mungkinkah?
Slogan kembali kepada Al-Qur’an dan hadits
tidak boleh dimakan secara mentah. Jika semangat kembali kepada Al-Qur’an dan
hadits hanya dimaknai mengacu Al-Qur’an dan hadits secara tekstual begitu saja,
maka akan timbul aneka macam kekacauan dalam memahami Al-Qur'an maupun hadits
itu sendiri. Padahal kekacauan dalam kedua sumber utama ajaran Islam tersebut
adalah hal yang mustahil.
Kita bisa melihat bagaimana Al-Qur’an
mengarahkan kita untuk tidak hanya berhenti pada teks Al-Qur’an dan hadits
dengan mengesampingkan peran akal dalam arti ijtihad yang sesuai koridor
disiplin keilmuan Islam. Allah berfirman:
فَاسْأَلُوا
أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: “Maka bertanyalah kepada orang yang
mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS: An Nahl: 43)
Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy'ari
mengungkapkan, mayoritas ulama mewajibkan bagi siapa saja yang tidak sampai
level mujtahid mutlak, untuk mengikuti (taqlid) kepada salah satu dari empat
imam mazhab.
يجب
عند جمهور العلماء المحققين على من ليس له اهلية الاجتهاد المطلق وان كان قد حصل
بعض العلوم المعتبرة فى الاجتهاد تقليد قول المجتهدين والأخذ بفتواهم ليخرج عن
عهدة التكليف بتقليد أيهم شاء، لقوله تعالى (فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ
كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ). فأوجب السؤال على من لم يعلم ذلك، وذلك تقليد لعالم
Artinya: “Menurut mayoritas ulama hukumnya
wajib mengikuti (taqlid) dan mengikuti fatwa-fatwanya ulama yang kredibel di
bidang ijtihad yaitu bagi siapa saja yang tidak memiliki kapasitas ijtihad
mutlak meskipun orang itu telah menguasai sebagian ilmu secara mendalam. Orang
ini bebas memilih ulama mujtahid siapa yang ia kehendaki. Hal ini mengacu
kepada ayat "Bertanyalah kalian kepada orang yang berilmu jika kalian
tidak mengetahui." Di sini Allah mewajibkan orang tidak tahu satu
hal untuk bertanya kepada orang yang menguasai di bidangnya." (Muhammad
Hasyim Asy'ari, Risalah Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam Irsyadus Sari, Jombang,
Maktabah Al Masruriyah, halaman 16)
Al-Qur’an tidak memonopoli untuk selalu
merujuk secara tekstual Al-Qur’an dan hadits, meskipun terdapat satu sumber
hadits Baginda Nabi yang tetap disuruh memegang teguh Al-Qur’an maupun hadits.
Namun perlu kita ketahui, cara memeganginya dengan teguh, tidak mesti harus
menyentuh secara langsung.
Ibarat orang yang akan menjadikan bara api
supaya manfaat. Cara mengambil manfaatnya tentu tidak harus dipegang tangan
lalu dimasukkan ke dalam mulut. Begitu pula Al-Qur’an, isinya sangat beragam.
Ada yang bisa dimakan mentah. Ada pula yang perlu dimasak hingga masak betul.
Ada contoh dari Al-Qur’an yang secara
sastrawi menampilkan redaksi dengan maksud lain dari pada teks yang
ditampilkan. Misalnya, dalam ilmu balaghah (kajian sastra Arab) ada yang
disebut majaz ithlaqul jam'i anil mufrad (mengutarakan dalam bentuk plural, namun
yang dikehendaki adalah tunggal). Simak ayat berikut:
حَتَّى
إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ
Artinya: (Demikianlah keadaan orang-orang
kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia
berkata: “Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia). (QS: Al Mu'minun: 99)
Dalam ayat di atas terdapat teks yang
menampilkan orang berdoa kepada Allah untuk dikembalikan ke dunia dengan
kalimat اِرْجِعُوْنِ.
Jika diurai, lafadz ini tersusun dari dua
kalimat, yaitu ارجعو (artinya:
semoga Engkau kembalikan) dan نِ (yang berarti kepada
kami) dengan keterangan singkatan ijaz yang cukup panjang penjelasannya.
Kalimatارجعو merupakan
bentuk kalimat perintah untuk jama' (dua orang ke atas). Sedangkan dalam
konteks ayat ini, yang menjadi objek hanya satu yaitu Allah. Bukan objek dengan
jumlah di atas dua. Secara gramatikal normal, apabila objek hanya satu, memakai
kalimat ارجع bukan ارجعو.
Artinya, ini Al-Qur’an menggunakan kalimat antara yang ditampilkan dengan makna
yang dimaksud tidak sama persis karena memang ada nuansa sastrawi yang cukup
rumit.
Contoh semacam di atas bisa jadi mencapai ratusan.
Itu baru satu bab, satu masalah. Belum lagi memahami ayat mujmal, mutasyabihat,
muqayyad dan segunung keilmuan yang perlu dipelajari terlebih dahulu untuk bisa
menjangkau bahasa Al-Qur’an yang begitu tinggi.
Seperti orang yang belum pernah belajar ilmu
kedokteran lalu ia tidak mau mendengar keterangan dari dokter. Ia hanya mau
jika mengoperasi dirinya sendiri selayaknya dokter mahir. Ini tentu merupakan
tindakan bodoh.
Adalah sesuatu yang mustahil, orang yang
tidak pernah mendalami kajian ketatabahasaan Arab dengan 12 macam cabang
keilmuan yang mengelilingi lalu berani berteriak "mari kita kembali kepada
Al-Qur’an dan hadits" dengan maksud meninggalkan tafsir Al-Qur’an, syarah
hadits, dan hanya merasa cukup dengan terjemah saja. Wallahu a'lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar