Selasa, 11 Desember 2018

(Ngaji of the Day) Kembali kepada Al-Qur'an-Hadits, Mungkinkah?


Kembali kepada Al-Qur'an-Hadits, Mungkinkah?

Slogan kembali kepada Al-Qur’an dan hadits tidak boleh dimakan secara mentah. Jika semangat kembali kepada Al-Qur’an dan hadits hanya dimaknai mengacu Al-Qur’an dan hadits secara tekstual begitu saja, maka akan timbul aneka macam kekacauan dalam memahami Al-Qur'an maupun hadits itu sendiri. Padahal kekacauan dalam kedua sumber utama ajaran Islam tersebut adalah hal yang mustahil. 

Kita bisa melihat bagaimana Al-Qur’an mengarahkan kita untuk tidak hanya berhenti pada teks Al-Qur’an dan hadits dengan mengesampingkan peran akal dalam arti ijtihad yang sesuai koridor disiplin keilmuan Islam. Allah berfirman:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Artinya: “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS: An Nahl: 43)

Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy'ari mengungkapkan, mayoritas ulama mewajibkan bagi siapa saja yang tidak sampai level mujtahid mutlak, untuk mengikuti (taqlid) kepada salah satu dari empat imam mazhab.

يجب عند جمهور العلماء المحققين على من ليس له اهلية الاجتهاد المطلق وان كان قد حصل بعض العلوم المعتبرة فى الاجتهاد تقليد قول المجتهدين والأخذ بفتواهم ليخرج عن عهدة التكليف بتقليد أيهم شاء، لقوله تعالى (فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ). فأوجب السؤال على من لم يعلم ذلك، وذلك تقليد لعالم

Artinya: “Menurut mayoritas ulama hukumnya wajib mengikuti (taqlid) dan mengikuti fatwa-fatwanya ulama yang kredibel di bidang ijtihad yaitu bagi siapa saja yang tidak memiliki kapasitas ijtihad mutlak meskipun orang itu telah menguasai sebagian ilmu secara mendalam. Orang ini bebas memilih ulama mujtahid siapa yang ia kehendaki. Hal ini mengacu kepada ayat "Bertanyalah kalian kepada orang yang berilmu jika kalian tidak  mengetahui." Di sini Allah mewajibkan orang tidak tahu satu hal untuk bertanya kepada orang yang menguasai di bidangnya." (Muhammad Hasyim Asy'ari, Risalah Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam Irsyadus Sari, Jombang, Maktabah Al Masruriyah, halaman 16)

Al-Qur’an tidak memonopoli untuk selalu merujuk secara tekstual Al-Qur’an dan hadits, meskipun terdapat satu sumber hadits Baginda Nabi yang tetap disuruh memegang teguh Al-Qur’an maupun hadits. Namun perlu kita ketahui, cara memeganginya dengan teguh, tidak mesti harus menyentuh secara langsung. 

Ibarat orang yang akan menjadikan bara api supaya manfaat. Cara mengambil manfaatnya tentu tidak harus dipegang tangan lalu dimasukkan ke dalam mulut. Begitu pula Al-Qur’an, isinya sangat beragam. Ada yang bisa dimakan mentah. Ada pula yang perlu dimasak hingga masak betul.  

Ada contoh dari Al-Qur’an yang secara sastrawi menampilkan redaksi dengan maksud lain dari pada teks yang ditampilkan. Misalnya, dalam ilmu balaghah (kajian sastra Arab) ada yang disebut majaz ithlaqul jam'i anil mufrad (mengutarakan dalam bentuk plural, namun yang dikehendaki adalah tunggal). Simak ayat berikut:

حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ

Artinya: (Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: “Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia). (QS: Al Mu'minun: 99) 

Dalam ayat di atas terdapat teks yang menampilkan orang berdoa kepada Allah untuk dikembalikan ke dunia dengan kalimat اِرْجِعُوْنِ.

Jika diurai, lafadz ini tersusun dari dua kalimat, yaitu ارجعو   (artinya: semoga Engkau kembalikan) dan نِ (yang berarti kepada kami) dengan keterangan singkatan ijaz yang cukup panjang penjelasannya. 

Kalimatارجعو merupakan bentuk kalimat perintah untuk jama' (dua orang ke atas). Sedangkan dalam konteks ayat ini, yang menjadi objek hanya satu yaitu Allah. Bukan objek dengan jumlah di atas dua. Secara gramatikal normal, apabila objek hanya satu, memakai kalimat ارجع bukan ارجعو. Artinya, ini Al-Qur’an menggunakan kalimat antara yang ditampilkan dengan makna yang dimaksud tidak sama persis karena memang ada nuansa sastrawi yang cukup rumit.

Contoh semacam di atas bisa jadi mencapai ratusan. Itu baru satu bab, satu masalah. Belum lagi memahami ayat mujmal, mutasyabihat, muqayyad dan segunung keilmuan yang perlu dipelajari terlebih dahulu untuk bisa menjangkau bahasa Al-Qur’an yang begitu tinggi. 

Seperti orang yang belum pernah belajar ilmu kedokteran lalu ia tidak mau mendengar keterangan dari dokter. Ia hanya mau jika mengoperasi dirinya sendiri selayaknya dokter mahir. Ini tentu merupakan tindakan bodoh. 

Adalah sesuatu yang mustahil, orang yang tidak pernah mendalami kajian ketatabahasaan Arab dengan 12 macam cabang keilmuan yang mengelilingi lalu berani berteriak "mari kita kembali kepada Al-Qur’an dan hadits" dengan maksud meninggalkan tafsir Al-Qur’an, syarah hadits, dan hanya merasa cukup dengan terjemah saja. Wallahu a'lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar